Kamis, 14 Juni 2012

Bobroknya Tender Proyek Negara


Bobroknya Tender Proyek Negara
Effnu Subiyanto ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2012


PROYEK pusat pelatihan dan pendidikan olah raga bernilai Rp1,52 triliun milik Kemenpora di Hambalang tampaknya benar-benar direncanakan dengan acak adul. Dua bangunan power house dan lapangan indoor tiba-tiba runtuh karena tanahnya ambles 5 meter, baru-baru ini (25/5). Itu tentu sangat mengherankan karena sebelum layak menjadi daerah proyek, seharusnya suatu daerah memiliki kajian tanah yang disebut dengan soil test. Kajian itu antara lain digunakan untuk menjadi landasan berpikir sang pemilik proyek, apakah struktur tanah memadai. Pun jika ada kekurangan, bagaimana alternatif solusinya.

Tahap uji geologi seharusnya dilakukan sesudah kajian feasibility study (FS) dan amdal. Dengan begitu, soil test sudah bersifat teknis, tetapi harus lulus dulu, baru kemudian ke tahap selanjutnya seperti dimulainya tender sampai dengan eksekusi konstruksi. Kalau melihat kinerja dan pengalamannya selama ini, BUMN konstruksi PT Adhi Karya, yang merupakan kontraktor utama proyek Hambalang, seharusnya sangat paham akan tahapan ini, dengan catatan, semuanya dilakukan secara well manner dan compliance.

Pemenang tender konstruksi juga dapat mengklarifikasi dengan melakukan soil test sendiri sehingga dapat menentukan berapa kedalaman tiang pancang yang betul-betul kuat sampai ke bebatuan permanen.

Moral Hazard

Persoalannya, proyek Hambalang pada awalnya memang sudah kontroversial karena melibatkan individu episentrum berbagai elite politik dan birokrasi skala tinggi. Banyak sekali kepentingan yang melilitnya. Peristiwa ambruknya dua bangunan vital tentu semakin melegitimasi bahwa kecurangan dalam proyek berakibat langsung pada kualitas.

Kejadian ini mengingatkan kembali `luka lama' runtuhnya Jembatan `Golden Gate' Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang belum genap berusia 10 tahun. Jembatan itu tiba-tiba ambruk pada Sabtu (26/11/11) sekitar pukul 16.00 WIB dalam proyek pemeliharaan. Korban tewas ketika itu 5 orang, 22 dinyatakan hilang, 39 luka-luka, 5 mobil hanyut, dan sedikitnya 10 sepeda motor tenggelam di dasar Sungai Mahakam Tenggarong. Konstruksi sipil yang kuat hasil rancang bangun BUMN PT Hutama Karya pada 1995 itu lenyap hanya dalam 20 detik.

Tidak seperti dampak proyek Hambalang yang bersifat sektoral, robohnya jembatan penting yang menghubungkan Kota Samarinda dan Balikpapan praktis memutus mata rantai ekonomi yang bernilai triliunan rupiah di Kalimantan Timur dan keseluruhan Kalimantan. Kejadian tersebut membuat cemas, apakah yang menyebabkan gagalnya supremasi keilmuan teknik sipil yang sudah sangat teruji itu salah perhitungan, atau faktor lain?

Indonesia memiliki banyak sekali jembatan penting, salah satunya Jembatan Suramadu yang bahkan memiliki bentang bebas lebih panjang daripada Jembatan Kukar. Panjang bentang bebas Jembatan Kukar yang tidak disangga struktur langsung ialah sekitar 270 meter, padahal bentang bebas Suramadu mencapai 434 meter.

Negara ini masih bermimpi akan membangun banyak jembatan sebagai konsekuensi teritorial sebuah negara kepulauan. Mimpi itu, misalnya, membangun Jembatan Batam-Bintan, Jembatan Selat Bali, dan jembatan terpanjang Selat Sunda yang akan menghubungkan Jawa dan Sumatra. Sangat perlu kehati-hatian dalam menyiapkan perencanaan proyek jembatan dan tidak boleh setengah hati.

Kasus ambruknya proyek Hambalang yang belum selesai dan runtuhnya Jembatan Kukar tahun lalu mengisyaratkan ketidakberesan pada tahap seleksi atau tender setiap proyek pemerintah yang didanai uang negara. Insiden tersebut merupakan bentuk konkret moral hazard dari problema patgulipat setiap tender pemerintah yang rutin terjadi dan selalu mewarnai.

Korupsi di setiap tender pengadaan barang dan jasa pada proyek pemerintah sebenarnya sudah biasa, dan hampir menjadi rahasia umum. Oknum-oknum selalu bergentayangan di mana-mana, tidak hanya di tim pengadaan barang dan jasa, bahkan bisa dari luar tim yang notabene bukan bagian dari organisasi pengadaan.

KPK mencatat pada 2010 nilai korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah rata-rata mencapai 30%-40% setiap tahun anggaran. Tidak perlu heran mengapa indeks persepsi korupsi (IPK) tahun lalu masih di angka 2,8 atau urutan 110 dari 178 negara yang disurvei. Getolnya korupsi di Indonesia sekelas dengan negara-negara ketiga seperti Bolivia, Gabon, Kosovo, dan Kepulauan Solomon. Kita tentu saja kalah dengan negara sekawasan seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, apalagi Singapura.

Secara legal, dasar terbitnya Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang kini dilengkapi dengan Perpres 54/2010, berangkat dari PP 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Di dalamnya melekat substansi PP 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi dan UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan berbagai turunannya terkait soal Pajak. Panitia tender yang berakhlak tentu saja tidak melihat celah. Namun, bagi panitia tender yang kreatif, celah itu masih ada.

Kriteria lemahnya seleksi tender yang berhubungan dengan konstruksi itu ialah beragamnya standar menurut berbagai versi standar kelompok atau asosiasi jasa konstruksi. Tidak jarang kriteria standar itu malah berbeda dan bertentangan antara asosiasi dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Ada 36 asosiasi jasa konstruksi yang diakui LPJK (http://www.lpjk.org) dan masing-masing mengeluarkan versi standar keahlian yang membingungkan.

Bahkan LPJK sendiri mengakui bahwa standar sangat erat kaitannya dengan kompromi kewilayahan dan tidak tegas dibakukan sebagai regulasi universal. Standar konstruksi DKI, misalnya, tentu berbeda dengan standar konstruksi di Papua. Asalkan pemerintah daerah setempat melakukan endorsement (pengakuan), standar asosiasi tersebut diakui untuk wilayah tersebut.

Sangat diperlukan kejelian panitia tender untuk memilah dan memilih kriteria yang tepat untuk eksekusi suatu proyek sipil tertentu. Dari sini sebetulnya sangat terbuka untuk bermain mata antara panitia tender, peserta tender, asosiasi, LPJK, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Pejabat dengan mental yang masih bisa dipertanyakan integritasnya akan dengan mudah tergoda sehingga terjadi moral hazard.

Benahi

Jika mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah terusmenerus demikian, lengkaplah stereotip itu bahwa korupsi tender proyek pemerintah memang tidak bisa diberantas. Persoalannya apakah mungkin setiap proses pengadaan dibuat bersih?

Jawabannya tidak mungkin. Namun dengan sistem yang lebih baik, misalnya e-proc, kecenderungan berbuat curang bisa diminimalisasi. Peluang berbuat curang itu dengan model pengadaan real time hanya semakin kecil, tetapi tidak menghilangkan sama sekali. Dengan teknologi virtual online, malah semakin tidak bisa dike tahui apakah pengguna yang melakukan entry penawaran itu tidak bersumber dari satu orang saja.

Betapapun di sisi standar dan kriteria teknis, asosiasi seharusnya tidak boleh tinggal diam. Standardisasi term of reference (TOR) teknis bidang konstruksi sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan pengadaan yang rata-rata tidak menguasai bidang sipil secara keilmuan, tetapi menguasai prosedur pengadaan dan compliance di sisi lain. Asosiasi juga harus memberikan pendidikan pengembangan kepada anggotanya, baik masalah keahlian, sarana, maupun pendidikan moral untuk tidak memaksakan pekerjaan yang memang bukan keahliannya.

Kedewasaan dan sportivitas harus dijunjung tinggi semua yang terlibat mempertimbangkan proyek infrastruktur berkaitan langsung dengan konstruksi. Hitung-hitungan konstruksi sangat jelas dan kuantitatif. Konstruksi bisa dimodelkan dengan simulasi dan angka, dan seharusnya memberikan jaminan keamanan sampai dengan waktu yang diinginkan pemiliknya. Runtuhnya bangunan proyek sport center Hambalang atau ambrolnya Jembatan Kukar adalah model gagal kasus infrastruktur di daerah, yang kini banyak menuntut otonomi dan kemandirian berekspresi.

Ada yang tidak bisa dinegosiasikan jika menjadi panitia tender dan seharusnya secara full commitment dipatuhi. Term itu ialah jika berhadapan dengan undang-undang dan ukuran safety mandatory. Apa pun peliknya proses pengadaan, jika berhadapan dengan soal ini, sangat tidak direkomendasikan untuk melakukan inovasi kendati untuk alasan efisiensi. Jika bangunan sudah runtuh atau jembatan roboh, berarti safety-nya nol besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar