Selasa, 05 Juni 2012

Politik Minus Kepedulian


Politik Minus Kepedulian
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 4 Juni 2012


Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan: segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Karena itulah dua karya klasik yang menjadi magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles menjelaskan sejatinya politik itu agung dan mulia, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatatan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.

Artinya, politik digariskan sebagai jalan pendorong terciptanya karakter kebajikan pada setiap individu dalam negara. Dengan kata lain, bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker 1961).

Dengan demikian, secara konstitusional para politikus mengemban sejumlah tugas penting. Pertama, sebagai policy maker, yaitu bertugas merumuskan kebajikan-kebajikan strategis yang memihak kepentingan publik.

Kedua, sebagai legal drafter, yaitu bertugas membuat dan menyusun undang-undang yang menjamin tegaknya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat. Ketiga, sebagai legislator, yaitu bertugas sebagai “penyambung lidah rakyat”, guna mengartikulasikan aspirasi dan menyuarakan kepentingan umum warga negara.

Politik Penuh Kepalsuan

Namun, apa yang terlihat saat ini, dari tata laku penguasa dan politikus dalam perspektif kebudayaan mutakhir kian memancarkan sebuah kesimpulan bahwa tabiat politikus kita lekat dengan apa yang disebut katastrofe kemanusiaan; nilai-nilai agung kemanusiaan yang melekat pada dirinya sebagai makhluk beradab runtuh. Suap dan korupsi, selingkuh, gemar bertualang alias berpelesiran ke luar negeri telah menjerembabkan mereka ke dalam lembah kiamat kemanusiaan.

Celakanya, para politikus kita bukan saja tidak beres mengurus negara, yaitu sebagai pendorong terciptanya kesejahteraan rakyat, tetapi banyak yang terlibat dan terjerat kasus hukum, seperti suap dan korupsi.

Politik berhati nurani pun terlucuti dan mereka hadir bak robot yang piawai mengelola kepentingan diri dan kelompok dengan menggunakan hukum sebagai alibi objektivitas. Tidak heran, dari mulut para politikus yang terlibat korupsi, terdengar ucapan, “saya serahkan perkara kepada para penegak hukum”, “jangan intervensi hukum”, dan seterusnya. Tetapi, di balik kelambu politik dan hukum terjadi perselingkuhan yang saling menguntungkan dan saling menikmati.

Ironisnya, meski di kening mereka telah terpahat penilaian rakyat, seperti koruptor, jago menerima suap, gemar berkongkalikong, dan segala tindakan amoral lainnya, mereka tetap saja bergaya trendi, berdasi, dan berpenampilan tetap serba mewah. Mereka seperti lupa bahwa masyarakat sudah tahu di balik jas mereka yang mahal, dasi melintang buatan luar negeri, itu terbungkus segala kebusukan moral.

Maka, benar kata Yasraf Amir Piliang, bahwa realitas politik kita penuh dengan kepalsuan. Bahwasanya apa yang kita temukan dalam realitas politik bangsa hari ini adalah “disensus palsu”, yaitu ketidaksepakatan palsu antara para elite politik terhadap pandangan umum kebenaran.

Untuk itu jangan heran jika lembaga parlemen kita kini semakin berubah wajah menjadi ground breeding bagi praktik korupsi. Parlemen dan parpol kita semakin beralih fungsi menjadi medan transaksi politik, yang berujung pada perolehan materi dan uang. Wajah politik negeri ini pun semakin dekil dan bobrok moralitasnya.

Minus Etika Kepedulian

Perilaku politikus yang mencerminkan wajah politik seperti itu tidak lebih sebagai cermin dari orientasi politik minus etika kepedulian. Atau, orientasi politik terbatas pada kepentingan diri dan kelompok yang minus etika kepedulian lantaran telah mati sensibilitas terhadap kepentingan publik bangsa dan negara. Tanpa sensibilitas atas kepentingan publik bangsa, atau politik minus etika, kepedulian membuat politik transaksional antarelite terus tumbuh subur.

Etika kepedulian menurut Raugust dalam Feminist Ethics and Worplace Valves (1992) adalah hubungan kepedulian (caring relationship), hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang-orang lain.

Terpenting adalah seseorang tertentu dalam situasinya yang konkret dapat menerima dan memberikan kepedulian. Bagi seorang politikus, kebajikan (virtue) dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk berlaku adil (justice). Eksploitasi dan tindakan merugikan publik harus dihindari. Ini karena politik merugikan orang lain adalah cermin politik yang telah mengalami kematian etika.

Selanjutnya, politik yang telah mengalami kematian etika akan menumbuh-suburkan politik-politik yang serba palsu, penuh kamuflase, kebohongan, dan lain-lain. Keadaan ini sebenarnya sudah lama berjalan dalam roda kehidupan politik di Tanah Air.

Karena itu, tidak heran pesona parpol atau parlemen bukan lagi terletak pada tugas mulianya sebagai pengemban amanat rakyat, perumus kebijakan negara, dan menciptakan ruang bagi pendidikan politik rakyat, tetapi lebih pada sebagai arena mencari pekerjaan dan akses menumpuk harta.

Akhirnya, politik hanya dilihat sebagai jalan pintas untuk mengubah kehidupan, memperbaiki nasib, sebab ia menjanjikan kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan, bukan lagi sebagai jalan mulia dan agung untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, atau wahana membangun masyarakat utama ala Plato dan Aristoteles.

Maka, sia-sialah berpolitik, yang sama halnya dengan percumalah kita bernegara yang bertujuan mengantarkan warga ke kebaikan hidup yang penuh keadaban.
Masalahnya, apakah perilaku buruk para politikus ini terus dibiarkan berkembang tanpa kendali? Jawabannya tidak.

Supaya tidak terjadi penodaan lebih parah lagi terhadap kehidupan politik, diperlukan kesadaran nurani dari para politikus untuk lebih mengembangkan etika kepedulian. Ini karena hati nurani merupakan lokus kesadaran manusia sekaligus sebagai puncak kecerdasan yang oleh Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai “kecerdasan spiritual dan sosial”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar