Memulihkan
Kesuburan Lahan
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota Kelompok
Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : KORAN
TEMPO, 4 Juni 2012
Kinerja produksi pangan strategis Indonesia
naik-turun. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan ada kecenderungan produksi
terus menurun. Pada 2011, semua produksi pangan strategis (beras, jagung,
kedelai, dan gula) merosot. Produksi belum bisa memenuhi penambahan permintaan
pangan dalam negeri. Laju produksi beras turun 1,6 persen, jagung turun 6
persen, kedelai turun 4 persen, dan gula turun 1,8 persen. Target surplus beras
10 juta ton serta target swasembada gula dan kedelai 2014 akan amat sulit
dicapai.
Ada banyak penyebab instabilitas produksi
itu, salah satunya degradasi kualitas tanah. Hal ini disampaikan Menteri
Pertanian Suswono dalam berbagai kesempatan. Akar masalah ini bermula dari
adopsi teknologi produksi padi pada akhir 1970-an: Revolusi Hijau. Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda: positif dan negatif. Lewat adopsi
paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan, sehingga ramalan
penganut Malthusian tak terbukti. Produk padi naik dari 1,8 ton per hektare
menjadi 3,01 ton per ha hanya dalam tempo 14 tahun (1970-1984). Padahal Jepang
butuh waktu 68 tahun (1880-1948) untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton
per ha menjadi 3,28 ton per ha, Taiwan perlu 57 tahun (1913-1970) untuk
menaikkan produksi dari 1,35 ton per ha menjadi 3,1 ton per ha.
Dunia berdecak kagum melihat prestasi Indonesia.
Secara akademis, keberhasilan Indonesia telah menggugat dan mempertanyakan
kemapanan teori “dualisme” Boeke dan teori “involusi” Geertz. Puncak
keberhasilan itu adalah dicapainya swasembada beras pada 1984. Indonesia bisa
melepaskan diri dari predikat negara pengimpor beras terbesar di dunia dan
menjadi swasembada. Presiden Soeharto pun diganjar penghargaan FAO.
Persoalannya, meskipun produksi meningkat, petani tetap miskin. Swasembada
beras juga hanya bertahan sampai 1989. Sejak itu sampai sekarang, impor selalu
berulang ketika produksi turun. Dua tahun terakhir, impor beras mencapai 2 juta
ton per tahun.
Revolusi
Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang
begitu cepat memunculkan kekaguman, tapi diakhiri kekecewaan berkepanjangan di
kemudian hari. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Filipina,
Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Banyak studi menyebutkan, di balik
Revolusi Hijau, sesungguhnya terselip kepentingan bisnis kotor para korporasi
transnasional (Tata, 2000). Dimensi penting Revolusi
Hijau adalah kontrol kaum kapitalis (negara maju) terhadap kekayaan
genetika dunia ketiga. Paket-paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk
(kimia) dan pestisida, terbukti merusak tanah serta lingkungan sehingga
menyulitkan kontinuitas produksi.
Pemakaian pupuk anorganik terus-menerus dan
takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas tanah terdegradasi.
Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil. Varietas unggul yang
ditanam rakus hara dan mineral, sehingga tanah harus terus-menerus diberi input
hara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida yang digunakan bertubi-tubi
tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan penyakit yang kebal. Varietas
unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada hama/penyakit yang kian tangguh
telah mengerosi varietas milik petani yang menghasilkan nasi pulen dan wangi.
Varietas lokal yang tidak rakus hara tidak hanya tersingkir, tapi juga mulai
punah.
Dampak paling terasa dari pemakaian pupuk
anorganik yang takarannya terus meningkat adalah makin tidak responsifnya
tanaman terhadap pemupukan. Meskipun takaran pupuk diperbesar, tingkat
produktivitasnya tidak sebanding dengan penambahan input pupuk. Dalam
bahasa ekonomi, ini dikenal dengan the law of diminishing return.
Dilihat dari teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di sentra
padi sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan.
Kajian Mahbub Hossain dan Narciso dari International
Rice Research Institute (2002) menemukan, rata-rata produktivitas usaha
tani padi di lahan irigasi di Indonesia mencapai 6,4 ton per ha, kedua
tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah Cina (7,6 ton per ha).
Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per ha dengan input
yang kian mahal.
Ini semua menunjukkan tanah kita sudah jenuh
dan keletihan (soil fatigue). Perlu usaha besar-besaran untuk memulihkan
kesuburan tanah. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengembalikan
kandungan bahan organik. Stagnasi produktivitas terjadi salah satunya karena
kandungan bahan organik tanah terkuras. Saat ini, 80 persen dari 7,4 juta ha
sawah, kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sawah seperti itu
memerlukan input dua kali lebih besar ketimbang tanah berbahan organik 2
persen. Bahan organik tanah terkuras karena serasah panen tidak dikembalikan
lagi ke lahan. Pupuk anorganik minded memperburuk kesuburan fisik
(struktur, aerasi, permeabilitas), kimia, dan biologi tanah.
Desain kebijakan subsidi pupuk kita memang
salah. Pertama, subsidi bias pupuk urea dan ZA. Ini memperburuk anjuran
pemupukan berimbang. Kedua, sebagian besar subsidi untuk pupuk anorganik. Tahun
ini hanya Rp 1,12 triliun (6,6 persen) dari Rp 16,94 triliun subsidi pupuk yang
dialokasikan buat pupuk organik. Setidaknya, ada dua tujuan subsidi pupuk
(anorganik): agar pendapatan petani meningkat dan mereka tetap bergairah
berusaha tani secara berkesinambungan. Dua tujuan itu mustahil dicapai. Meski
disubsidi, selama ini petani selalu membeli pupuk di atas harga eceran
tertinggi. Ini membuat pendapatan mereka tergerus. Subsidi membuat petani minded
pupuk anorganik. Yang terjadi, banyak petani memupuk melampaui dosis
rekomendasi. Overdosis ini tak hanya menimbulkan inefisiensi, tapi juga membuat
kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Produksi tak hanya meluruh,
tapi kesinambungan usaha tani menjadi pertaruhan.
Untuk mengembalikan kesuburan tanah, perlu
gerakan masif memakai pupuk organik dan pertanian organik. Ini bukan
semata-mata karena distribusi pupuk bersubsidi kacau dan tidak tepat sasaran,
tapi ada hal penting dalam pupuk organik yang tidak bisa digantikan pupuk
anorganik. Pertama, kemandirian petani. Pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh
petani dari bahan-bahan alam yang melimpah. Mereka tak bergantung pada pabrik.
Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi. Secara empiris, pupuk organik
tak hanya mengembalikan hara (makro + mikro), tapi juga memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Integrasi tanaman-ternak di Jawa mampu
mengurangi pupuk anorganik 25-35 persen, mendongkrak produktivitas 20-29
persen, dan di Bali menaikkan pendapatan petani 41,4 persen (Susila, 2007).
Ketiga, keamanan pangan. Banyak riset dan pengalaman petani yang keracunan
akibat pestisida dan pupuk anorganik. Ini tak terjadi pada pertanian organik. Karena
itu, di masa depan secara gradual subsidi pupuk organik harus diperbesar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar