|
SINAR
HARAPAN, 14 Juni 2013
Keberadaan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) kembali
menimbulkan ketidakpuasan partai-partai anggota koalisi, terutama Partai
Demokrat, terkait rencana Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono
yang ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
PKS secara
terbuka melontarkan manuver politiknya dengan menyatakan penolakan terhadap
rencana pemerintah yang tidak populer tersebut. Mereka secara “vulgar” memasang
sejumlah spanduk di tempat-tempat strategis yang mengajak masyarakat melakukan
penentangan. PKS seolah-olah ingin mempertontonkan ke rakyat bahwa mereka
partai yang prorakyat.
Seperti biasa, sikap PKS yang tidak konsisten sebagai anggota koalisi langsung direspons para petinggi Partai Demokrat.
Seperti biasa, sikap PKS yang tidak konsisten sebagai anggota koalisi langsung direspons para petinggi Partai Demokrat.
Anggota
Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok secara sinis memandang PKS yang
“tak tahu malu” dan berjiwa “pengecut” karena PKS masih saja bertahan sebagai
anggota Setgab, sedangkan dalam waktu yang sama berusaha “menggunting dalam
lipatan” atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Mubarok juga mencium
PKS yang ingin mengais simpati masyarakat dengan cara memosisikan diri sebagai
pihak yang “terzalimi” jika dikeluarkan dari Setgab.
Tak ketinggalan pula kritik datang dari partai koalisi Setgab. Ketua Partai Golkar Agung Laksono menyebut sikap PKS sebagai sesuatu yang tidak etis. Mereka mau menikmati kursi di dalam kabinet, tetapi tidak mau ikut bertanggung jawab atas sikap yang diambil pemerintah.
Tak ketinggalan pula kritik datang dari partai koalisi Setgab. Ketua Partai Golkar Agung Laksono menyebut sikap PKS sebagai sesuatu yang tidak etis. Mereka mau menikmati kursi di dalam kabinet, tetapi tidak mau ikut bertanggung jawab atas sikap yang diambil pemerintah.
Ketua Umum
PPP Suryadarma Ali menyerahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk mengambil sikap terhadap posisi yang dilakukan PKS. Ia melihat posisi PKS
tidak sejalan dengan apa yang menjadi pandangan di dalam Setgab.
Hitungan Politik
Hitungan Politik
Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden SBY selaku pemimpin Setgab berani melakukan “pemecatan” terhadap PKS? Ataukah membiarkan kondisi di mana PKS tetap seperti biasanya dan menganggap tidak ada apa-apa dengan koalisi?
Sudah tentu
SBY sedang dipusingkan dengan hitung-hitungan politik koalisi. Mengutak-atik
peta kekuatan agar tak salah langkah dalam kocok ulang mitra sejalan. Dalam
keadaan ini, Presiden SBY harus bersikap tegas. Ada beberapa pilihan politik
buat SBY selaku ketua Setgab koalisi.
Pertama, tetap mempertahankan koalisi. Mempertahankan di sini harus dimaknai menata dan memelihara koalisi ke depan. Hal ini penting untuk mewujudkan cita-cita pemerintahan efektif dalam mendorong perubahan utamanya di bidang kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat miskin.
Selain
fokus pada kemampuan Partai Demokrat dalam mengharmoniskan hubungan dan
dukungan mitra koalisi PKS, mekanisme pengelolaan dan penyelesaian beragam
sengketa yang muncul dalam koalisi juga menjadi sangat penting. Perbedaan
pandangan antarmitra koalisi atas suatu kebijakan adalah wajar dan mutlak
diperlukan, namun penyelesaiannya selayaknya di tingkat internal koalisi, bukan
di ruang politik.
Koalisi perlu dirajut kembali dengan rasa saling percaya dan adanya keterbukaan atau modal sosial yang baik. Melalui modal sosial yang baik, semua permasalahan bisa didiskusikan secara terbuka dan dicari jalan pemecahannya secara cepat.
Dalam
konteks semacam ini, pemerintahan yang efektif memang tidak cukup hanya
didesain secara kelembagaan. Faktor-faktor lain, seperti adanya modal sosial
yang cukup dan budaya politik kewarganegaraan yang memadai, misalnya, tidak
bisa diabaikan.
Kedua, meninjau dan mengevaluasi kembali koalisi. Artinya, jika memang PKS “pembelot” koalisi dan sudah menjadi duri dalam daging, Presiden SBY harus berani memecat menteri milik PKS. Presiden SBY harus sadar kalau selama ini “dimanfaatkan” oleh PKS. Membiarkan begitu saja “kenakalan” dan manuver politik PKS justru mengakibatkan “hubungan tidak harmonis” SBY dan PKS.
Ini karena
PKS akan kembali bisa memainkan setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan
SBY. Meninjau kembali posisi partai “pembelot” koalisi itu harus dilakukan
dengan cermat. Dengan langkah ini Partai Demokrat dan Presiden SBY harus
melakukan pertukaran kekuatan politik terutama di legislatif.
Ketiga, membubarkan koalisi (pecah kongsi). Pandangan sangat berlawanan PKS yang tetap dalam koalisi akan sulit disatukan kembali dalam perahu yang sama. Sisi negatif pilihan ini adalah Demokrat yang notabene pengusung utama SBY-Boediono kemungkinan akan kelimpungan.
Bisa jadi
setiap keputusan di parlemen menjadi tidak efektif. PKS bisa saja memveto
setiap keputusan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Mereka bisa
saja, melakukan tindakan paling buruk, yaitu aksi walkout dalam setiap rapat di
parlemen sehingga mengurangi legitimasi parlemen.
Soliditas
Soliditas
Sisi positifnya, sangat mungkin PKS akan bergabung dengan kekuatan oposisi (PDIP, Gerindra, dan Hanura). Jika PKS tidak lagi satu orientasi dan berbeda pandangan (kebijakan) dengan SBY, seharusnya PKS meneguhkan sikap yang jelas yakni keluar dari koalisi. Toh, manuver politik penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya sudah menjadi porsi dari partai oposisi.
Dengan
sikap menentang kebijakan pemerintah, PKS sebaiknya menjadi (bergabung) partai
oposisi. Dari sudut pandang demokrasi, justru realitas politik ini merupakan
hal positif karena akan terjadi perimbangan kekuatan antara eksekutif dan
legislatif. Bagaimanapun, demokrasi memerlukan keseimbangan antara pihak yang
memerintah dengan mereka yang menjadi pengawas jalannya pemerintahan.
Namun, Pemerintahan SBY perlu diingatkan bahwa adanya dukungan koalisi yang besar tidak serta-merta melahirkan pemerintahan yang solid dan efektif. Selain itu, ketika berbicara koalisi, kita seolah-olah sudah melupakan bahwa sistem pemerintahan kita ini presidensial.
Di dalam
sistem pemerintahan demikian, bisa saja presiden hanya didukung partai kecil.
Mengingat sejatinya kita ini tidak murni menganut sistem presidensial, adanya
dukungan minimal dari partai di parlemen itu perlu. Tetapi, dukungan itu tidak
perlu harus di atas 50 persen.
Yang penting adalah pemerintahan itu didukung kekuatan yang solid dan didasari prinsip-prinsip tata kelola yang baik di dalam pemerintahan. Ketika pertimbangan itu yang diambil, bukan tidak mungkin koalisi Pemerintahan SBY-Boediono akan mengalami perubahan-perubahan.
Tetapi, hal
itu bisa jadi akan lebih baik bagi semuanya daripada kumpul, tetapi
terus-menerus dihinggapi perbedaan-perbedaan yang tidak berujung. Manuver
politik anggota koalisi Setgab tak lebih dari sensasi meraih simpati rakyat,
tapi rakyat sudah cerdas akan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar