Jumat, 14 Juni 2013

Kasihanilah Koruptor!

Kasihanilah Koruptor!
Bambang Kaswanti Purwo ;   Munsyi; Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya
KOMPAS, 14 Juni 2013


Artikel utama Kompas, 20 Mei 2013, halaman 1, mengutip pendapat anggota DPR Fraksi PPP, ”... biaya politik menjadi tinggi, menyebabkan banyak orang terjerat korupsi.” Tidak hanya di sini dan kali ini saja, tetapi pemakaian ter- seperti ini sudah menjadi kelaziman yang meluas. Banyak penutur bahasa Indonesia yang berujar seperti pada kutipan itu: ”Banyak orang terjerat korupsi.”

Apa sesungguhnya makna prefiks ter-? Buku tata bahasa Indonesia mencatat beberapa, tetapi hanya yang terkait dengan kutipan itu yang akan dipaparkan di sini, yaitu ter- yang melekat pada verba tindakan, seperti memukul, menginjak, menimbun. Verba seperti ini berpadanan dengan bentuk pasif di- (dipukul, diinjak, ditimbun) dan ter- (terpukul, terinjak, tertimbun).

Orang yang menginjak adalah pelaku tindakan. Adapun orang yang terinjak adalah pihak yang terkenai tindakan. Orang yang terinjak mungkin akan berteriak, mengaduh sakit. Ia menderita oleh tindakan orang lain, oleh sesuatu yang di luar kekuatan atau kendalinya.

Ada verba ter- lain yang berbeda makna dengan verba ter- yang baru diuraikan. Verba ter- yang ini tidak berpadanan dengan men-, tidak pula berupa verba pasif, misalnya: tersenyum, tertawa. Orang yang tersenyum atau tertawa adalah pelaku perbuatan, pihak yang mengendalikan perbuatan.

Bagaimana dengan ter- pada kutipan di atas: banyak orang terjerat korupsi? Yang dimaksudkan dengan ”banyak orang” di sini sesungguhnya koruptor, orang yang melakukan korupsi itu sendiri. Akan tetapi, cara mengutarakan dengan prefiks ter- menyiratkan bahwa para koruptor itu justru mengalami penderitaan yang di luar kendali atau kekuatan mereka.

Mengatakan mereka ”terjerat korupsi” sama saja dengan mengatakan para koruptor itu tertimpa atau terkungkung di dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Mereka tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu. Mereka layak dikasihani, bahkan diselamatkan. Dengan ter- itu, mereka diperlakukan bukan sebagai pelaku, melainkan korban dari kondisi yang di luar kendali mereka, korban yang tak berdaya, dan oleh karena itu, tidak dapat disalahkan.

Ini cara mengutarakan apa dan bagaimana korupsi itu di dalam bahasa Indonesia melalui kalimat banyak orang terjerat korupsi. Pengalimatan seperti ini—secara bawah sadar—juga mendukung perlakuan terhadap para koruptor, mantan pejabat, yang dipenjara di LP Sukamiskin. Meskipun sudah diperlakukan secara istimewa (Kompas, 20 Mei 2013, halaman 1), mereka masih memohon dikasihani, ”Tolonglah, orang sudah lupa siapa saya”, pada kunjungan mendadak rombongan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kalau kita mendukung KPK dalam langkah-langkah mereka menjerat para koruptor, janganlah sampai kita terjerat menyatakan sesuatu di dalam bahasa Indonesia secara kurang cermat dengan merentetkan kata menjadi kalimat yang sesungguhnya bukan begitu yang kita maksudkan. Mari kita tinggalkan cara mengutarakan korupsi seperti pada kutipan di atas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar