Minggu, 16 Juni 2013

Agen Pemberdayaan yang Tidak Berdaya

Agen Pemberdayaan yang Tidak Berdaya
Elvia Ivada ;   Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 
KORAN SINDO, 15 Juni 2013



Sejak lahirnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) sekitar 1998 dengan nama Program Pengembangan Kecamatan (PPK), gaung kesuksesan program pengentasan kemiskinan sering kali terdengar. 

Tetapi di balik cerita sukses itu, ada sekelumit episode mengenaskan yang sayupsayup dikabarkan di dunia maya dan beberapa media cetak, yaitu tentang gaji atau honor para fasilitatornya yang dari tiga-empat bulan sampai saat tulisan ini dibuat belum juga dibayarkan. Gampang ditebak, responsnya pun sayup-sayup. 

Peran Fasilitator 

Dalam program pemberdayaan, fasilitator berperan sebagai pendorong, penggerak, pemicu terjadinya perubahan dalam masyarakat. Secara kuantitatif, kinerja fasilitator terlihat pada angka keberhasilan dari rencana kerja seperti Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) yang telah ditetapkan. Sedangkan secara kualitatif, perubahan pola pikir dan sosiokultural masyarakat menjadi target utama program ini. 

Maka ke depan, diharapkan perubahan pola pikir dan sosiokultural ini yang menjadi pijakan dasar bagi masyarakat untuk dapat berpikir dan bertindak, serta menghasilkan orang-orang yang lebih berdaya dan pada akhirnya kemiskinan dapat ditekan. Agar dapat melaksanakan kewajibannya secara maksimal, para fasilitator ini dituntut untuk melakukan pendampingan secara total. Kredo “Pergilah kepada masyarakat dan tinggallah bersama mereka” benar-benar dilakukan secara harfiah, yaitu tinggal di lokasi menjadi sebuah tuntutan. 

Totalitas itu termasuk tidak diperbolehkannya fasilitator melakukan pekerjaan lain secara bersamaanataumerangkap. Dengandemikian, tidakberlebihan jika dikatakan bahwa fasilitator merupakan ujung tombak berjalannya program pemberdayaan yang terbesar di Indonesia ini. Utamanya, peran pelatihan dan pengendalian para fasilitator merupakan kunci penting keberhasilan program ini. Setidaknya, halitulahyangdapatdisimpulkan dari laporan penelitian Indonesia’s Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty (Guggenheim et al., 2004). 

Melihat dari banyaknya dana yang harusdikelolamasing-masingkecamatan menjadi celah yang menggiurkanterjadinya penyelewengan namun melalui sistem pengendalian yang diwariskan dari PPK dan terus diperbarui hingga saat ini, fasilitator merupakan aktor utama pengendalian itu. 

Honor Fasilitator dan Motivasi Kerja 

Dapat dibayangkan tuntutan peran fasilitator (kecamatan) yang sedemikian berat, sehingga tidak mengherankan jika honorarium fasilitator sedikit lebih besar di atas gaji PNS yang harus mengelola desa-desa yang berada pada suatu kecamatan yang menjadi tanggung jawabnya. Lagi-lagi dapat dibayangkan seperti apa kondisi geografis pedesaan di Indonesia. Sehingga sampai pada kesimpulan, biaya untuk melakukan pekerjaan mereka pastilah tidak sedikit. 

Berbagai studi mengenai korelasi gaji atau upah dengan kinerja dan motivasi kerja telah banyak membuktikan adanya pengaruh signifikan (di antaranya Nawab et al., 2011). Artinya upah, gaji, ataupun honor mempengaruhi kinerja dan motivasi kerja seseorang atau dengan kata lain seseorang bekerja karena mencari penghasilan. Saat ini di beberapa wilayah di Indonesia (penulis belum mendapatkan data lengkap sehingga belum dapat mengatakan “semua”) honor fasilitator PNPM Perdesaan belum dibayarkan sejak Maret. 

Namun, tuntutan rencana kerja yang harus dilaksanakan menyebabkan program tetap berjalan seperti biasa dan mereka tetap melaksanakan pekerjaan seperti biasa. Protes secara sporadis terutama di dunia maya (http: //www.pnpm-perdesaan.or.id/ ?page=saran; http: //pnpmperdesaan. or.id /1chs/; http: //www. perspektifnews. com /?s=pnpm) baru marak sekitar satu bulan ini. Bahkan di situs terakhir, seorang fasilitator kabupaten nekat menyurati presiden. 

Entah apa tanggapan presiden. Protes yang baru-baru ini saja dilayangkan dan dilakukan oleh hanya sebagian kecil fasilitator merupakan fenomena menarik. Jika dibandingkan dengan pekerja pada sektor lain yang kerap melayangkan protes secara massal dan sangat reaktif terhadap kebijakan yang merugikan, fasilitator PNPM perdesaan terkesan malu-malu melayangkan protes kalau tidak dapat dikatakan takut. Protes di media cetak dapat dihitung dengan jari dan dilakukan oleh individu. 

Hal ini tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam untuk mengetahui apa sejatinya di balik fenomena tersebut. Sabar dan prihatin adalah tanggapan lumrah untuk pertanyaan tentang keterlambatan gaji mereka. Masih ada respons “sedang dalam proses” dalam situs resmi PNPM (http://pnpm-perdesaan. or.id/1chs/) barangkali yang menjadikan para fasilitator itu masih tetap bekerja. Absurdnya, terselip kata-kata yang mungkin dimaksudkan untuk tetap memotivasi para fasilitator agar terus berkarya, yaitu “tetap semangat”. 

Ditinjau dari sudut mana pun, akan sulit bagi para fasilitator itu untuk dapat memaknai kata semangat saat ini, karena urusannya sudah sampai pada kebutuhan yang ada pada tingkatan paling dasar piramida kebutuhan Maslow yang terkenal itu, yaitu urusan perut. 

Tentu tebersit di benak kita, lalu bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan terutama bagaimana mereka membiayai kegiatan mereka di lapangan? Ironis, agen pemberdayaan tetapi tidak berdaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar