Kamis, 14 Juni 2012

Sinar Papua yang kian Surut

Sinar Papua yang kian Surut
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2012


REHFUZ (1973:16) pernah mengatakan awal mula kekalahan sebuah negara ialah ketika selalu menilai setiap yang mereka lakukan ialah benar demi kemenangan politik semata. Kata-kata itu serasa menemukan tuahnya saat melihat pergolakan yang terus memanas di Papua. Editorial Media Indonesia (12/6) bahkan membacanya sebagai bentuk pembiaran pemerintah sekaligus justifikasi politik-kebijakan: seolah-olah dengan digelontorkannya dana otonomi khusus (otsus), kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya terwujud.

Saat menyikapi rentetan insiden penembakan misterius di Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie menduga ada aktor di balik terus memanasnya kondisi Papua yang terkait dengan sumber daya alam Papua.

Dalam teori stabilitas sosial Lofland (1991), statement Mar zuki bisa menjadi sikap antitrust yang percaya bahwa ada upaya pengomoditasan isu dan konflik untuk meruntuhkan legitimasi terhadap pemerintah. Itu yang disebut mass rioting, ketika konflik lebih berbasis pada gerakan kepentingan emosional-ekonomis politis sekelompok orang yang memanfaatkan rendahnya modal sosial negara akhir-akhir ini. Karena itu, perlu dicari motifnya pada aspek seberapa jauh kesamaan kepentingan dan cara pandang kekuasaan pusat terhadap Papua dengan segala keberadaannya.

Itu benar jika dikawinkan dengan pertanyaan kenapa Papua masih saja bergolak di saat pemerintah sudah berupaya meyakinkan rakyat Papua dengan berbagai pendekatan dan kebijakan mulai dari penerapan otsus berdasarkan Tap MPR No IV/MPR/1999, Program Unit Percepatan Pembangunan untuk Papua dan Papua Barat (UP4B), hingga penggelontoran anggaran infrastruktur yang tidak sedikit (seperempat anggaran nasional habis untuk membangun jembatan di Papua) atau kenaikan anggaran Otsus 23% tahun ini.

Buntu

Semua itu pendekatan yang memupus cara-cara konservatif melalui penerjunan militer berjumlah banyak oleh pemerintah menjadi pendekatan kesejahteraan dari hati ke hati (pidato kenegaraaan Presiden 16 Agustus 2011). Dengan tidak berpengaruhnya tindakan pemerintah tersebut, seolah-olah negara mengalami jalan buntu meredakan krisis dan ketegangan di Papua.

Pemerintah ibarat masuk gang-gang politik penyelesaian problem Papua yang boleh jadi penuh sesak berbagai kepentingan sempit (parokial) yang amat sulit dijangkau mata dan hati pemerintah yang serbaterbatas. Mungkin keresahan itu yang dimaksudkan Marzuki sehingga menyarankan Badan Intelijen Negara dan perguruan tinggi segera mengkaji soal bagaimana hubungan antara konflik (kepentingan) dan realitas sumber daya alam Papua. Dengan kata lain teori Benn Anderson tentang masyarakat bayangan sedang dilucuti kaum-kaum pembangkang yang merasa kepentingan mereka terhadap Papua bertabrakan dengan intensi kebijakan pemerintah dengan cara-cara menebar intimidasi dan provokasi.

Namun, merestriksi konflik Papua ke dalam ranah tanggung jawab kelompok kepentingan tertentu tidaklah bijaksana. Fred L Smith Jr dalam The Tragedy of the Commons, Revisited: Politics vs Private Property (1996) mengatakan dalam bingkai proteksi hukum, gesekan konflik yang terjadi dalam masyarakat sepenuhnya menjadi liabilitas fungsional negara. Sumber persoalan harus dicari pada struktur dan nilai kekuasaan yang dikoherensikan dengan kedalaman tekad negara (pemerintah) mengintegrasikan impian dan pengalaman bersama sebagai bangsa (nation) mewujudkan kesejahteraan bersama.

Nilai keadilan dan pemerataan, misalnya, haruslah menjadi dasar penguatan visi politik pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak prinsipiil rakyat tanpa kecuali. Itu mutlak menjadi harga mati kebijakan pemerintah khususnya dalam mengimbangi sejarah nasionalisme Papua pada RI sejak peristiwa Pepera dan pengakuan HAM Papua oleh PBB pada 1963. Jika apresiasi historis masyarakat Papua selama 40 tahun itu ternyata tidak sejalan dengan garansi demokrasi negara yang membiarkan benih-benih konflik akibat ketiadaan jaminan keadilan bernegara, titik koreksi sesungguhnya terletak di pemerintah.

Dengan kata lain, pendekatan penyelesaian krisis Papua janganlah tautologia mengambinghitamkan wacana separatisme belaka. Itu cumalah potret sesaat (snapshot) yang bisa dibaca sebagai cara pemerintah melegalisasi pendekatan militerisme yang melahirkan mata rantai kekerasan baru.

Masalah Papua sebenarnya miniatur persoalan arkais Indonesia, yakni soal pengakuan identitas dan keadilan para warga. Selama ini rakyat lebih sering dijadikan post factum penderitaan: setelah tewas diterjang peluru aparat, setelah disiksa majikan, setelah sekarat bahkan meninggal karena lapar, baru negara tampil bak hero kesiangan. Sebelumnya rakyat dibiarkan menjadi `statistik' instrumen kekuasaan. Dengan kata lain sejauh mana pemerintah mampu menerapkan prinsip demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang berdaulat penuh atas masa depannya.

Menurut Felix Heiduk dalam Democratization in Post-Soeharto Indonesia (2009), eskalasi kekerasan dan minimnya kesetiaan berdemokrasi terjadi ketika pendekatan ekonomi dan kesejahteraan tidak dimaksimalkan pemerintah sehingga melahirkan fenomena sosial: kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial yang laten.

Politik Dialog

Namun, itu tidak berarti pemerintah memboroskan belanja program sosial mereka bagi rakyat tanpa tahu persis yang dibutuhkan rakyat. Menurut Richard Crossman (1972), pemerintah sebaiknya jangan terlalu membuat banyak program jika itu tak efektif.

Pendekatan dialog Jakarta-Papua, jika dilakukan dengan populis dan sungguh-sungguh, akan mencairkan kebekuan aspirasi rakyat Papua selama ini. Partai politik, legislatif, bersama-sama pemerintah harus bersama-sama memformulasi strategi dialogis itu dengan rakyat Papua dari hati ke hati untuk membangun kebijakan pembangunan pendidikan, ekonomi dan politik dari dan untuk rakyat Papua sendiri sebagai wujud ethics of care politik negara terhadap kesejahteraan bangsa.

Para tokoh masyarakat di Papua perlu diajak duduk bersama oleh pemerintah untuk mencari solusi dan pendekatan komprehensif bagaimana Papua dibangun dalam kerangka politik kesaudaraan sesuai dengan nilai-nilai budaya dan historis masyarakat Papua.

Jika pemerintah masih juga lalai membaca potensi kekerasan yang terus terpelihara di dasar kekecewaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua, Papua dalam waktu dekat akan menjadi mutiara yang sinarnya surut dalam sejarah (historical has been's) NKRI karena ladang kekerasan yang makin luas tercipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar