Politik
Minus Kepedulian
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 4 Juni 2012
Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebut sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan: segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain.
Karena itulah dua karya klasik yang menjadi magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya
Aristoteles menjelaskan sejatinya politik itu agung dan mulia, yakni sebagai
wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud
dalam tatatan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga
tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.
Artinya, politik digariskan sebagai jalan
pendorong terciptanya karakter kebajikan pada setiap individu dalam negara.
Dengan kata lain, bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles,
politik adalah cara meraih apa yang disebut the
best possible system that could be reached (Hacker 1961).
Dengan demikian, secara konstitusional para
politikus mengemban sejumlah tugas penting. Pertama, sebagai policy maker, yaitu bertugas merumuskan
kebajikan-kebajikan strategis yang memihak kepentingan publik.
Kedua, sebagai legal drafter, yaitu bertugas membuat dan menyusun undang-undang
yang menjamin tegaknya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat.
Ketiga, sebagai legislator, yaitu
bertugas sebagai “penyambung lidah rakyat”, guna mengartikulasikan aspirasi dan
menyuarakan kepentingan umum warga negara.
Politik Penuh Kepalsuan
Politik Penuh Kepalsuan
Namun, apa yang terlihat saat ini, dari tata
laku penguasa dan politikus dalam perspektif kebudayaan mutakhir kian
memancarkan sebuah kesimpulan bahwa tabiat politikus kita lekat dengan apa yang
disebut katastrofe kemanusiaan; nilai-nilai agung kemanusiaan yang melekat pada
dirinya sebagai makhluk beradab runtuh. Suap dan korupsi, selingkuh, gemar
bertualang alias berpelesiran ke luar negeri telah menjerembabkan mereka ke
dalam lembah kiamat kemanusiaan.
Celakanya, para politikus kita bukan saja
tidak beres mengurus negara, yaitu sebagai pendorong terciptanya kesejahteraan
rakyat, tetapi banyak yang terlibat dan terjerat kasus hukum, seperti suap dan
korupsi.
Politik berhati nurani pun terlucuti dan
mereka hadir bak robot yang piawai mengelola kepentingan diri dan kelompok
dengan menggunakan hukum sebagai alibi objektivitas. Tidak heran, dari mulut
para politikus yang terlibat korupsi, terdengar ucapan, “saya serahkan perkara
kepada para penegak hukum”, “jangan intervensi hukum”, dan seterusnya. Tetapi,
di balik kelambu politik dan hukum terjadi perselingkuhan yang saling
menguntungkan dan saling menikmati.
Ironisnya, meski di kening mereka telah
terpahat penilaian rakyat, seperti koruptor, jago menerima suap, gemar
berkongkalikong, dan segala tindakan amoral lainnya, mereka tetap saja bergaya
trendi, berdasi, dan berpenampilan tetap serba mewah. Mereka seperti lupa bahwa
masyarakat sudah tahu di balik jas mereka yang mahal, dasi melintang buatan
luar negeri, itu terbungkus segala kebusukan moral.
Maka, benar kata Yasraf Amir Piliang, bahwa
realitas politik kita penuh dengan kepalsuan. Bahwasanya apa yang kita temukan
dalam realitas politik bangsa hari ini adalah “disensus palsu”, yaitu
ketidaksepakatan palsu antara para elite politik terhadap pandangan umum
kebenaran.
Untuk itu jangan heran jika lembaga parlemen
kita kini semakin berubah wajah menjadi ground breeding bagi praktik korupsi.
Parlemen dan parpol kita semakin beralih fungsi menjadi medan transaksi
politik, yang berujung pada perolehan materi dan uang. Wajah politik negeri ini
pun semakin dekil dan bobrok moralitasnya.
Minus Etika Kepedulian
Minus Etika Kepedulian
Perilaku politikus yang mencerminkan wajah
politik seperti itu tidak lebih sebagai cermin dari orientasi politik minus
etika kepedulian. Atau, orientasi politik terbatas pada kepentingan diri dan
kelompok yang minus etika kepedulian lantaran telah mati sensibilitas terhadap
kepentingan publik bangsa dan negara. Tanpa sensibilitas atas kepentingan
publik bangsa, atau politik minus etika, kepedulian membuat politik
transaksional antarelite terus tumbuh subur.
Etika kepedulian menurut Raugust dalam Feminist Ethics and Worplace Valves
(1992) adalah hubungan kepedulian (caring
relationship), hubungan silih asih,
silih asah, silih asuh dengan orang-orang lain.
Terpenting adalah seseorang tertentu dalam
situasinya yang konkret dapat menerima dan memberikan kepedulian. Bagi seorang
politikus, kebajikan (virtue)
dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk berlaku adil (justice). Eksploitasi dan tindakan merugikan publik harus
dihindari. Ini karena politik merugikan orang lain adalah cermin politik yang
telah mengalami kematian etika.
Selanjutnya, politik yang telah mengalami
kematian etika akan menumbuh-suburkan politik-politik yang serba palsu, penuh
kamuflase, kebohongan, dan lain-lain. Keadaan ini sebenarnya sudah lama
berjalan dalam roda kehidupan politik di Tanah Air.
Karena itu, tidak heran pesona parpol atau
parlemen bukan lagi terletak pada tugas mulianya sebagai pengemban amanat
rakyat, perumus kebijakan negara, dan menciptakan ruang bagi pendidikan politik
rakyat, tetapi lebih pada sebagai arena mencari pekerjaan dan akses menumpuk
harta.
Akhirnya, politik hanya dilihat sebagai jalan
pintas untuk mengubah kehidupan, memperbaiki nasib, sebab ia menjanjikan
kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan, bukan lagi sebagai jalan mulia dan agung
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, atau wahana membangun masyarakat utama
ala Plato dan Aristoteles.
Maka, sia-sialah berpolitik, yang sama halnya
dengan percumalah kita bernegara yang bertujuan mengantarkan warga ke kebaikan
hidup yang penuh keadaban.
Masalahnya, apakah perilaku buruk para
politikus ini terus dibiarkan berkembang tanpa kendali? Jawabannya tidak.
Supaya tidak terjadi penodaan lebih parah
lagi terhadap kehidupan politik, diperlukan kesadaran nurani dari para
politikus untuk lebih mengembangkan etika kepedulian. Ini karena hati nurani
merupakan lokus kesadaran manusia sekaligus sebagai puncak kecerdasan yang oleh
Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai “kecerdasan
spiritual dan sosial”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar