Rabu, 12 Juni 2013

Ketidakpastian Penaikan Harga BBM

Ketidakpastian Penaikan Harga BBM
Fahmy Radhi ;   Peneliti pada Pusat Studi Energi 
Universitas Gadjah Mada (UGM)
     
KORAN SINDO, 12 Juni 2013



Penolakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara terbuka terhadap rencana penaikan harga BBM, barangkali akan membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin gamang dalam memutuskan penaikan harga BBM, yang sudah diwacanakan dalam dua bulan terakhir ini. 

Indikasi kegamangan SBY dalam penaikan harga BBM sebenarnya bukan kali pertama, tetapi sudah mengemuka sejak ditetapkannya Peraturan Presiden (PP) No 12/2012 tentang penetapan harga jual eceran BBM yang harus memperoleh persetujuan DPR. Dengan PP itu, pemerintah berharap setiap dampak akibat penaikan harga BBM dapat ditanggung renteng antara pemerintah dan DPR.

Namun, PP itu sebenarnya sudah dibatalkan dengan diundangkan UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang APBN-P 2012. Berdasarkan UU 4/2012, DPR mengizinkan pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Kendati kewenangan penaikan harga BBM berdasarkan UU sudah merupakan domain pemerintah, tampaknya SBY masih saja melibatkan DPR dalam keputusan penaikan harga BBM. SBY mengatakan bahwa penaikan harga BBM diputuskan setelah DPR menyetujui penambahan dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), yang diajukan melalui APBN-P 2013. 

Pelibatan DPR dalam keputusan penaikan harga mengindikasikan bahwa SBY masih saja gamang dalam penaikan harga BBM pada tahun politik 2013 ini. Masalahnya, pelibatan DPR itu justru menyebabkan ketidakpastian berkepanjangan. Tidak bisa dihindari ketidakpastian tersebut telah menimbulkan dampak serius bagi memburuknya kondisi ekonomi makro dan menurunkan kesejahteraan rakyat, serta berpotensi mempercepat proses pemiskinan rakyat. 

Dampak Ketidakpastian 

Ketidakpastian penaikan harga BBM menyulitkan bagi pengusaha dalam menetapkan harga pokok penjualan, sehingga tidak sedikit pengusaha yang masih menunggu kepastian dari pemerintah. Kalau sikap menunggu ini menyebabkan menurunkan kapasitas produksi, dikhawatirkan akan menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian juga memberikan kontribusi terhadap melemahnya kurs rupiah terhadap dolar. 

Ketidakpastian itu memicu jebolnya kuota konsumsi BBM yang meningkatkan volume impor migas. Pada gilirannya, peningkatan volume impor migas akan membengkaknya defisit neraca perdagangan, yang berpotensi melemahkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dua bulan lalu kurs rupiah terhadap dolar masih pada kisaran Rp9.600, namun harihari ini kurs rupiah semakin melemah hingga sempat menyentuh batas psikologis Rp10.000 per satu dolar. 

Ironisnya, jebolnya kuota konsumsi BBM tersebut salah satunya dipicu oleh ulah penimbunan dan penyelundup BBM bersubsidi. Pemerintah sendiri memperkirakan sekitar 30% dari total kuota BBM yang diselewengkan melalui penimbunan dan penyelundupan. Tidak ayal lagi, subsidi BBM yang mencapai Rp193 triliun, tidak hanya dinikmati oleh orang kaya pemilik mobil mewah, tetapi juga dinikmati oleh para penimbun dan penyelundup BBM untuk menangguk keuntungan dalam jumlah yang besar. 

Sementara rakyat miskin yang tidak pernah mengonsumsi BBM, karena tidak memiliki kendaraan bermotor, harus menanggung beban hidup akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sejak sebelum penaikan BBM. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut sudah pasti memberikan kontribusi terhadap tekanan inflasi, yang akan menggerus penghasilan bagi penduduk berpenghasilan tetap sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Dampaknya, kesejahteraan rakyat semakin menurun dan proses pemiskinan rakyat semakin cepat sebelum penaikan harga BBM diputuskan. Padahal, rakyat miskin belum mendapatkan BLSM, lantaran BLSM baru akan disalurkan pascakenaikan harga BBM. 

Kehilangan Momentum 

Pelibatan DPR dalam memutuskan penaikan harga BBM juga menyebabkan pemerintahan SBY kehilangan momentum. Pembahasan RAPBNP 2013 yang diajukan pemerintah pada 17 Mei 2013 diperkirakan berlangsung selama satu bulan. Kalau pembahasan berlangsung mulus, pemerintah baru akan menaikkan akhir Juni atau awal Juli 2013. Momentum penaikan harga BBM pada Juli 2013 sebenarnya tidaklah tepat sama sekali, lantaran bersamaan dengan tahun ajaran baru, Ramadan, dan Idul Fitri. 

Kalau SBY memaksakan untuk menaikkan pada Juli 2013, tidak bisa dihindari lagi tekanan terhadap inflasi akan semakin menguat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan penaikan harga BBM pada Juli 2013 diperkirakan akan meningkatkan inflasi hingga mencapai double digit. Inflasi di atas 10% akan semakin menyengsarakan kehidupan rakyat miskin, sekalipun pemerintah membagi-bagikan BLSM pascakenaikan harga BBM. 

Jika inflasi benar-benar mencapai di atas 10%, BLSM sebesar Rp150.000 yang dibagikan kepada setiap keluarga miskin tidak akan pernah mencukupi untuk menutup kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kalau pemerintah bersikukuh untuk menaikkan harga BBM, awal September 2013 diperkirakan merupakan momentum yang paling tepat. Alasannya, tekanan inflasi sebagai dampak tahun ajaran baru, Ramadan, dan Idul Fitri sudah semakin menurun sejak September 2013. 

Selain penetapan waktu dan jumlah kenaikan harga BBM serta besaran BLSM, masalah mendesak saat ini yang harus segera diputuskan oleh SBY adalah mengakhiri ketidakpastian yang berlarut-larut. Untuk itu, SBY harus segera memutuskan untuk “menaikkan atau tidak menaikkan” harga BBM. 

Kalau akhirnya diputuskan untuk menaikkan harga BBM, SBY harus sudah memutuskan sedari sekarang kepastian “kapan dan berapa” penaikan harga BBM secara lebih pasti, bukan lagi wacana belaka. Keputusan tersebut sangat penting untuk memberikan kepastian bagi semua pihak dalam menyikapi rencana kenaikan harga BBM mulai sekarang. Jangan biarkan ketidakpastian semakin berlarut-larut, yang berpotensi menyengsarakan kehidupan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar