Isra
Mi’raj dan Korupsi
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber : REPUBLIKA,
19 Juni 2012
Isra
Mi’raj merupakan momentum strategis umat Islam untuk merefleksikan kembali sema
ngat keberagamaannya. Umat Islam jangan lagi terjebak dalam ibadah ritual saja
sehingga melalaikan ibadah sosial. Shalat lima waktu sebagai hasil Isra Mi’raj
bukanlah perintah menjalankan shalat secara ritual, melainkan juga perintah
menegakkan panji-panji agama dalam konteks sosial.
Allah
mengecam mereka yang suka shalat tetapi mencegah lahirnya kebajikan untuk
menyapa saudara yang miskin, yatim, dan terpinggirkan. Karena itu, tak salah
kalau kemudian shalat menjadi tiang agama. Kalau tiangnya rapuh, peradaban yang
terbangun, baik dalam individu maupun masyarakat, bisa mudah roboh.
Fakta
paling jelas atas kerapuhan tiang beragama adalah maraknya praktik korupsi di
negeri Indonesia. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa religius. Sila pertama dalam
Pancasila juga telah menegaskan identitas kita sebagai negara yang menjunjung
tinggi religiositas.
Undang-undang
Pendidikan Nasional juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
manusia yang bertakwa, berkarakter, dan menjunjung tinggi akhlak yang mulia.
Tetapi, mengapa praktik korupsi justru dilakukan mereka yang berpendidikan
tinggi? Realitas inilah yang menjadi tantangan umat beragama di Indonesia.
Momentum Isra Mi’raj menjadi refleksi untuk menata kembali elan vital agama di
tengah kecamuk korupsi yang terus menggurita ini.
Pemberantasan
korupsi yang digembar-gemborkan tampaknya tidak membumi, masih sebatas wacana.
Terbukti, berbagai kasus korupsi masih mendera bangsa ini. Aparat penegak hukum
sen diri juga terkesan tidak mempunyai political
will dalam menjaring para koruptor.
Para
jaksa pun seperti “ustaz di kampung
maling”. Seolah hilang satu tumbuh seribu. Itulah peribahasa yang tepat
menggambarkan fenomena praktik korupsi yang telah menjamur di Indonesia.
Kondisi ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpin
pemerintahan yang tidak memberikan teladan dalam pemberantasan tindak korupsi.
Rasanya malu kita menjadi warga negara Indonesia jika bangsa kita yang dikenal
sebagai bangsa religius (beragama) justru jadi ladang subur praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan kecurangan. Di manakah kredibilitas kita sebagai bangsa
yang religius yang justru menoleransi praktik-praktik korupsi?
Jihad Melawan Korupsi
Momentum
shalat perlu dijadikan sebagai refleksi “jihad melawan korupsi“. Ibadah shalat dapat
dijadikan spirit jihad pemberantasan korupsi. Ibadah shalat melecutkan umat
Islam membuka lembaran penegakan keadilan.
Perintah
shalat adalah asas peradaban Nabi yang menegakkan keadilan sesuai nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan. Spirit lahirnya keadilan berbasis ketuhanan dan
kemanusiaan menjadi tonggak keteladanan yang harus diserap dalam kesadaran umat
dan bangsa.
Shalat
menghadirkan teologi amar ma'ruf nahi
munkar yang amat efektif sebagai legitimasi jihad menegakkan keadilan.
Perang suci melawan korupsi adalah satu-satunya perang paling legitimate untuk
dikumandangkan umat dan bangsa ini, selain perang melawan bentuk kejahatan
kemanusiaan lain, seperti kemiskinan, kejahatan, ketidakadilan, kebodohan, dan
perusakan lingkungan.
Abdul
Munir Mulkan (2010) menyinyalir bahwa pemahaman keagamaan yang tumbuh di
masyarakat kita akhirakhir ini cenderung bersifat matematis.
Praktik kesalehan bukan lagi dijadikan sebagai pengabdian yang tulus kepada Tuhan (ibtigha'a mardhat Allah).
Praktik kesalehan bukan lagi dijadikan sebagai pengabdian yang tulus kepada Tuhan (ibtigha'a mardhat Allah).
Kini,
kesalehan tidak ubahnya bagian dari perdagangan kapitalistis dengan cara
berbuat sedikit dosa (modal), tetapi menghasilkan pahala (keuntungan) yang
melimpah dengan bersedekah dan sejenisnya. Sedemikian kuatnya kecenderungan ini
merasuk dalam perilaku masyarakat sehingga inti ajaran agama yang sesungguhnya
pun nyaris tak bisa dikenali lagi.
Munir
Mulkhan melanjutkan bahwa ibadah shalat inilah yang dicatat sebagai amalan
preventif bagi umat Islam dari perbuatan keji dan munkar. Seyogianya manusia
mendahulukan aspek horizontal (hablum
minannas) lalu aspek vertikal (hablum
minallah). Dalam fenomena keseharian, banyak dijumpai orang yang lebih
menekankan Mi’raj (hubungan vertikal
dengan Tuhan) dengan melakukan banyak ibadah sampai pada batas ekstrem, sementara
tuntutan Isra (hubungan horizontal dengan sesama manusia) belum terpenuhi.
Akibatnya,
kekerasan yang dilaku kan oknum pemeluk umat beragama ti dak jarang justru
dijadikan pretensi sebagai sebuah kesalehan dan tingginya kualitas iman. Adapun
keramahan dan ke-rahmah-an (kasih sayang) sesama makhluk tuhan, nyaris
terabaikan. Agama pada prinsipnya menuntut keseimbangan antara kesalehan sosial
dengan kesalehan individual guna merealisasikan sukses dunia dan akhirat.
Bahkan,
hasil penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rakhmat (1991) menyimpulkan bahwa
kesalehan sosial harus lebih diprioritaskan dengan beberapa alasan. Pertama,
dalam Alquran dan sunah proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial. Kedua,
dalam kenyataannya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh
diperpendek atau ditangguhkan.
Ketiga,
ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada
ibadah yang bersifat perseorangan. Dan keempat, bila urusan ibadah dilakukan
tidak sempurna atau batal maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan masalah sosial.
Saatnya
semangat Isra Mi’raj menggelinding layaknya bola salju membawa energi maha
dahsyat guna menyapu habis ketidakadilan, korupsi, kekerasan, kemusyrikan,
otoritarian, kemunafikan sehingga bangsa Indonesia cepat bangkit menjadi bangsa
yang maju dan bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar