|
KOMPAS,
15 Juni 2013
Pidato
Presiden Barack Obama belum lama ini di Universitas Pertahanan Nasional
menegaskan kembali prioritas keamanan nasional tanpa membuat sebuah pernyataan
yang bersifat menyeluruh.
Di
saat yang sama juga ditandatangani sebuah pedoman kebijakan presiden (presidential policy guidance) tentang
kapan AS dapat melaksanakan serangan dengan pesawat tanpa awak. Telah pula
berlangsung pergeseran sebagian besar tanggung jawab atas serangan pesawat
tanpa awak dari Badan Intelijen Pusat AS (CIA) ke pihak militer AS.
Obama
juga meminta Kongres AS mengakhiri ristriksi transfer para teroris tertuduh
dari Guantanamo Bay dan memerintahkan Departemen Pertahanan AS agar menentukan
sebuah lokasi di AS untuk bisa melangsungkan pengadilan militer terhadap para
tertuduh tersebut. Anggota badan legislatif AS memang menentang upaya membawa
para tertuduh ke daratan AS. Direktur Amnesti Internasional Zeke Johnson
menyebutkan langkah Obama sebagai hal yang luar biasa dan perlu dilanjutkan
dengan aksi nyata (Spetalnick dan
Rampton, 2013).
Peristiwa
di atas sekaligus mengingatkan akan keberlanjutan asas pluralisme dan
keterlibatan sukarela bangsa tersebut yang melandasi identitasnya pada gagasan
perubahan yang berlangsung secara terus-menerus. Sejak peristiwa 11 September,
AS terus mendapatkan tekanan dan ancaman dari Timur Tengah dan dari dalam AS
sendiri, yang dikenal dengan istilah homegrown
terrorism. Dengan pidato kontraterorismenya ini, Obama mengingatkan kembali
masyarakat AS akan hasratnya di tahun 2008 untuk menutup Guantanamo Bay, simbol
bahwa AS telah melanggar aturan hukum.
Presiden
Obama mengusulkan pembentukan sebuah mahkamah rahasia untuk mengendalikan
pemberlakuan serangan dengan pesawat tanpa awak. Namun, hal ini yang menentukan
juga Kongres. Kebijakan kontraterorisme ini bukan tanpa batas karena akan
berupa upaya persisten untuk menargetkan hal yang mampu mengakhiri jejaring
kalangan ekstremis yang suka menggunakan kekerasan.
Obama
mengatakan, ”Upaya AS untuk secara
sistematik mengakhiri organisasi para teroris akan terus berlanjut. Namun,
perang ini, sebagaimana perang lainnya, harus berakhir. Sejarah menasihati soal
ini. Juga hal ini dituntut oleh demokrasi AS.”
Jelas
bahwa pada dasarnya AS adalah sebuah gagasan yang mencakup di dalamnya asas
kebebasan, demokrasi, kedaulatan rakyat, asas kesetaraan di muka hukum,
individualisme, sistem ekonomi yang berdasarkan mekanisme pasar, kecenderungan
progresif, pluralisme budaya, dan respek pada konstitusi. Rasa kebangsaan AS
juga mencakup keterlibatan warga secara sukarela, idealisme politik, mendukung
rasa kemenangan, dan memandang ke masa depan.
Namun,
menurut Anatol Lieven (2004), kuatnya keterikatan ideologi yang penting untuk
menjaga persatuan bangsa sering kali cenderung mengisolasi bangsa ini dari apa
pun yang terjadi di luar diri mereka.
AS
dan dunia Islam
Kebanyakan
orang Amerika cenderung merespons ancaman terhadap negaranya dengan keras dan
menggunakan kekerasan karena memang menyangkut pembelaan atas asas
perekonomiannya, langgam kehidupannya, dan soal kebebasan bangsanya. Setelah
tragedi 11 September, reaksi semacam ini sesungguhnya tulus dan hampir seluruh
warganya sepakat. Namun, sikap AS ini lebih dianggap sebagai ekspresi
nasionalisme yang radikal (Lieven, 2004).
Sayangnya,
hal ini memang terjadi berbarengan dengan tumbuhnya rasa keresahan akibat
hilangnya kendali atas peri kehidupan bangsanya dalam proses globalisasi.
Akibat rasa nasionalisme macam inilah AS cenderung terlihat defensif. Padahal, prinsip-prinsip
kehidupan bangsa Amerika benar-benar menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain
di dunia dan keyakinan kita bahwa AS memang contoh proses modernisasi yang
berhasil.
Sekalipun
serangan teroris akan terus berlangsung, peperangan dengan menggunakan pesawat
tanpa awak akan terus menjadi alat yang diandalkan militer AS. Presiden Obama
menyatakan dengan tegas bahwa peperangan panjang melawan terorisme telah
berakhir dan dunia kini akan menikmati kedamaian.
Dari
pidato Obama kita bisa merasa tetap optimistis bahwa sebagian terbesar rakyat
AS tetap berkomitmen pada demokrasi, pluralisme, dan kepatuhan pada peraturan.
Kita saksikan sendiri betapa nilai serta institusi Amerika mempunyai kekuatan
luar biasa dan berkelanjutan.
Keyakinan
kita makin diperkuat oleh peristiwa di atas. Bahwa AS itu menarik, mungkin
mendekati apa yang disebutkan Lieven sebagai ”kekaisaran peradaban” (Lieven,
2004), di mana nilai-nilai luhurnya akan bertahan dan terus menginspirasi dunia
akan citra Amerika Serikat sebagai sebuah demokrasi pluralis yang secara
ekonomi berhasil, terbuka bagi segala ras di dunia, mengakui asas kesetaraan di
muka hukum, dan pada dasarnya damai dan berkuasa.
Warga
yang berada di dunia Muslim pun bisa memetik pelajaran dari pengalaman ini.
Teristimewa rasa kepatuhan akan asas kesetaraan di muka hukum, yang pada
gilirannya dapat menyuburkan hasrat untuk melakukan dialog antar-peradaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar