Planet
Under Pressure
Muhammad Evri ; Kepala Bidang Teknologi Akuntansi Sumber Daya Alam, BPPT
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 7 Juni 2012
KEKHAWATIRAN
shortage energi bagi Jepang itu
awalnya sangat beralasan sekali tatkala pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang
ditutup untuk selamanya pascagempa dan tsunami di Fukushima dan beberapa
wilayah Jepang lainnya. Hampir semua denyut kehidupan masyarakat dan negara
Jepang tak lepas dari energi, mulai dari skala rumah tangga, sekolah,
perusahaan, transportasi, industri, bisnis dan perdagangan sampai ke seluruh
pelosok Jepang, sehingga bisa dikalkulasi betapa besarnya kebutuhan energi Jepang
untuk menggerakkan semua itu.
Karena
minimnya sumber daya alam (SDA), kebutuhan energi Jepang sebagian besar diimpor
dari luar negeri, baik batu bara, minyak, maupun gas. Pun itu masih dirasa
sangat kurang sehingga sebagian lagi energi dipasok dari beberapa PLTN di
wilayah Jepang.
Kalkulasi Sosial
Gegar
energi yang dikhawatirkan tadi bakal melanda Jepang ternyata tidak terbukti.
Dari kalkulasi teknis, Jepang bakal mengalami guncangan energi karena hilangnya
sumber energi terbarukan mereka (PLTN). Namun, kalkulasi teknis ini bisa
dibantah dengan kalkulasi sosial. Ternyata penghematan energi yang dilakukan
mulai skala individu, rumah tangga, organisasi, perusahaan, dan pemerintah
secara terus-menerus rupanya sangat signifikan berdampak pada `ketersediaan'
stok energi mereka. Sosialisasi dan komunikasi gerakan hemat energi yang
berkesinambungan telah menjadi budaya dan melembaga bagi masyarakat Jepang.
Dalam pemotongan energi listrik setelah kejadian Fukushima, tingkat permintaan
kipas angin (senpuki) sangat tinggi
karena sudah pasti energi listrik yang disediakan tidak cukup untuk
menggerakkan AC.
Kemudian,
permintaan kemeja yang tipis, tanpa dasi dan jas juga sangat tinggi, karena
sudah tentu suhu dalam ruangan rumah dan perkantoran menjadi hangat, apalagi
pada musim panas (summer). Bahkan di
beberapa kantor, staf dan karyawan diperbolehkan untuk mengenakan kaus saat
bekerja agar target pekerjaan tercapai walau dalam kondisi suhu yang hangat
bahkan cenderung panas. Hal tersebut di atas ternyata dalam setahun bisa
berubah kembali karena jumlah energi yang dihemat sangat besar sekali.
Isu
itu menjadi isu pemikat yang banyak dibahas selama perhelatan simposium Japan Geoscience Union (JpGU 2012), yang
berlangsung pada 2025 Mei 2012 di Chiba, Jepang. Suatu dampak yang cukup
signifikan bagi implementasi ketahanan energi Jepang.
Setidaknya
kekhawatiran `planet under pressure'
atau planet bumi dalam ancaman bisa terkurangi tatkala kalkulasi sosial tadi
bisa melembaga di negara-negara lain, termasuk juga bagi Indonesia.
Melirik
apa yang tengah terjadi di dalam negeri terkait dengan ketersediaan energi
untuk masyarakat sungguh memprihatinkan. Di berbagai tempat, nyaris setiap hari
masyarakat harus mengalami antrean yang sangat panjang untuk mendapatkan BBM
sampai di mulut SPBU. Yang meningkatkan tensi mereka ialah tatkala di depan
mata mereka juga hampir setiap hari BBM eceran tersedia di sebelah SPBU yang
mereka tuju, yang tentu dengan harga yang tidak masuk akal.
Kejadian
yang berbulanbulan dan harus terjadi setiap hari ini mencapai puncaknya,
tatkala rakyat di daerah bersama-sama memblokade pengiriman sumber energi untuk
`pemerintah pusat'. Itu merupakan puncak kekecewaan masyarakat yang berada di
berbagai tempat karena kebutuhan dasar energi BBM mereka memang tidak
terpenuhi, karena tidak proporsionalnya dalam distribusi dan juga dalam
pertumbuhan ekonomi.
Keterpaduan Instrumen
Ada
suatu pesan dari kejadian ini bahwa suatu saat memang ketersediaan bahan bakar
yang bersumber dari fosil akan terus menurun dan tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan umat di muka bumi. Bila sadar dari sekarang, tentu akan selamat di
masa datang.
Namun,
hal itu tidak bisa terjadi secara business
as usual. Harus punya perencanaan dan instrumen yang bisa mengantarkan kita
ke arah sana. Di samping instrumen teknologi untuk menciptakan dan memasalkan
energi yang terbarukan, juga harus punya instrumen sosial yang bisa
mengantarkan manusia pada budaya dan perilaku hemat, yang menjadi life style
dalam kehidupan sehari-hari. Instrumen teknologi tidak bisa berdiri sendiri,
dan hal itu harus dilengkapi dengan instrumen sosial juga instrumen hukum.
Dari
perspektif teknologi sudah yakin suatu saat negeri ini mampu mengeksplorasi
energi terbarukan yang tersedia menjadi energi yang siap dibutuhkan masyarakat.
Banyak sekali energi terbarukan yang ada, mulai dari air, angin, gelombang,
panas bumi, biomassa (residu), matahari, atau bahkan nuklir bila aspek keamanan
menjadi prioritas tinggi.
Keterpaduan
instrumen teknologi, sosial, dan hukum dalam eksplorasi inilah yang bisa
mengurangi tekanan pada planet ini. Instrumen sosial ini lebih fokus pada
perilaku manusia seperti hemat, tidak serakah, selalu mencari alternatif.
Instrumen hukum fokus pada pengaturan perilaku masyarakat ketika berada di
ruang publik terkait dengan energi, seperti perilaku monopoli dan kapitalisme
yang memicu penyuapan dan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar