Wamen
Cukup Jelas
Bistok Simbolon ; Deputi Sekretaris Kabinet (Sekkab)
Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan
SUMBER : SINDO, 13
Juni 2012
Judul
tulisan ini terinspirasi dari artikel Yusril Ihza Mahendra di harian Seputar
Indonesia pada 11 Juni 2012 yang diberi judul “Wamen Versi Baru Tetap
Membingungkan”.
Setelah
kami cermati tulisan tersebut, “kebingungan” itu tampaknya berakar pada
ketidakpuasan Yusril atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang
menguji konstitusionalitas Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara. Hal tersebut tercermin dari pandangan beliau dalam artikel tersebut
yang menyatakan “...Kebingungan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak
jelas dalam UU Kementerian Negara itu diatur sendiri oleh Perpres 60/2012”.
Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat Prof Dr Yusril Ihza Mahendra memang terlibat sebagai saksi ahli pemohon dalam perkara pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945. Pada intinya beliau berpendapat bahwa pengangkatan wakil menteri (wamen) oleh Presiden tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pendapat saksi ahli tersebut sudah ditimbangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK berkesimpulan bahwa tidak terdapat masalah terhadap konstitusionalitas Pasal 10 (batang tubuh) UU Kementerian Negara, yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘wakil menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”.
Karena itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu” adalah konstitusional tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebelum sampai pada amar putusannya, MK dalam pendapatnya dengan akurat membangun suatu konstruksi berpikir yang sistemik tentang kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, sementara Pasal 17 ayat (2) berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
Bertolak pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) dari UUD 1945 tersebut, MK sampai pada pendapat bahwa pengangkatan wamen adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik diatur maupun tidak diatur dengan UU. Pengangkatan wamen sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden sehingga dari sudut substansi tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.
Yusril berpandangan bahwa wamen tidak memiliki kedudukan yang jelas karena tidak ada dalam struktur organisasi kementerian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008. Pandangan ini sebetulnya sudah tidak relevan karena sudah terjawab melalui pendapat MK yang menyatakan bahwa norma dari Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang tidak mencantumkan wamen dalam susunan organisasi kementerian negara.
Alasannya, “...oleh karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud ‘beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus’, maka menurut MK hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya”. Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang berbunyi: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu” mengisyaratkan suatu amanat bahwa jabatan wamen tidak secara otomatis terdapat pada seluruh kementerian negara.
Apabila Yusril memandang keberadaan wamen tersebut harus merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008, hal tersebut dapat diartikan mendorong pada situasi agar seluruh kementerian negara memiliki wamen. Pertanyaan mengenai di mana sesungguhnya kedudukan wamen pascapenerbitan putusan MK adalah pertanyaan yang relevan.
Pendapat MK dalam putusan Nomor 79/PUUIX/ 2011 telah memberi isyarat bahwa jabatan wamen tersebut bersifat politis karena sumber rekrutmennya dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, bahkan juga warga negara biasa. Atas dasar pendapat MK tersebut, Presiden dengan kewenangannya mengeluarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, yang menempatkan posisi wamen tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri (Pasal 1). Wakil menteri mempunyai tugas membantu menteri dalam “memimpin” pelaksana tugas kementerian negara (Pasal 2 ayat (1)).
Karena tugas wamen adalah membantu untuk “memimpin”, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ini, wamen ditempatkan pada posisi pimpinan. Tetapi posisi pimpinan di sini ditempatkan pada layer “supporting to the authority of the minister”. Kedudukan wamen berdasarkan Perpres Nomor 60/2012 tersebut memang tidaksama dengan menteri muda sebagaimana diberikan dalam contoh perbandingan oleh Yusril yang merujuk pada masa pemerintahan Presiden Seoharto.
Dalam pandangan kami, keberadaan menteri muda tersebut justru menimbulkan “matahari kembar” dalam satu kementerian. Pendapat-pendapat MK dalam putusan Nomor 79/PUUIX/ 2011 (dalam dokumen tertulis) justru menjadi acuan utama dalam penerbitan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 dan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012. Penyusunan perpres dan keppres tersebut tidak didasarkan (dan tidak boleh didasarkan) pada opini yang berkembang di media massa pascaputusan MK tersebut.
Sesuai pandangan MK ini, kami memaknai bahwa jabatan wamen menjadi bersifat politis sehingga harus ada jangka waktu berakhirnya masa jabatan wamen, yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang mengangkatnya (Pasal 4 ayat [1]) Perpres Nomor 60 Tahun 2012.
Pembatasan masa jabatan tersebut juga secara eksplisit disebutkan dalam Keppres Nomor 65/M Tahun 2012, di mana masa jabatan para wamen yang sudah diangkat oleh Presiden berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden periode 2009-2014. Dengan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut, dilakukan perubahan atas keppres yang mengangkat para wakil menteri menurut Keppres Nomor 111/M Tahun 2009, Keppres Nomor 3/P Tahun 2010, Keppres Nomor 57/P Tahun 2010, dan Keppres Nomor 159/M Tahun 2011.
Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut tidak memberhentikan (dan tidak perlu memberhentikan) para wamen pascaputusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan alasan bahwa MK sendiri berpendapat Presiden mempunyai hak eksklusif (yang kami maknai hak prerogatif) untuk mengangkat wamen, sekalipun ada atau tidak ada UU yang mengatur tentang wamen.
Dengan demikian, semua keputusan Presiden yang mengangkat para wamen selama ini adalah sah. Tidak diperlukan pemberhentian atau pelantikan para wamen yang telah diangkat. ●
Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat Prof Dr Yusril Ihza Mahendra memang terlibat sebagai saksi ahli pemohon dalam perkara pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945. Pada intinya beliau berpendapat bahwa pengangkatan wakil menteri (wamen) oleh Presiden tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pendapat saksi ahli tersebut sudah ditimbangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK berkesimpulan bahwa tidak terdapat masalah terhadap konstitusionalitas Pasal 10 (batang tubuh) UU Kementerian Negara, yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘wakil menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”.
Karena itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu” adalah konstitusional tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebelum sampai pada amar putusannya, MK dalam pendapatnya dengan akurat membangun suatu konstruksi berpikir yang sistemik tentang kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, sementara Pasal 17 ayat (2) berbunyi: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
Bertolak pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) dari UUD 1945 tersebut, MK sampai pada pendapat bahwa pengangkatan wamen adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik diatur maupun tidak diatur dengan UU. Pengangkatan wamen sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden sehingga dari sudut substansi tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.
Yusril berpandangan bahwa wamen tidak memiliki kedudukan yang jelas karena tidak ada dalam struktur organisasi kementerian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008. Pandangan ini sebetulnya sudah tidak relevan karena sudah terjawab melalui pendapat MK yang menyatakan bahwa norma dari Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang tidak mencantumkan wamen dalam susunan organisasi kementerian negara.
Alasannya, “...oleh karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud ‘beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus’, maka menurut MK hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya”. Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang berbunyi: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu” mengisyaratkan suatu amanat bahwa jabatan wamen tidak secara otomatis terdapat pada seluruh kementerian negara.
Apabila Yusril memandang keberadaan wamen tersebut harus merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008, hal tersebut dapat diartikan mendorong pada situasi agar seluruh kementerian negara memiliki wamen. Pertanyaan mengenai di mana sesungguhnya kedudukan wamen pascapenerbitan putusan MK adalah pertanyaan yang relevan.
Pendapat MK dalam putusan Nomor 79/PUUIX/ 2011 telah memberi isyarat bahwa jabatan wamen tersebut bersifat politis karena sumber rekrutmennya dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, bahkan juga warga negara biasa. Atas dasar pendapat MK tersebut, Presiden dengan kewenangannya mengeluarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, yang menempatkan posisi wamen tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri (Pasal 1). Wakil menteri mempunyai tugas membantu menteri dalam “memimpin” pelaksana tugas kementerian negara (Pasal 2 ayat (1)).
Karena tugas wamen adalah membantu untuk “memimpin”, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ini, wamen ditempatkan pada posisi pimpinan. Tetapi posisi pimpinan di sini ditempatkan pada layer “supporting to the authority of the minister”. Kedudukan wamen berdasarkan Perpres Nomor 60/2012 tersebut memang tidaksama dengan menteri muda sebagaimana diberikan dalam contoh perbandingan oleh Yusril yang merujuk pada masa pemerintahan Presiden Seoharto.
Dalam pandangan kami, keberadaan menteri muda tersebut justru menimbulkan “matahari kembar” dalam satu kementerian. Pendapat-pendapat MK dalam putusan Nomor 79/PUUIX/ 2011 (dalam dokumen tertulis) justru menjadi acuan utama dalam penerbitan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 dan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012. Penyusunan perpres dan keppres tersebut tidak didasarkan (dan tidak boleh didasarkan) pada opini yang berkembang di media massa pascaputusan MK tersebut.
Sesuai pandangan MK ini, kami memaknai bahwa jabatan wamen menjadi bersifat politis sehingga harus ada jangka waktu berakhirnya masa jabatan wamen, yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang mengangkatnya (Pasal 4 ayat [1]) Perpres Nomor 60 Tahun 2012.
Pembatasan masa jabatan tersebut juga secara eksplisit disebutkan dalam Keppres Nomor 65/M Tahun 2012, di mana masa jabatan para wamen yang sudah diangkat oleh Presiden berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden periode 2009-2014. Dengan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut, dilakukan perubahan atas keppres yang mengangkat para wakil menteri menurut Keppres Nomor 111/M Tahun 2009, Keppres Nomor 3/P Tahun 2010, Keppres Nomor 57/P Tahun 2010, dan Keppres Nomor 159/M Tahun 2011.
Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut tidak memberhentikan (dan tidak perlu memberhentikan) para wamen pascaputusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan alasan bahwa MK sendiri berpendapat Presiden mempunyai hak eksklusif (yang kami maknai hak prerogatif) untuk mengangkat wamen, sekalipun ada atau tidak ada UU yang mengatur tentang wamen.
Dengan demikian, semua keputusan Presiden yang mengangkat para wamen selama ini adalah sah. Tidak diperlukan pemberhentian atau pelantikan para wamen yang telah diangkat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar