|
KOMPAS,
14 Juni 2013
Artikel
utama Kompas, 20 Mei 2013, halaman 1, mengutip pendapat anggota DPR Fraksi PPP,
”... biaya politik menjadi tinggi,
menyebabkan banyak orang terjerat korupsi.” Tidak hanya di sini dan kali
ini saja, tetapi pemakaian ter- seperti
ini sudah menjadi kelaziman yang meluas. Banyak penutur bahasa Indonesia yang
berujar seperti pada kutipan itu: ”Banyak orang terjerat korupsi.”
Apa
sesungguhnya makna prefiks ter-? Buku
tata bahasa Indonesia mencatat beberapa, tetapi hanya yang terkait dengan
kutipan itu yang akan dipaparkan di sini, yaitu ter- yang melekat pada verba tindakan, seperti memukul, menginjak,
menimbun. Verba seperti ini berpadanan dengan bentuk pasif di- (dipukul, diinjak, ditimbun) dan ter- (terpukul, terinjak, tertimbun).
Orang
yang menginjak adalah pelaku tindakan. Adapun orang yang terinjak adalah pihak
yang terkenai tindakan. Orang yang terinjak mungkin akan berteriak, mengaduh
sakit. Ia menderita oleh tindakan orang lain, oleh sesuatu yang di luar
kekuatan atau kendalinya.
Ada
verba ter- lain yang berbeda makna
dengan verba ter- yang baru
diuraikan. Verba ter- yang ini tidak
berpadanan dengan men-, tidak pula
berupa verba pasif, misalnya: tersenyum, tertawa. Orang yang tersenyum atau
tertawa adalah pelaku perbuatan, pihak yang mengendalikan perbuatan.
Bagaimana
dengan ter- pada kutipan di atas:
banyak orang terjerat korupsi? Yang dimaksudkan dengan ”banyak orang” di sini
sesungguhnya koruptor, orang yang melakukan korupsi itu sendiri. Akan tetapi,
cara mengutarakan dengan prefiks ter-
menyiratkan bahwa para koruptor itu justru mengalami penderitaan yang di luar
kendali atau kekuatan mereka.
Mengatakan
mereka ”terjerat korupsi” sama saja dengan mengatakan para koruptor itu
tertimpa atau terkungkung di dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Mereka tidak
mampu membebaskan diri dari kungkungan itu. Mereka layak dikasihani, bahkan
diselamatkan. Dengan ter- itu, mereka
diperlakukan bukan sebagai pelaku, melainkan korban dari kondisi yang di luar
kendali mereka, korban yang tak berdaya, dan oleh karena itu, tidak dapat
disalahkan.
Ini
cara mengutarakan apa dan bagaimana korupsi itu di dalam bahasa Indonesia
melalui kalimat banyak orang terjerat korupsi. Pengalimatan seperti ini—secara
bawah sadar—juga mendukung perlakuan terhadap para koruptor, mantan pejabat,
yang dipenjara di LP Sukamiskin. Meskipun sudah diperlakukan secara istimewa
(Kompas, 20 Mei 2013, halaman 1), mereka masih memohon dikasihani, ”Tolonglah, orang sudah lupa siapa saya”,
pada kunjungan mendadak rombongan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kalau
kita mendukung KPK dalam langkah-langkah mereka menjerat para koruptor,
janganlah sampai kita terjerat menyatakan sesuatu di dalam bahasa Indonesia
secara kurang cermat dengan merentetkan kata menjadi kalimat yang sesungguhnya
bukan begitu yang kita maksudkan. Mari kita tinggalkan cara mengutarakan
korupsi seperti pada kutipan di atas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar