Selasa, 05 Juni 2012

Memulihkan Kesuburan Lahan


Memulihkan Kesuburan Lahan
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER :  KORAN TEMPO, 4 Juni 2012


Kinerja produksi pangan strategis Indonesia naik-turun. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan ada kecenderungan produksi terus menurun. Pada 2011, semua produksi pangan strategis (beras, jagung, kedelai, dan gula) merosot. Produksi belum bisa memenuhi penambahan permintaan pangan dalam negeri. Laju produksi beras turun 1,6 persen, jagung turun 6 persen, kedelai turun 4 persen, dan gula turun 1,8 persen. Target surplus beras 10 juta ton serta target swasembada gula dan kedelai 2014 akan amat sulit dicapai.

Ada banyak penyebab instabilitas produksi itu, salah satunya degradasi kualitas tanah. Hal ini disampaikan Menteri Pertanian Suswono dalam berbagai kesempatan. Akar masalah ini bermula dari adopsi teknologi produksi padi pada akhir 1970-an: Revolusi Hijau. Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda: positif dan negatif. Lewat adopsi paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan, sehingga ramalan penganut Malthusian tak terbukti. Produk padi naik dari 1,8 ton per hektare menjadi 3,01 ton per ha hanya dalam tempo 14 tahun (1970-1984). Padahal Jepang butuh waktu 68 tahun (1880-1948) untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton per ha menjadi 3,28 ton per ha, Taiwan perlu 57 tahun (1913-1970) untuk menaikkan produksi dari 1,35 ton per ha menjadi 3,1 ton per ha.

Dunia berdecak kagum melihat prestasi Indonesia. Secara akademis, keberhasilan Indonesia telah menggugat dan mempertanyakan kemapanan teori “dualisme” Boeke dan teori “involusi” Geertz. Puncak keberhasilan itu adalah dicapainya swasembada beras pada 1984. Indonesia bisa melepaskan diri dari predikat negara pengimpor beras terbesar di dunia dan menjadi swasembada. Presiden Soeharto pun diganjar penghargaan FAO. Persoalannya, meskipun produksi meningkat, petani tetap miskin. Swasembada beras juga hanya bertahan sampai 1989. Sejak itu sampai sekarang, impor selalu berulang ketika produksi turun. Dua tahun terakhir, impor beras mencapai 2 juta ton per tahun.

Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang begitu cepat memunculkan kekaguman, tapi diakhiri kekecewaan berkepanjangan di kemudian hari. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Filipina, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Banyak studi menyebutkan, di balik Revolusi Hijau, sesungguhnya terselip kepentingan bisnis kotor para korporasi transnasional (Tata, 2000). Dimensi penting Revolusi Hijau adalah kontrol kaum kapitalis (negara maju) terhadap kekayaan genetika dunia ketiga. Paket-paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk (kimia) dan pestisida, terbukti merusak tanah serta lingkungan sehingga menyulitkan kontinuitas produksi.

Pemakaian pupuk anorganik terus-menerus dan takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi. Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil. Varietas unggul yang ditanam rakus hara dan mineral, sehingga tanah harus terus-menerus diberi input hara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida yang digunakan bertubi-tubi tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan penyakit yang kebal. Varietas unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada hama/penyakit yang kian tangguh telah mengerosi varietas milik petani yang menghasilkan nasi pulen dan wangi. Varietas lokal yang tidak rakus hara tidak hanya tersingkir, tapi juga mulai punah.

Dampak paling terasa dari pemakaian pupuk anorganik yang takarannya terus meningkat adalah makin tidak responsifnya tanaman terhadap pemupukan. Meskipun takaran pupuk diperbesar, tingkat produktivitasnya tidak sebanding dengan penambahan input pupuk. Dalam bahasa ekonomi, ini dikenal dengan the law of diminishing return. Dilihat dari teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di sentra padi sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan. Kajian Mahbub Hossain dan Narciso dari International Rice Research Institute (2002) menemukan, rata-rata produktivitas usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia mencapai 6,4 ton per ha, kedua tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah Cina (7,6 ton per ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per ha dengan input yang kian mahal.

Ini semua menunjukkan tanah kita sudah jenuh dan keletihan (soil fatigue). Perlu usaha besar-besaran untuk memulihkan kesuburan tanah. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengembalikan kandungan bahan organik. Stagnasi produktivitas terjadi salah satunya karena kandungan bahan organik tanah terkuras. Saat ini, 80 persen dari 7,4 juta ha sawah, kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sawah seperti itu memerlukan input dua kali lebih besar ketimbang tanah berbahan organik 2 persen. Bahan organik tanah terkuras karena serasah panen tidak dikembalikan lagi ke lahan. Pupuk anorganik minded memperburuk kesuburan fisik (struktur, aerasi, permeabilitas), kimia, dan biologi tanah.

Desain kebijakan subsidi pupuk kita memang salah. Pertama, subsidi bias pupuk urea dan ZA. Ini memperburuk anjuran pemupukan berimbang. Kedua, sebagian besar subsidi untuk pupuk anorganik. Tahun ini hanya Rp 1,12 triliun (6,6 persen) dari Rp 16,94 triliun subsidi pupuk yang dialokasikan buat pupuk organik. Setidaknya, ada dua tujuan subsidi pupuk (anorganik): agar pendapatan petani meningkat dan mereka tetap bergairah berusaha tani secara berkesinambungan. Dua tujuan itu mustahil dicapai. Meski disubsidi, selama ini petani selalu membeli pupuk di atas harga eceran tertinggi. Ini membuat pendapatan mereka tergerus. Subsidi membuat petani minded pupuk anorganik. Yang terjadi, banyak petani memupuk melampaui dosis rekomendasi. Overdosis ini tak hanya menimbulkan inefisiensi, tapi juga membuat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Produksi tak hanya meluruh, tapi kesinambungan usaha tani menjadi pertaruhan.

Untuk mengembalikan kesuburan tanah, perlu gerakan masif memakai pupuk organik dan pertanian organik. Ini bukan semata-mata karena distribusi pupuk bersubsidi kacau dan tidak tepat sasaran, tapi ada hal penting dalam pupuk organik yang tidak bisa digantikan pupuk anorganik. Pertama, kemandirian petani. Pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh petani dari bahan-bahan alam yang melimpah. Mereka tak bergantung pada pabrik. 

Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi. Secara empiris, pupuk organik tak hanya mengembalikan hara (makro + mikro), tapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Integrasi tanaman-ternak di Jawa mampu mengurangi pupuk anorganik 25-35 persen, mendongkrak produktivitas 20-29 persen, dan di Bali menaikkan pendapatan petani 41,4 persen (Susila, 2007). Ketiga, keamanan pangan. Banyak riset dan pengalaman petani yang keracunan akibat pestisida dan pupuk anorganik. Ini tak terjadi pada pertanian organik. Karena itu, di masa depan secara gradual subsidi pupuk organik harus diperbesar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar