Sinar
Papua yang kian Surut
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 13 Juni 2012
REHFUZ
(1973:16) pernah mengatakan awal mula kekalahan sebuah negara ialah ketika
selalu menilai setiap yang mereka lakukan ialah benar demi kemenangan politik
semata. Kata-kata itu serasa menemukan tuahnya saat melihat pergolakan yang
terus memanas di Papua. Editorial Media
Indonesia (12/6) bahkan membacanya sebagai bentuk pembiaran pemerintah
sekaligus justifikasi politik-kebijakan: seolah-olah dengan digelontorkannya
dana otonomi khusus (otsus), kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya
terwujud.
Saat
menyikapi rentetan insiden penembakan misterius di Papua, Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Marzuki Alie menduga ada aktor di balik terus memanasnya
kondisi Papua yang terkait dengan sumber daya alam Papua.
Dalam
teori stabilitas sosial Lofland (1991), statement
Mar zuki bisa menjadi sikap antitrust
yang percaya bahwa ada upaya pengomoditasan isu dan konflik untuk meruntuhkan
legitimasi terhadap pemerintah. Itu yang disebut mass rioting, ketika konflik lebih berbasis pada gerakan
kepentingan emosional-ekonomis politis sekelompok orang yang memanfaatkan
rendahnya modal sosial negara akhir-akhir ini. Karena itu, perlu dicari
motifnya pada aspek seberapa jauh kesamaan kepentingan dan cara pandang
kekuasaan pusat terhadap Papua dengan segala keberadaannya.
Itu
benar jika dikawinkan dengan pertanyaan kenapa Papua masih saja bergolak di
saat pemerintah sudah berupaya meyakinkan rakyat Papua dengan berbagai
pendekatan dan kebijakan mulai dari penerapan otsus berdasarkan Tap MPR No
IV/MPR/1999, Program Unit Percepatan Pembangunan untuk Papua dan Papua Barat (UP4B),
hingga penggelontoran anggaran infrastruktur yang tidak sedikit (seperempat
anggaran nasional habis untuk membangun jembatan di Papua) atau kenaikan
anggaran Otsus 23% tahun ini.
Buntu
Semua
itu pendekatan yang memupus cara-cara konservatif melalui penerjunan militer
berjumlah banyak oleh pemerintah menjadi pendekatan kesejahteraan dari hati ke
hati (pidato kenegaraaan Presiden 16 Agustus 2011). Dengan tidak berpengaruhnya
tindakan pemerintah tersebut, seolah-olah negara mengalami jalan buntu meredakan
krisis dan ketegangan di Papua.
Pemerintah
ibarat masuk gang-gang politik penyelesaian problem Papua yang boleh jadi penuh
sesak berbagai kepentingan sempit (parokial) yang amat sulit dijangkau mata dan
hati pemerintah yang serbaterbatas. Mungkin keresahan itu yang dimaksudkan
Marzuki sehingga menyarankan Badan Intelijen Negara dan perguruan tinggi segera
mengkaji soal bagaimana hubungan antara konflik (kepentingan) dan realitas
sumber daya alam Papua. Dengan kata lain teori Benn Anderson tentang masyarakat
bayangan sedang dilucuti kaum-kaum pembangkang yang merasa kepentingan mereka
terhadap Papua bertabrakan dengan intensi kebijakan pemerintah dengan cara-cara
menebar intimidasi dan provokasi.
Namun,
merestriksi konflik Papua ke dalam ranah tanggung jawab kelompok kepentingan
tertentu tidaklah bijaksana. Fred L Smith Jr dalam The Tragedy of the Commons, Revisited: Politics vs Private Property
(1996) mengatakan dalam bingkai proteksi hukum, gesekan konflik yang
terjadi dalam masyarakat sepenuhnya menjadi liabilitas fungsional negara.
Sumber persoalan harus dicari pada struktur dan nilai kekuasaan yang
dikoherensikan dengan kedalaman tekad negara (pemerintah) mengintegrasikan
impian dan pengalaman bersama sebagai bangsa (nation) mewujudkan kesejahteraan bersama.
Nilai
keadilan dan pemerataan, misalnya, haruslah menjadi dasar penguatan visi
politik pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak prinsipiil rakyat tanpa
kecuali. Itu mutlak menjadi harga mati kebijakan pemerintah khususnya dalam
mengimbangi sejarah nasionalisme Papua pada RI sejak peristiwa Pepera dan
pengakuan HAM Papua oleh PBB pada 1963. Jika apresiasi historis masyarakat
Papua selama 40 tahun itu ternyata tidak sejalan dengan garansi demokrasi
negara yang membiarkan benih-benih konflik akibat ketiadaan jaminan keadilan
bernegara, titik koreksi sesungguhnya terletak di pemerintah.
Dengan
kata lain, pendekatan penyelesaian krisis Papua janganlah tautologia
mengambinghitamkan wacana separatisme belaka. Itu cumalah potret sesaat
(snapshot) yang bisa dibaca sebagai cara pemerintah melegalisasi pendekatan
militerisme yang melahirkan mata rantai kekerasan baru.
Masalah
Papua sebenarnya miniatur persoalan arkais Indonesia, yakni soal pengakuan
identitas dan keadilan para warga. Selama ini rakyat lebih sering dijadikan
post factum penderitaan: setelah tewas diterjang peluru aparat, setelah disiksa
majikan, setelah sekarat bahkan meninggal karena lapar, baru negara tampil bak
hero kesiangan. Sebelumnya rakyat dibiarkan menjadi `statistik' instrumen
kekuasaan. Dengan kata lain sejauh mana pemerintah mampu menerapkan prinsip
demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang berdaulat penuh atas
masa depannya.
Menurut
Felix Heiduk dalam Democratization in
Post-Soeharto Indonesia (2009), eskalasi kekerasan dan minimnya kesetiaan
berdemokrasi terjadi ketika pendekatan ekonomi dan kesejahteraan tidak
dimaksimalkan pemerintah sehingga melahirkan fenomena sosial: kemiskinan,
pengangguran, dan kesenjangan sosial yang laten.
Politik Dialog
Namun,
itu tidak berarti pemerintah memboroskan belanja program sosial mereka bagi
rakyat tanpa tahu persis yang dibutuhkan rakyat. Menurut Richard Crossman
(1972), pemerintah sebaiknya jangan terlalu membuat banyak program jika itu tak
efektif.
Pendekatan
dialog Jakarta-Papua, jika dilakukan dengan populis dan sungguh-sungguh, akan
mencairkan kebekuan aspirasi rakyat Papua selama ini. Partai politik,
legislatif, bersama-sama pemerintah harus bersama-sama memformulasi strategi
dialogis itu dengan rakyat Papua dari hati ke hati untuk membangun kebijakan
pembangunan pendidikan, ekonomi dan politik dari dan untuk rakyat Papua sendiri
sebagai wujud ethics of care politik
negara terhadap kesejahteraan bangsa.
Para
tokoh masyarakat di Papua perlu diajak duduk bersama oleh pemerintah untuk
mencari solusi dan pendekatan komprehensif bagaimana Papua dibangun dalam
kerangka politik kesaudaraan sesuai dengan nilai-nilai budaya dan historis
masyarakat Papua.
Jika
pemerintah masih juga lalai membaca potensi kekerasan yang terus terpelihara di
dasar kekecewaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua, Papua dalam
waktu dekat akan menjadi mutiara yang sinarnya surut dalam sejarah (historical has been's) NKRI karena
ladang kekerasan yang makin luas tercipta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar