Mengukuhkan
Perjuangan Al-Irsyad
Qim Abdurrochim ; Staf Perpustakaan dan Dokumentasi PP Persis
Sumber : REPUBLIKA,
19 Juni 2012
Penyelenggaraan
Muktamar Al-Irsyad di Jakarta pada 18-20 Juni 2012, ini meng ingatkan penulis
pada sambutan yang disampai kan 46 tahun yang lalu. Tepatnya, sambutan Pusat
Pimpinan Persatuan Islam pada Resepsi Penutupan Muktamar Al Irsyad ke-29, 16
September 1966 di Bogor. Sebuah catatan lama yang perlu didengungkan untuk
menghangatkan kembali ingatan, bukan hanya pada saat itu, melainkan juga
sekarang ini ketika ormas-ormas (Islam) seakan menjadi rebutan pada banyak
pihak ketika pelaksanaan pemilu dan pemilukada serta pilpres.
Sambutan
itu dimulai dengan kaitan sejarah antara Persis dan Al-Irsyad yang merupakan
“saudara kembar dalam perjuangan”. Bahkan, “Al-Irsyad dan Persatuan Islam
adalah dua anak yang sama-sama dilahirkan di tanah kelahiran yang sama,
keduanya adalah berdasarkan Alquran dan hadis. Keduanya sama-sama mengatasi
bermacam rintangan dan godaan serta keduanya tegak sama-sama mempertahankan
diri sebagai pembela hak dan kebenaran.” Membela hak dan kebenaran perlu
ditekankan kembali, baik oleh Persis maupun Al-Irsyad. Kita harus lebih aktif
lagi dalam berjuang karena saudara ‘taumatan’
kembar itu adalah “pembela hak dan
kebenaran”. Sebagai contoh ketika sekelompok orang berusaha merobek-robek
Negara Kesatuan Republik Indonesia, ormas-ormas Islam, seperti Persis dan
Al-Irsyad, menyuarakan hal sama, yakni NKRI adalah harga mati.
Ini
bukan kecintaan berlebihan terhadap Tanah Air, melainkan mengingatkan kepada
siapa pun dan organisasi apa pun akan kenyataan penanam saham terbesar
kemerdekaan ini adalah umat Islam. Artinya, umat Islam harus mempertahankan
nilai-nilai tersebut dengan penuh semangat dan perjuangan.
“Lihatlah
betapa banyaknya pengorbanan telah diberikan untuk menegakkan hak di Tanah Air
kita! Mungkin berupa harta, mungkin berupa jasa, mungkin pula berupa wakaf yang
semuanya telah menjadi landasan perjuangan Al-Irsyad. Cobalah balik-balik
lembaran sejarah Al-Irsyad sejak zaman Sayid Ahmad Sjoorkati (almarhum). Tidak
sedikit jumlah pengorbanan yang telah diberikan sejak itu, baik dalam rupa jasa
maupun jiwa.”
“Wahai
alangkah ruginya jika seandainya darah serta jerih payah serta pengor banan
mereka itu tidak menghasilkan apa yang mereka cita-citakan. Alangkah sia-sianya
jasa dan harta yang telah ditebarkan sebagai pupuk perjuangan mereka, namun
tidak membuah kan buah yang diharapkan penanamnya, tidak sejalan dengan niat
semula!”
Pertanyaannya
adalah apakah kita saat ini, baik di Persis maupun AlIrsyad, masih mau bersedia
berkorban seperti dulu? Tanpa pamrih, bukan karena mengharap sesuatu atau
karena dijanjikan sesuatu? Yang bisa menjawab adalah “taumatan” itu, dua
saudara kembar dalam perjuangan yang insya Allah masih dibukakan jalan yang
lurus, istiqamah mengingat landasan perjuangannya adalah Alquran dan sunah
Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan
tidak tergerus zaman yang menghanyutkan itu. “Namun, alhamdulillah, apa yang
ditanamkan pada saat Al-Irsyad ini didirikan tidak kehilangan ‘pelanjutnya’. Tuhan
telah menyediakan ruang jihad dan medan amal yang luas sekali. Mesti terus berlangsung
walau berbeda zaman dan tempatnya. Islam adalah obat untuk setiap penyakit di
manapun ia berada pada saat dan zaman manapun ia berlangsung!”
Syukurlah,
Persis dan Al-Irsyad tidak kehilangan pelanjut, seakan patah tumbuh hilang
berganti, malah dari kualitas keilmuan mungkin jauh ke depan. Tapi, apakah jiwa
berkorban demi menggarap ruang jihad dan medan amal yang begitu luas (semakin
bertambah dengan banyaknya masalah yang bermunculan) masih melekat pada mereka?
Perlu dijawab lewat muktamar ke muktamar sebagai ajang evaluasi, baik yang
diseleng garakan Persis maupun Al-Irsyad.
Yang
harus tetap menjadi pegangan adalah “Dengan tetap mengamalkan Al quran dan
hadis kita dijamin lan tadillu tidak tersesat dengan mutlak dan umum. Tidak
akan tersesat siasatnya, tidak akan tersesat ekonominya, tidak akan tersesat
kasab dan usahanya.”
Tentang
siapa kawan seiring, dalam sambutan 46 tahun yang lalu itu mengetengahkan, “Ada
orang yang ikut dalam pergerakan Islam, tapi ia sebenarnya bu kan seorang
Muslim. Dan, diketahuinya bahwa dalam Islam ada tenaga yang dapat dieksploitasi
untuk kepentingan dirinya dan golongannya. Baginya, Islam hanya sekadar alat
yang bila telah sampai pada tujuannya akan ditinggalkan dengan mudah.”
Kemudian,
ada golongan yang kedua, orang yang menggerakkan Islam, ia pun orang Islam,
tidak lalai dalam ibadah, tapi ia tidak meyakini bahwa Islam akan mampu mencatat
kemajuan dan kejayaannya bila soal “akidah dan tauhid” menjadi pokok persoalan
yang mesti diperhatikan. Rasa cinta dan sayangnya terhadap Islam bergantung
pada besar kecilnya laba yang diperoleh di dunia.
Kita
dapati pula golongan yang ketiga, ia menggerakkan Islam dengan keya kinan Islam
dapat mencapai tujuannya bila kemurnian Alquran dan hadis terjaga dan
terpelihara. Keyakinan mereka itu sejalan dengan pendapat Imam Maliki yang
menyatakan bahwa tidak akan beres kehidupan umat Islam, kecuali dengan resep
yang dahulu pernah dijalankan orang dan ternyata membawa Islam kepada zaman
keemasannya.
Layaknya
pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai, baik bagi Persis maupun ormas Islam
lain, dalam makna luas dari “ketergantungan”
kepada satu golongan dengan menanggalkan shibghah
memurnikan akidah dan tauhid dalam seluruh relung kehidupan umat. Semoga
muktamar Al-Irsyad menghasilkan gagasan yang mendapatkan tanah subur untuk
tumbuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar