Tahun ini menjadi tahun yang penuh tanda tanya bagi para pengelola usaha rintisan (start up) yang telah memiliki valuasi besar untuk menawarkan sahamnya di bursa saham (IPO). Tak hanya itu, eksekutif usaha rintisan di Indonesia juga harus berpikir keras mencari cara bila suatu saat mereka harus menawarkan saham ke publik.
Pangkal masalah ini adalah penawaran saham perdana beberapa usaha rintisan seperti Lyft, Uber, Peleton, yang tak sukses dan tentu rencana penawaran saham WeWork, sebuah usaha rintisan persewaan ruang kantor, yang tergolong amburadul hingga dibatalkan. Valuasi pun mulai dipertanyakan.
Selama pekan lalu penawaran saham usaha rintisan dengan valuasi besar menjadi bahasan berbagai media, termasuk The New York Times dan Financial Times. Selama beberapa hari mereka mengupas berbagai masalah terkait dengan IPO, terutama rencana IPO WeWork yang dibatalkan dua pekan lalu. Publik menyoroti valuasi WeWork yang sangat besar, tata kelola, dan juga pribadi CEO WeWork  Adam Neumann. Tak ada rincian lebih detail mengenai tata kelola dan persoalan personal Adam.
Pada pekan lalu publik dikejutkan dengan kabar minat investor yang rendah terhadap saham WeWork ketika mereka melakukan pertemuan dengan beberapa investor dan kalangan bank sebelum IPO. Mereka mempertanyakan valuasi WeWork yang mencapai 47 miliar dollar AS serta kelangsungan model bisnis serta pengelolaan beban jangka panjang dan penerimaan jangka pendek.
Induk perusahaan itu We Company langsung menurunkan valuasi sekitar 10 miliar dollar AS – 20 miliar dollar AS. CEO WeWork Adam Neumann diminta mengundurkan diri. Istrinya, Rebekah, juga dilarang untuk menggantikannya secara permanen karena tekanan investor. Beberap hari lalu akhirnya Adam mengundurkan diri.
Penawaran saham perdana yang telah dilakukan oleh beberapa usaha rintisan tahun ini yang ternyata buruk membuat usaha rintisan lain ragu-ragu untuk melakukan penawaran saham pada tahun ini. Secara rata-rata saham mereka turun hingga 28 persen sejak dilepas ke publik.
Beberapa usaha rintisan lebih berhati-hati ketika hendak melantai. AirBnb mengatakan mereka tak akan menawarkan saham hingga 2020. Langkah ini lebih lambat dari rencana semula. Usaha rintisan di penambangan data Palantir Technologies mengatakan pihaknya belum akan menawarkan saham dalam beberapa tahun ini setelah mereka mendapat pendanaan dari investor privat.
Kejadian di Amerika Serikat ternyata mendapat perhatian para investor di Asia Tenggara. Laman Nikkei Asian Review melaporkan, dua pekan lalu kalangan investor bertemu di Singapura dan membahas persoalan mereka karena dana besar sudah digelontorkan di Asia Tenggara.
Mereka membahas tren dan tantangan usaha rintisan di wilayah itu. Salah satu persoalan adalah tentang valuasi. Banyak uang masuk ke Asia Tenggara yang meningkatkan valuasi usaha rintisan. Salah satu investor mengingatkan, apa yang terjadi bila kasus Uber dan WeWork terjadi di kawasan Asia Tenggara?
Mereka juga mulai mengingatkan valuasi yang gila-gilaan yang dilakukan oleh usaha rintisan setelah menerima pendanaan dalam jumlah besar. Analis meminta agar investor berhati-hati berinvestasi besar-besaran di perusahaan yang belum teruji. Analis lain mengatakan valuasi usaha rintisan di Asia Tenggara dan India dinilai terlalu cepat membesar sehingga  pada masa depan investor perlu lebih memilih-milih usaha rintisan untuk berinvestasi. Mereka juga mengingatkan para investor agar tidak terjebak ke dalam valuasi tetapi juga pada model bisnis yang dapat berjalan terus.
Jebakan yang sangat mungkin muncul dari nafsu besar para investor agar usaha rintisan cepat-ceoat bernilai di atas satu miliar dollar AS atau menjadi unicorn. Untuk itu mereka diminta tak perlu buru-buru menjadi unicorn. Predikat itu juga tak perlu membuat publik terkagum-kagum karena pada ujungnya adalah bisnis yang menghasilkan profit yang dinilai sehat dan memberi harapan pada masa depan.
Kalangan usaha rintisan di Indonesia mengakui mencermati fenomena di Amerika Serikat itu dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang menimpa sejumlah usaha rintisan. Mereka melihat banyak persiapan yang harus dilakukan oleh usaha rintisan sebelum mereka menawarkan saham.
Persoalannya tak semata pada valuasi saja tetapi juga citra dan tata kelola usaha rintisan yang bisa dipertanggungjawabkan. Persoalan personal CEO ternyata juga dilihat investor sebagai salah satu penentu. Mereka tengah memperbaiki persoalan-persoalan mendasar ini dan memastikan model bisnisnya. Mereka lebih menyadari cara-cara mencapai pertumbuhan. ***