Rabu, 20 Juni 2012

Mengukuhkan Perjuangan Al-Irsyad

Mengukuhkan Perjuangan Al-Irsyad
Qim Abdurrochim ; Staf Perpustakaan dan Dokumentasi PP Persis
Sumber :  REPUBLIKA, 19 Juni 2012


Penyelenggaraan Muktamar Al-Irsyad di Jakarta pada 18-20 Juni 2012, ini meng ingatkan penulis pada sambutan yang disampai kan 46 tahun yang lalu. Tepatnya, sambutan Pusat Pimpinan Persatuan Islam pada Resepsi Penutupan Muktamar Al Irsyad ke-29, 16 September 1966 di Bogor. Sebuah catatan lama yang perlu didengungkan untuk menghangatkan kembali ingatan, bukan hanya pada saat itu, melainkan juga sekarang ini ketika ormas-ormas (Islam) seakan menjadi rebutan pada banyak pihak ketika pelaksanaan pemilu dan pemilukada serta pilpres.

Sambutan itu dimulai dengan kaitan sejarah antara Persis dan Al-Irsyad yang merupakan “saudara kembar dalam perjuangan”. Bahkan, “Al-Irsyad dan Persatuan Islam adalah dua anak yang sama-sama dilahirkan di tanah kelahiran yang sama, keduanya adalah berdasarkan Alquran dan hadis. Keduanya sama-sama mengatasi bermacam rintangan dan godaan serta keduanya tegak sama-sama mempertahankan diri sebagai pembela hak dan kebenaran.” Membela hak dan kebenaran perlu ditekankan kembali, baik oleh Persis maupun Al-Irsyad. Kita harus lebih aktif lagi dalam berjuang karena saudara ‘taumatan’ kembar itu adalah “pembela hak dan kebenaran”. Sebagai contoh ketika sekelompok orang berusaha merobek-robek Negara Kesatuan Republik Indonesia, ormas-ormas Islam, seperti Persis dan Al-Irsyad, menyuarakan hal sama, yakni NKRI adalah harga mati.

Ini bukan kecintaan berlebihan terhadap Tanah Air, melainkan mengingatkan kepada siapa pun dan organisasi apa pun akan kenyataan penanam saham terbesar kemerdekaan ini adalah umat Islam. Artinya, umat Islam harus mempertahankan nilai-nilai tersebut dengan penuh semangat dan perjuangan.

“Lihatlah betapa banyaknya pengorbanan telah diberikan untuk menegakkan hak di Tanah Air kita! Mungkin berupa harta, mungkin berupa jasa, mungkin pula berupa wakaf yang semuanya telah menjadi landasan perjuangan Al-Irsyad. Cobalah balik-balik lembaran sejarah Al-Irsyad sejak zaman Sayid Ahmad Sjoorkati (almarhum). Tidak sedikit jumlah pengorbanan yang telah diberikan sejak itu, baik dalam rupa jasa maupun jiwa.”

“Wahai alangkah ruginya jika seandainya darah serta jerih payah serta pengor banan mereka itu tidak menghasilkan apa yang mereka cita-citakan. Alangkah sia-sianya jasa dan harta yang telah ditebarkan sebagai pupuk perjuangan mereka, namun tidak membuah kan buah yang diharapkan penanamnya, tidak sejalan dengan niat semula!”

Pertanyaannya adalah apakah kita saat ini, baik di Persis maupun AlIrsyad, masih mau bersedia berkorban seperti dulu? Tanpa pamrih, bukan karena mengharap sesuatu atau karena dijanjikan sesuatu? Yang bisa menjawab adalah “taumatan” itu, dua saudara kembar dalam perjuangan yang insya Allah masih dibukakan jalan yang lurus, istiqamah mengingat landasan perjuangannya adalah Alquran dan sunah Rasulullah SAW.

Mudah-mudahan tidak tergerus zaman yang menghanyutkan itu. “Namun, alhamdulillah, apa yang ditanamkan pada saat Al-Irsyad ini didirikan tidak kehilangan ‘pelanjutnya’. Tuhan telah menyediakan ruang jihad dan medan amal yang luas sekali. Mesti terus berlangsung walau berbeda zaman dan tempatnya. Islam adalah obat untuk setiap penyakit di manapun ia berada pada saat dan zaman manapun ia berlangsung!”

Syukurlah, Persis dan Al-Irsyad tidak kehilangan pelanjut, seakan patah tumbuh hilang berganti, malah dari kualitas keilmuan mungkin jauh ke depan. Tapi, apakah jiwa berkorban demi menggarap ruang jihad dan medan amal yang begitu luas (semakin bertambah dengan banyaknya masalah yang bermunculan) masih melekat pada mereka? Perlu dijawab lewat muktamar ke muktamar sebagai ajang evaluasi, baik yang diseleng garakan Persis maupun Al-Irsyad.

Yang harus tetap menjadi pegangan adalah “Dengan tetap mengamalkan Al quran dan hadis kita dijamin lan tadillu tidak tersesat dengan mutlak dan umum. Tidak akan tersesat siasatnya, tidak akan tersesat ekonominya, tidak akan tersesat kasab dan usahanya.”

Tentang siapa kawan seiring, dalam sambutan 46 tahun yang lalu itu mengetengahkan, “Ada orang yang ikut dalam pergerakan Islam, tapi ia sebenarnya bu kan seorang Muslim. Dan, diketahuinya bahwa dalam Islam ada tenaga yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan dirinya dan golongannya. Baginya, Islam hanya sekadar alat yang bila telah sampai pada tujuannya akan ditinggalkan dengan mudah.”

Kemudian, ada golongan yang kedua, orang yang menggerakkan Islam, ia pun orang Islam, tidak lalai dalam ibadah, tapi ia tidak meyakini bahwa Islam akan mampu mencatat kemajuan dan kejayaannya bila soal “akidah dan tauhid” menjadi pokok persoalan yang mesti diperhatikan. Rasa cinta dan sayangnya terhadap Islam bergantung pada besar kecilnya laba yang diperoleh di dunia.

Kita dapati pula golongan yang ketiga, ia menggerakkan Islam dengan keya kinan Islam dapat mencapai tujuannya bila kemurnian Alquran dan hadis terjaga dan terpelihara. Keyakinan mereka itu sejalan dengan pendapat Imam Maliki yang menyatakan bahwa tidak akan beres kehidupan umat Islam, kecuali dengan resep yang dahulu pernah dijalankan orang dan ternyata membawa Islam kepada zaman keemasannya.

Layaknya pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai, baik bagi Persis maupun ormas Islam lain, dalam makna luas dari “ketergantungan” kepada satu golongan dengan menanggalkan shibghah memurnikan akidah dan tauhid dalam seluruh relung kehidupan umat. Semoga muktamar Al-Irsyad menghasilkan gagasan yang mendapatkan tanah subur untuk tumbuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar