Sejak dahulu kala orang yang pesimistis biasanya adalah pria uzur yang sulit menerima bahwa masa depan akan lebih baik daripada masa sekarang. Situasi politik, kemakmuran rakyat, moralitas kaum wanita (ya, tak pernah kaum pria), kesopanan, semua tanda perubahan zaman dipelintir sedemikian rupa oleh mereka sehingga mencapai kesimpulan satu ini, ”Lebih baik dulu”, apakah pada masa ”Babe” (Soeharto), zaman ”Bung Karno” atau bahkan, zaman Belanda.
Namun, sejak 20-30 tahun, selaras syok perluasan globalisasi, pesimisme sosial mulai mengambil berbagai arahan baru. Kerap mengambil bentuk identitas. Melihat ke belakang, ada orang atau kelompok yang bermimpi memulihkan kebesaran masa lalu agama, suku, atau bangsanya.
Apa yang terjadi? Mengapa pemikiran-pemikiran nonrasional dapat sedemikian mengemuka? Hemat kami, karena merupakan respons—meski respons miring—terhadap guncangan real masyarakat: kemiskinan, urbanisasi tak terkendali, perubahan sistem informasi dan, terutama, perusakan ekologi yang kian meluas.
Semua berubah. Lebih-lebih fenomena ketidakstabilan sosio-politik ini terlihat menggejala di seluruh dunia, sebagai ciri struktural kapitalisme global baru.
Lalu, tiba-tiba, di tengah renungan pesimisris dan mitos politik-religius di atas muncul suara lantang seorang gadis remaja 16 tahun, Greta Thunberg. Gadis Swedia berambut kepang dan berwajah serius ini mula-mula melancarkan aksi mogok sekolah di Swedia. Lalu di seluruh Eropa dan kini di seluruh dunia demi perlindungan lingkungan.
Baginya, masalah utama kita bukanlah pertarungan budaya, bukanlah masalah Timur Tengah atau keunggulan China mendatang, melainkan perusakan Bumi, ibu kita semua. Jadi, perspektifnya langsung global, bukan lokal atau sektarian.
Menariknya juga, dia bukan ”guru”: dia tidak menumpangi mitos ”religius” apa pun. Dia rasional. Dia menggugah kesadaran ekologis dengan merujuk pada kajian ilmu yang terbukti: dia berbicara tentang pemanasan global, perusakan hutan tropis, kenaikan permukaan laut, emisi CO2 yang berlebih dan sebagainya.
Ketika diundang untuk berbicara di PBB, dia dengan blak-blakan menuduh para pemimpin dunia mengabaikan nasib anak-cucunya. Baginya, keengganan para pemimpin sedunia untuk mengambil langkah drastis di dalam bidang ekologi menjadikan mereka pengkhianat impian-impian generasi mendatang.
Kenapa para politikus, para ekonom, dan para futurolog telah dapat sedemikian keliru hingga bisa digurui oleh seorang ”anak kecil” seperti itu? Mereka dibutakan oleh jaringan kepentingan yang tidak disadari.
Mereka memang sudah mengetahui bahwa manusia berhadapan dengan masalah ekologi, tetapi mereka tetap meyakini bahwa perusakan lingkungan akan dapat ditanggulangi dengan pengerahan teknologi. Lalu, ilmu dan teknologi mutakhir, seperti artifical intelligence, robotika, nanoteknologi, dan manipulasi genetik bakal membuka peluang kemajuan yang tak terhingga.
Hemat kami, mereka tidak hanya keliru, mereka juga buta: kemajuan ekonomi dan teknologi berasas kapitalis liar tidak hanya menimbulkan perusakan ekologis, tetapi juga melahirkan distorsi sosial yang melandasi gejala politik identitas yang kami kecam di atas.
Di dalam kesemrawutan ini, Greta Thunberg membawa angin segar. Sebagai anak, dia langsung merasakan keadaan fisik di sekitarnya (perubahan iklim, polusi udara, banjir pengungsi, dan lain-lain). Lalu sebagai remaja berpendidikan modern yang aktif di media sosial, dia langsung aktif di lingkungan yang bersifat lintas bangsa. Kebunnya adalah global.
Maka, dengan Greta Thunberg, untuk pertama kali kita melihat suatu gerakan politik besar yang bersifat lintas bangsa bukan hanya di dalam intensinya, tetapi di dalam praktiknya. Baginya, semua fenomena politik yang merisaukan kita selama ini adalah minor dibandingkan dengan masalah yang tunggal ini: Bumi Pertiwi kita sedang sakit. Kita harus menyelamatkannya.
Bravo Greta. Kau menunjukkan kepada kami, orangtua, bagaimana menjadi dewasa. Dan selamat datang di dunia politik, anak-anak. Bumi menanti kasih dan perhatian kalian. ***