Kamis, 07 Juni 2012

Identitas Manusia Indonesia


Identitas Manusia Indonesia
Sabam Leo Batubara ; Wartawan Senior, Manggala Pancasila Angkatan 1996  
SUMBER :  SINDO, 7 Juni 2012


Seremoni peringatan Kebangkitan Nasional Mei 1908–Mei 2012, Reformasi 14 tahun, dan Hari Lahir Pancasila 1 Juni usai sudah.

Seperti biasanya, dalam peringatan itu berbagai evaluasi, pendapat, dan harapan, kembali disuarakan para tokoh bangsa. Pada peringatan Hari Pancasila di Gedung Parlemen Jakarta (1 Juni 2012) yang dihadiri Wapres Boediono, dua mantan presiden dan dua mantan wapres, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, dalam menghadapi persaingan global, bangsa Indonesia harus memegang teguh Pancasila,sebab Pancasila adalah identitas bangsa yang dapat menunjukkan jati diri bangsa di dunia internasional.

Harapan itu sangat relevan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila, karena tepat 67 tahun sebelumnya Bung Karno menggambarkan, “Kemerdekaan Indonesia dengan dasar negara Pancasila merupakan ‘jembatan emas’. Di seberang jembatan emas ini,kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.” Setelah Indonesia merdeka mendekati 67 tahun, berhasilkah Pancasila mengantar masyarakat Indonesia menjadi gagah, kuat, dan sehat? Jawabannya, justru sekarang ini Indonesia sedang dalam perjalanan menuju negara gagal, dan kalau tidak diatasi terancam tidak kekal dan abadi.

Kendatipun negeri ini telah meninggalkan paham otoritarian yang dianut rezim Orde Lama dan Orde Baru, dan beralih ke sistem demokrasi yang berkedaulatan rakyat, performa penyelenggara negara sepertinya semakin jauh dari baik. Berdasarkan amendemen konstitusi, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam implementasinya—tiada hari tanpa berita di media massa—anggota dewan terkesan memperdagangkan fungsi legislasi dan anggaran, serta melalaikan fungsinya untuk mengawasi penyelenggaraan negara.

Media massa terus-menerus memberitakan performa buruk DPR. Survei Transparency International menyatakan Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia, sementara dua institusi terkorup di negeri ini adalah parlemen dan parpol. Menurut sistem, fungsi aparat birokrasi—mulai lurah, GF wali kota, bupati, gubernur dan jajarannya, sampai presiden dan pembantunya—adalah untuk melayani kepentingan rakyat (bature rakyat). Menurut sistem, mereka eksis untuk mewujudkan misi dan program pembangunan menuju tujuan bernegara.

Paradoksnya, penjara justru dipenuhi ratusan wali kota, bupati, gubernur atau pembantunya, dan sejumlah menteri, karena mengorupsi dana untuk pembangunan pemajuan dan penyejahteraan rakyat. Konstitusi mengamanatkan, penyelenggaraan negara bersendikan hukum. Dalam kenyataan, praktik pengadilan mengalami public distrust. Penyebabnya, praktik jual-beli putusan dan suap, yang lazim disebut dengan mafia peradilan (M Busyro Muqoddas). Dasar negara Pancasila dengan lima sila, yakni Berketuhanan yang Maha Esa. Berkemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia. Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Berkeadilan sosial bagi seluruh Indonesia.
Pertanyaan timbul, kenapa kondisi negara sekarang ini tidak seperti yang dicita-citakan Bung Karno, yakni rakyat menjadi gagah, kuat, dan sehat? Kenapa rakyat tidak semakin maju dan sejahtera? Tercatat paling tidak tiga jawaban. Pertama, bahwa elite bangsa umumnya, penyelenggara negara khususnya, belum berorientasi taat konstitusi. Jawaban ini tercermin dari temuan Mahfud MD. Pada Kongres Keempat Pancasila di Yogyakarta (31 Mei 2012), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu memaparkan banyak aturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila.

Bahkan,sejak 2003 sampai 2012, dari sekitar 400 UU, sebanyak 27% lebih telah dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan Pancasila. Kedua, kegagalan penyelenggaraan negara karena kekuatan asing menghambat Pancasila. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam Kongres Pancasila IV di Yogyakarta berpendapat “Dalam praktik, nilai-nilai Pancasila dikhianati. Selain itu, pendukung sistem ekonomi neoliberal juga telah membabat nilai-nilai luhur Pancasila dalam praktik, tanpa ada kekuatan yang menandingi.

” Dalam tulisannya dalam satu surat kabar nasional (23 April 2012), Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri berpendapat, pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalismelah yang mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila. Ketiga, Indonesia akan berhasil mencapai cita-cita bangsa jika berhasil mengatasi kelemahan-kelemahannya.

Lewat pemberitaan Indonesia Raya dan buku Manusia Indonesia (1977), Mochtar Lubis mengungkapkan temuannya bahwa manusia Indonesia memiliki karakter dengan delapan kelemahan, yakni berkecenderungan korup; munafik; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; tidak hemat dan boros; tidak senang bekerja keras dan cenderung bermalas-malas; bisa kejam, mengamuk dan membakar. Dalam bukunya, Mochtar Lubis mengurai kelemahan-kelemahan manusia Indonesia sebagai penyakit kronis yang menggerogoti negara ini.

Strategi penyelamatan

Dari uraian di atas, kenyataan-kenyataan dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara selama 67 tahun ini adalah; pertama, Pancasila menjadi dasar negara tidak terbantahkan. Kedua, Pancasila sebagai identitas manusia Indonesia adalah nilai-nilai yang harus diperjuangkan (das sollen). Ketiga, tidak bisa dimungkiri dan sudah sejak dulu di-early warning-kan oleh Mochtar Lubis kedelapan penyakit manusia Indonesia itulah yang selalu menggerogoti negara ini (das sein).

Oleh karena karakter manusia Indonesia yang mengidap delapan jenis penyakit itulah akar permasalahan bangsa, maka strategi untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila menjadi karakte rindividual dan kolektif bangsa untuk menjadi “jembatan emas” menuju kejayaan NKRI haruslah dimulai dengan menyembuhkan bangsa dari delapan jenis penyakit tersebut.

Upaya penyembuhan Indonesia dari delapan jenis penyakit tersebut pada gilirannya akan memperkuat nilai-nilai Pancasila, dan dengan identitas manusia Indonesia seperti itu kita tidak perlu mengambinghitamkan ideologi asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar