Kamis, 07 Juni 2012

Nongkrong


Nongkrong
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM Universitas Indonesia
SUMBER :  SINDO, 7 Juni 2012


Istilah nongkrong muncul di halaman depan harian terkemuka dunia, The New York Times, 28 Mei 2012. Nongkrong marak di hampir semua kota besar maupun kecil di Indonesia, mulai dari Banda Aceh (kedai kopi) sampai ke Timika di Papua.
Anak-anak muda dan orang tua gemar nongkrong, atau kata anak muda, hang out! Segelas besar minuman dingin untuk berlima, camilan tinggal diambil, fresh dan hangat, serta tentu saja free Wi-Fi. Bagi The New York Times, nongkrong adalah sebuah marketing insight yang hanya dilihat oleh segelintir pengusaha. “Nongkrong itu artinya duduk-duduk, kongko-kongko, ngelirik kiri-kanan, dan umumnya dipakai untuk mengosongkan diri.” Saya kira The New York Times ada benarnya. Kebiasaan “mengosongkan diri” kalau sedikit dipoles bisa berubah menjadi sarana belajar yang efektif.

Lihat saja anak-anak muda di Boston, di seberang Kampus Harvard. Di sudut-sudut Jalan Harvard Square, Anda menemukan kafe-kafe donat atau kedai-kedai kopi yang buka 24 jam. Di dalamnya hanya ada anak-anak muda yang asyik berselancar di internet ditemani secangkir kopi dan sepotong donat cokelat. Di meja-meja lainnya Anda temui mahasiswa kedokteran yang sedang mojok membaca buku. Di kiri-kanannya mahasiswa MBA tengah membahas business case.

Mereka lupa jam, sampai beberapa orang terpekur oleh alunan musik yang terus berbunyi. Tetapi, budaya mereka bukanlah budaya nongkrong di warung, setelah masa kuliah selesai mereka kembali menjadi manusia individual yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri. Budaya komunal yang biasa kongko-kongko hanya ada di beberapa wilayah di dunia seperti masyarakat Mediterania dan Indonesia.

Seven Eleven

Adalah Henri Honoris, generasi ketiga dan penerus dari pemegang hak distribusi Fuji Film di Indonesia yang melihat “marketing insight” itu. Di usianya yang masih muda Henri dipanggil pulang ayahnya untuk menyelamatkan usaha keluarga yang mulai “dying”. Siapa lagi yang masih mau membeli film-film rol? Semua sudah serba digital, dan generasi C sudah hadir. Bisnis fotografi Fuji Film di Indonesia drop dari sekitar Rp 2 triliun (2002) menjadi Rp 212 miliar pada 2010.

Itu pun lebih banyak cetakan-cetakan, baik foto studio maupun perkawinan. Outlet-outlet Fuji banyak ditutup dan sebagian besar asetnya menganggur. Prinsip yang dibangun Henri sederhana saja. Perusahaan keluarga tak bisa diteruskan dengan cara yang sama. Pilihannya adalah cara yang ditempuh Putera Sampoerna (jual!) atau perbaiki. Kalau tidak, ya mati! Cuma itu. Henri memutuskan untuk memperbaikinya: Change! Pada 2006 ia menyurati Seven Eleven yang berkedudukan di Dallas-Texas. Tetapi, seperti kenyataan yang diterima hampir semua pengusaha kita saat itu, Seven Eleven menolaknya mentah-mentah.

“Kami belum tertarik. Perhatian kami masih ditujukan ke Brasil, India, dan Vietnam,” ujar mereka. Henri tak putus asa. Ia terus menghubunginya, kendati saat itu sudah ada perusahaan-perusahaan ternama dunia yang juga meminta hak serupa untuk mengisi pasar Indonesia. “Saya katakan, kami ini yang paling desperate. Kalau tidak berubah, kami akan mati. Tetapi, saya masih muda dan siap bekerja keras,” Ia meyakinkan pemegang hak di Dallas. Ia pun mengajak mereka mendatangi Indonesia dan mengumpulkan fakta demi fakta sampai ia menemukan marketing insight itu.

Persoalannya, bagaimana menangkap insight nongkrong itu dalam bentuk outlet yang cocok dengan kondisi Indonesia, namun tidak membunuh yang sudah ada. Ia harus hidup berdampingan secara damai dengan pasar-pasar tradisional. Sementara bagi Seven Eleven, membuka outlet di Jakarta memerlukan kehati-hatian. Mereka tak mau gagal. Itu sebabnya mereka memilih hati-hati membuka pasar. Sejak 1993 Seven Eleven hanya membuka outlet baru di dalam area yang sudah dimasukinya. Ini berarti, selama 17 tahun mereka tidak memasuki negara baru selain yang sudah ada.

Dengan cara seperti itu saja, Seven Eleven telah menjadi retailer terbesar di dunia dengan 40.000 outlet, melebihi jumlah kedai yang dibangun McDonald’s atau Starbucks. Di Thailand saja sudah ada 7.000 outlet, dan di negara kecil sebesar Singapura saja sudah ada 5.000 outlet. Dari e-mail ke e-mail, ditolak dan digali, sampai mengirim proposal dan foto-foto, akhirnya pada 2008 Henri diajak berunding oleh Seven Eleven. Konsepnya sederhana saja, yaitu bagaimana memasukkan tradisi nongkrong ke dalam outlet Seven Eleven. Anak-anak muda Indonesia sudah biasa belanja di mal dan fasilitas yang lebih higienis, tetapi nongkrong yang ada masih mahal.

Mereka butuh kopi yang harga secangkirnya di bawah Rp10.000, ada nasi goreng di bawah Rp 20.000, namun juga ada hotdog dan softdrink. Tentu saja bisa membaca, ngobrol bersama, dan mendapatkan free Wi-Fi. Konsep itu ia presentasikan dan ternyata diterima. Maka jadilah Seven Eleven Indonesia sebuah adaptasi baru yang berbeda dengan Seven Eleven lain di seluruh dunia. Di luar negeri Seven Eleven terkenal dingin, sedingin softdrink dan camilan berpengawet.

Tetapi, di sini menjadi tempat nongkrong yang hangat. Kata Direktur Strategic Planning Dentsu Indonesia Ganto Novialdi, Seven Eleven telah membentuk lahirnya generasi Alayeven. Anak-anak Alay dan orang tua Alay yang gemar nongkrong berkumpul sampai pagi di gerai Seven Eleven. Kalau dulu mereka sekadar omong kosong, sekarang mereka mulai membicarakan pelajaran, buku-buku baru, reuni, dan pekerjaan.

“Affordable Luxury”

Konsepnya disebut Henri sebagai affordable luxury atau kemewahan yang terjangkau. The New York Times menangkapnya dengan melihat “insight” ini : Di parkiran Anda bisa menyaksikan Mercedes-Benz berjajar bersebelahan dengan puluhan sepeda motor. Anak-anak yang dulu biasa trek-trekkan berkumpul di situ, berinteraksi dengan profesional muda yang sudah lebih dulu naik kelas.

Sambil membuka laptop dan berdiskusi atau main game. Jadilah Seven Eleven 50% kafe dan 50% convenience store. Ini sejalan dengan perubahan gaya hidup urban yang tengah terjadi di sini seperti yang sering saya bahas pada kolom-kolom sebelumnya. Orang-orang kota semakin penat dan bosan diam di rumah yang lampu listriknya kurang terang atau AC-nya kurang dingin. Pasangan-pasangan muda semakin jarang masak di rumah karena jendela-jendelanya semakin kecil dan rumahnya berubah menjadi semacam studio. Mereka beralih membeli makanan siap saji atau makan di luar.

Semua orang semakin sibuk, tetapi butuh higienitas dan kedai sederhana yang buka 24 jam, namun wireless connected dan free charging (untuk menambah daya listrik handphone) menjadi pilihan. Apa yang diadaptasi tak lain adalah budaya warung yang selama ini sudah kita kenal. Warung yang bersahabat dan harganya terjangkau tentu akan berubah sejalan dengan munculnya jutaan kelas menengah baru Indonesia. Di sini mereka bisa menikmati kopi hangat dengan harga seperempat atau sepertiga harga secangkir kopi hangat di kedai Starbucks. Wajar bila Seven Eleven diterima luas.

Di belakangnya tentu saja ada orang-orang Indonesia yang meraup untung, mulai dari pemasok nasi goreng, kopi, dan aneka makanan. Maka pelajarilah insight dan perbaharuilah usaha generasi para pendahulu agar bisnis keluarga kekal abadi dan tetap muda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar