|
IndoPROGRESS, 05 Juni 2013
JELANG sore hari, 31 Mei 2013. Musim
semi segera berakhir. Dari mobil jemputan, kami diturunkan paksa sekitar 200
meter dari Taman Gezi, sebuah taman kota yang asri di samping Perempatan
Taksim. Usai berbelok, mobil digas kencang dan lekas meninggalkan kami. Dari
arah berseberangan, ratusan orang lari terbirit-birit. Segera kami sadari, gas
air mata memedihkan mata kami, membuat nafas kami sesak. Bau dan kadar gas itu
sungguh di luar kewajaran, sangat pekat-menusuk. Kami menuruni jalan bukit dan
menepi ke arah Pelabuhan Kabatas. Beberapa saat menghindar dari kepungan gas,
beranjak kami menanjak menuju Perempatan Taksim melewati kerumunan para
demonstran. Ratusan polisi bersiap siaga. Para demonstran, laki-laki dan
perempuan, berserakan ke mana-mana. Mereka diberondong mobil penyemprot air.
Usai mencari jalan keluar menuju tempat pulang, kami menyaksikan ribuan
demonstran memencar ke segala arah dari taman asri itu untuk menghindari
kejaran dan pentungan polisi.
Kini
kita mafhum, seperti warta dunia memberitakan, demonstrasi damai di pusat kota
Istanbul itu bermula dari pepohonan rindang. Berbulan-bulan para aktivis
lingkungan mendirikan tenda melakukan protes atas kebijakan pemerintah untuk
mendirikan replika barak militer Usmani, yang dulu memang terletak persis di
Taman Gezi, dengan pusat perbelanjaan dan pemukiman elit di dalamnya–bangunan
yang direncanakan sebagai bagian dari perombakan tata ruang Taksim beberapa
bulan belakangan ini. Menjelang kisruh 31 Mei itu, berbagai golongan dari
kalangan majemuk bergabung. Sekelompok muslim saleh yang menamakan diri mereka
‘Muslim Anti-Kapitalis’ ikut merapat. Alasan mereka sederhana, ‘Nabi memelihara
pepohonan untuk mejaga peradaban.’ Terlihat di antara mereka selain generasi
muda, umumnya mahasiswa, tampak warga Istanbul yang sudah renta. Bilang saja
hitungan kemajemukan lainnya: kelompok gay, anarkis, ateis, dan Muslim Alevi,
juga keturunan Armenia.
Taksim memang arena
kontestasi politik yang berlangsung dari masa ke masa. Sejak Republik Turki
berdiri pada 1924, tata ruang Taksim dirombak berkali-kali untuk mewujudkan
representasi hegemonik pemerintahan negeri itu: sekularisme. Jika kita
menelusuri jalan utama, Jalan Kemerdekaan (İstiklal Caddesi),
yang dulu dikenal Eropa sebagai Grande Rue de Pera, nuansa
kehidupan Eropa-sekuler tampak di sana-sini. Gereja-gereja megah, beberapa
perwakilan diplomat dan pusat kebudayaan negara ‘penting,’ hampir seluruhnya
terletak di sekitar kawasan ini. Kalau kita merujuk zaman Imperium Usmani
akhir, kawasan Taksim dan sekitarnya hingga terowongan kereta bersejarah menuju
Karaköy, kawasan tersebut terdiri dari kelompok non-Muslim, Yahudi dan Kristen,
selain tempat mukim bangsa Eropa dan elit Turki berpikiran Eropa. Setelah
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menang pada 2002, pemerintahan Recep
Tayyip Erdoğan juga berkehendak untuk mengubah Taksim. Rancangan masjid dan
barak militer Usmani berusaha dibangun dengan argumen bahwa Taksim adalah ruang
hegemonik kelompok Kemalis. Pendukung oposisi utama yang berkecenderungan kiri,
Partai Rakyat Republik (CHP), juga berbasis di kawasan ramai tersebut. Dengan
rencana mesjid dan simbol Usmani itu, pemerintahan Erdoğan ingin mengubah
lanskap politik tradisional dari basis kelompok sekuler itu. Pada akhirnya:
mengubah konstelasi ruang publik.
Namun, peristiwa 31 Mei itu
bukan perebutan hitam-putih antara pendukung sekularisme (laiklik) versus Islamisme (İslamlık). Rentetan
protes di berbagai ruang publik favorit di Istanbul, Ankara, Izmir, Adana, dan
kota-kota Turki lainnya memang menjadi momen bagi Kemal Kılıçdaroğlu, pemimpin
CHP dan penerus Kemalisme yang non-ortodoks, sebagai wakil resmi penentang
Erdoğan. Tapi demonstrasi yang beruntun hingga tulisan ini diketik, terjadi
dengan berbagai motivasi sosial-politik yang tidak sama. Pendukung antarmusuh
bebuyutan dunia sepak bola Turki di pusat Istanbul – tim Galatasaray,
Fenarbahçe, dan Beşiktaş – terlihat rukun bersatu menentang dominasi rezim
Islamis dengan mengenakan kaos tim masing-masing. Tak hanya itu. Ibu-ibu rumah
tangga, anak-anak, di malam hari membawa perkakas dapur mereka dan menabuhnya
di jalan-jalan sambil mengutuk kekerasan mengiringi demonstrasi damai.
Konfrontasi dengan polisi beberapa kali menyusul menghadapi keprigelan para
demonstran muda di jalanan yang kerap meneriakkan yel-yel, ‘Tayyip Erdoğan istifa!’ menuntut Sang Perdana
Menteri lengser keprabon. Sebab inti dari rantai
demontrasi yang bergejolak itu ialah rantai kekerasan yang digunakan polisi
(baca: pemerintah) dengan menihilkan proses dialogis. Diskursus politik
belakangan di Turki, menyebut kekerasan polisi itu sebagai ‘terorisme negara.’
Menyangkut hal ini, setiap demonstran, dan tidak sekadar terbatas kelompok kiri
dan/atau sekuler, sadar bahwa dominasi pemerintah terlalu berlebihan dan mereka
menginginkan agar aspirasi rakyat didengar. Tepatnya, aspirasi untuk
menggagalkan pembangunan yang menghilangkan ruang hijau. Wacana itu juga
berkelindan erat dengan pemberlakuan Undang-undang tentang pembatasan alkohol
di malam hari, yang efektif berlaku seminggu sebelum kekerasan itu terjadi.
Pendukung Kemalisme menuduh Undang-undang semacam ini sebagai sebuah represi
kekuasaan atas kebebasan individu. Dekatnya periode pembatasan alkohol dengan
‘terorisme negara,’ menjadi alasan jitu bagi yang pro-Kemalisme untuk menyerang
balik pemerintahan Islamis.
Bagaimana dengan argumen
‘pluralisme versus otoritarianisme’ untuk memaknai rentetan protes itu? Dalil
kedua ini dirangkai untuk menangkis hipotesis ‘Islamisme versus sekularisme.’
Dasar pembenarannya muncul dari kenyataan bahwa para demonstran tak sekadar
warga Turki yang menginginkan sekularisme asertif ala Prancis (laicité) yang, menurut Ahmet Kuru, ingin menciptakan
sebuah ruang publik sekular dan menempatkan agama pada ranah pribadi saja.
Irisan para demonstran, setidaknya, muncul dari kelompok majemuk. Karena itu,
argumen ini ingin menegaskan bahwa masyarakat majemuk di Turki sedang
berhadapan dengan otoritarianisme negara. Mereka beranggapan bahwa negara telah
memberangus kebebasan berpendapat. Tanggapan reaktif Erdoğan jadi bahan masukan
sudut pandang ini. Erdoğan menuduh demonstran sebagai ‘secuil perampas/perampok’
yang menganggu ‘bangsa kita.’ Ketimbang Presiden Gül yang lebih simpatik, si
Perdana Menteri itu mencari kambing-hitam lain: menuduh Twitter dan jaringan sosial media lain sebagai
biang keladi yang menganggu. Erdoğan masih bersikeras untuk tidak kompromi
dengan keadaan. Itu kenapa beberapa pendemo yang kerap mengibarkan bendera
Atatürk, menyebutnya sebagai ‘diktator.’ Mirip seperti para diktator Arab
yang perlu digulingkan melalui gerakan Musim Semi.
Menilai
sikap pemerintahan Erdoğan dengan timbangan otoritarianisme, kendati demikian,
sangat bermasalah. Kita disuguhkan sebuah situasi ketika demokrasi Turki subur
justru setelah AKP, partai Islamis yang berkuasa, berjaya sejak satu dekade
silam. Setelah berpuluhan tahun sekularisme Turki condong pada republik tapi
minim prestasi demokratis, dan dominasi militer yang sulit dirobohkan, Erdoğan
lalu menawarkan terobosan politik-ekonomi yang cemerlang. Gaya politiknya yang
kharismatik mampu membangkitkan harapan. Kelas menengah dan pendapatan penduduk
ikut melesat naik berkali-kali lipat dengan situasi politik yang lebih
kondusif. Militer dikembalikan posisinya ke barak. Dibantu dengan pendekatan
Neo-Ottomanisme yang ikut dirancang Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoğlu, Turki
kembali diperhitungkan di kawasan Euro-Mediterania, Timur Tengah, dan Asia
Tengah, serta di tingkat dunia. Prestasi ini mengantarkan Turki sebagai
‘hegemoni kecil’ di kawasan Timur Tengah, selain Amerika Serikat. Dalam posisi
yang optimis ini, posisi Erdoğan masih amat kuat dan sangat percaya diri.
Sayang sekali, surplus
demokrasi ditambah kesejahteraan itu dicederai oleh deretan cacat. Pendekatan
monologis kerap kali dikedepankan. Hingga malam di hari keempat usai peristiwa
31 Mei itu, kami masih merasakan cara kekerasan oleh negara terhadap gejolak
demonstrasi. Saat sengaja menyeberangi Selat Bosforus menuju Istanbul bagian
Asia, untuk mencari jalan alternatif pulang melewati Jembatan Bosforus dengan
trayek bus kembali ke bagian Eropa, penumpang di bagian atas kabin terbuka berduyun-duyun
turun ke bawah memasuki kabin tertutup. Mereka menghindari gas air mata yang
menyebar hingga tengah selat, saat melewati wilayah kritis di sekitar pelabuhan
Beşiktaş, tempat beken untuk berkumpul-berserikat. Artinya, belum ada tawaran
lain yang disuguhkan Erdoğan untuk mengatasi masalah Taman Gezi. Ini menambah
cacat yang dipelihara rezim demokratis Erdoğan, seperti pemenjaraan para
jurnalis dan aktivis kritis. Selain itu, krisis pluralisme manyangkut berbagai
kelompok minoritas dan masalah etnik Kurdi. Beberapa bulan silam, Komisi Orang
Bijak, bikinan Erdoğan, belum cukup mampu menawarkan solusi bagi persoalan
Turki yang majemuk. Neo-Ottomanisme, sebuah upaya untuk mencari prinsip
kosmopolitanisme era Usmani sebagai perangkat kuasa lunak (soft power) Turki, sepertinya meniscayakan apa yang
saya sebut sebagai ‘sultanisme:’ kecenderungan sang pemimpin demokratis yang
sukses untuk memutlakkan dirinya sebagai seolah-olah seperti sultan. Atau,
sultanisme itu lahir sebagai gejala sebelum lengser (pre-resign
syndrom) yang dibatasi konstitusi, lalu memperbesar pengaruhnya demi
memperoleh posisi lain dengan sayap yang lebih lebar, seperti pertukaran posisi
Putin dan Medvedev di Rusia. Sultanisme ini memungkinkan kretinisme pihak
oposisi, ketika ia digunakan sebagai alat efektif untuk mengerdilkan
signifikansi politik protes melalui delik aduan dan penggembosan politik
kritisisme massa sebagai ‘perampas’ dan hanya berjumlah “secuil.”
Pada saat yang sama, ketika
kemungkinan kecil kretinisme pihak oposisi terjadi, tubuh pemerintahan yang
saat ini gigantis justru mulai kehilangan kontrol atas kesehatan tubuhnya.
Wacana tandingan dari media dan massa, bisa membuat radikal bebas menggerogoti
tubuh itu yang jika tidak dinetralisir dengan oksigen demokrasi yang lebih segar,
akan membahayakan keseimbangan politik. Muslim demokrat di Turki berada di
bawah ketiak Erdoğan saat ini. Meski sebagian di antaranya kritis dengan
pendekatan teror polisi dan bahasa politik Erdoğan, keberlangsungan hidup
mereka sebagian besar masih ditentukan di bawah takdir kekuasaannya. Jika ia
terus memilih pendekatan detoksinasi dengan menganggap ‘yang lain’ (the others) sebagai racun, akhir kekuasaannya akan
dikenang sebagai tak-demokratis, betapapun keajaiban (jaringan) ekonomi Turki
menjadi prestasinya.
Kepekaan pemerintahan Turki
masih belum berubah. Erdoğan enggan mengurungkan niatnya untuk mengubah Taman
Gezi. Karena keengganan ini, ia membiarkan atau malah memerintahkan
tindak-kekerasan polisi sebagai sesuatu yang benar dan patut diterima bagi
mereka yang melenceng dari nilai-nilai yang dipegang eratnya, yakni ‘moralitas
publik’ yang mengecap kebebasan individu sebagai tabu dalam tradisi politik
warisan pra-Republik. Lebih jauh, ia mungkin masih melihat golongan atau
kelompok yang merepresentasikan individu, bukan pada kewargaan yang melekat
pada setiap individu. Melalui kacamata ini, konflik minoritas relijius dan
etnik menemui rongga pembenarannya. Juga, gerakan oposisi yang menuntutnya
mundur atau setidaknya sedikit lebih peka, gampang dibubar-paksakan melalui
alat kekerasan negara. Pada sisi dalamnya, Neo-Ottomanisme Erdoğan kehilangan
misi kosmopolitanisme-nya yang semestinya menyediakan, meminjam ungkapan filsuf
Yahudi asal Istanbul Seyla Benhabib, porous borders (batas-batas
yang mampu menyerap dan tidak membatasi) dari berbagai potensi kemajemukan dan
konflik identitas, seperti dicontohkan Imperium Usmani yang polietnik dan
multirelijius itu.
Penentangan berbagai warga
atas alasan ekologis, yaitu mencegah pencerabutan pohon demi bangunan
berkomoditas tinggi, kini sudah berbuah pemberontakan (uprisings) di berbagai wilayah perkotaan di Turki.
Kemungkinan terjadi revolusi tentu saja ada, namun harus memperhatikan pula
kemungkinan politik internal dan eksternal. Jika secara internal, pemerintahan
mampu menurunkan intensitas kekerasannya serta menawarkan jalan damai-dialogis,
pemberontakan oposisi akan mampu diredakan. Secara eksternal, dalam situasi
tatkala politik global berpihak pada Erdoğan sebagai figur penting di kawasan,
bukan melihat Turki sebagai negara, posisinya masih terlalu kuat untuk
digoyang.
Revolusi Beludru (velvet revolution) seperti di Cheko, dengan pendekatan
anti-kekerasan belum identik mewujud di Turki. Pihak oposisi Turki tidak sedang
melawan kesewenang-wenangan partai tunggal, seperti Cheko dengan Partai
Komunisnya. Para pendemo, dengan berbagai irisan motivasinya lebih tepatnya
sedang melawan banalitas kekerasan yang dengan gampang mengikis kewajiban
negara untuk melindungi hak warga. Para pendemo sedang menuntut ‘martabat,
kebebasan, dan tanggungjawab,’ yang kata Vaclav Havel, berbuah ketika demokrasi
menciptakan berbagai instrumen teknis untuk meminimalisir ketidakadilan dan
kekerasan. Tentu saja dimensi demokrasi yang terlupakan ini kerap kali tidak
gratis dengan sendirinya; ia, sebaliknya, diperoleh melalui proses kontestasi
yang kadang melelahkan dan berdarah-darah. Pemberontakan karena pohon itu
memang bukan Revolusi Beludru untuk menumbangkan otoritarianisme. Maka, petuah
Havel era demokrasi Cheko perlu dipertimbangkan matang-matang. ‘Demokrasi,’
tulis Havel, ‘harus dikaruniai dengan spirit mengakui-menghargai sang liyan,
jika ia (demokrasi), ingin mencapai kesempatan suksesnya.’
Yang
sedang dikritik para demonstran kini ialah paternalisme ala Turca yang diperagakan oleh tubuh pemerintahan
Erdoğan. Alih-alih menciptakan politik toleransi yang luwes, ia belakangan ini
memperbesar politik harga diri sebagai ‘sang ayah’ yang ingin mengatur
anak-anaknya sesuka hati, tanpa ruang tanya dan wacana. Merasa diperlakukan bagaikan
anak-anak, protes pun bergejolak. Di mana-mana, di sore dan malam hari, gampang
ditemui kibaran bendera Atatürk dan topeng ‘V
for vendetta.’ Setidaknya, kita sedang menyaksikan pergumulan kreatif:
simbol Kemalisme sebagai perlawanan. Ini mengingatkan kita pada sisi lain dari
nasionalisme Mustafa Kemal yang, menyerupai Mirsäyet
Soltanğäliev dari Rusia, berusaha mengawinkan Islam dan sosialisme, lalu
berpendapat bahwa muslim proletar di Timur sedang diperbudak oleh penjajah
borjuis dari Barat. ‘Bolshevisme,’ tulisnya, ‘meliputi prinsip-prinsip dan
aturan yang paling luhur dalam Islam.’ Tugasnya untuk mengadopsi komunisme yang
dicocokkan dengan struktur masyarakat Anatolia dan Turki ialah upaya untuk
‘membebaskan rakyat Turki dari penindasan dan pemerasan kapitalisme dan
imperialisme.’ Namun, potensi laten kekiri-kirian dari Kemalisme itu kini
sedang melawan paternalisme yang bermula dari logika kapitalisme lanjut dari
proyek pembangunan di Taman Gezi, yang dimuluskan oleh pemerintahan Islamis.
Jika Kemal Kılıçdaroğlu, pemuka CHP itu, atau tokoh oposisi sekalibernya yang
lain menularkan tafsir Kemalisme-nya secara progresif kepada para warga yang
tidak puas saat ini, pertarungan publik tak bisa dihentikan serta-merta oleh
himbauan moral Erdoğan saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar