Status WNI pengikut tentara asing (Negara Islam Irak dan Suriah/NIIS) yang kini terkatung- katung di Suriah dan ingin kembali ke Indonesia jadi perbincangan hangat di masyarakat dan pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menampung sementara mereka. 

Sampai saat ini tak ada pengumuman resmi pemerintah terkait hal ini. Mengenai masalah status WNI eks-NIIS  terdapat dua undang-undang (UU) yang relevan. Yaitu, UU RI No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU KWN) yang merupakan UU administratif. Selain itu, KUHP dan peraturan perundang-undangan pidana lain, UU No   5 Tahun 2018  tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2002 tentang   Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Dalam UUKWN diatur mengenai syarat-syarat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, baik karena keturunan (ius sanguinis) atau  tempat kelahiran (ius soli), serta ketentuan  mengenai kehilangan kewarganegaraan. Unsur penduduk negara, termasuk Warga Negara (WN), merupakan salah satu syarat berdirinya sebuah negara dan merupakan rambu-rambu batas  perlindungan hukum yang membedakan  antara subyek hukum Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA).
Alasan hilangnya kewarganegaraan dan status anak
Lalu lintas orang dari dan ke Indonesia tak dilarang sepanjang memenuhi persyaratan keimigrasian. Tetapi, jika terjadi penyalahgunaan visa, maka pelaku dapat dikenakan sanksi administratif UU Keimigrasian.
Terkait status WNI eks-NIIS, terdapat beberapa pasal UU KWN yaitu, pertama, Pasal 23 di bawah Bab IV tentang Kehilangan Kewarganegaraan, di mana diatur 9 (sembilan) alasan kehilangan kewarganegaraan.
Di antara sembilan alasan itu, dalam  Pasal 23 UUKWN disebutkan alasan kehilangan kewarganegaraan antara lain karena atas permohonan sendiri (huruf a), menolak melepaskan kewarganegaraan lain sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu (huruf b), atau yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin,  dan bertempat tinggal di luar negeri; serta karena masuk dinas tentara asing tanpa izin terlebih dulu dari Presiden (huruf d).
Masalah WNI eks-NIIS dalam diskursus masyarakat adalah, apakah mereka hilang status WNI karena alasan masuk dinas tentara asing? Kata kunci dalam alasan huruf d UU KWN adalah, “masuk  tentara asing  dan tanpa izin Presiden”. WNI eks-NIIS jelas memenuhi kedua kriteria tersebut.
Sedangkan mengenai pengertian tentara asing adalah  bukan hanya  tentara yang dibentuk oleh  suatu negara, akan tetapi juga  kelompok masyarakat yang membentuk  pasukan bersenjata dengan tujuan menggulingkan  pemerintahan yang sah. Selain tentara, hukum internasional juga mengakui konsep tentara bayaran atau mercenaries dan  milita. Mercenaries adalah tentara bayaran, sedangkan milita direkrut pemerintah yang sah  untuk membantu dalam peperangan.
Anggota NIIS tidak digolongkan sebagai mercenaries (tentara bayaran) , tetapi disebut Foreign Terrorist Fighters (FTF), yang memiliki kesamaan ideologi khilafah,  sekalipun fakta menunjukkan bahwa mereka juga menerima bayaran berdasarkan kontrak. Dari sudut filosofi dan teleologis UU KWN, WNI yang secara sukarela menjadi bagian dari pasukan NIIS, termasuk tentara asing, dan juga tanpa izin Presiden, sehingga mereka secara hukum telah kehilangan kewarganegaraan.
Mengenai status anak-anak dari ayah dan/atau ibu WNI eks-NIIS, di dalam UU KWN telah dijelaskan bahwa anak-anak — baik dari ayah atau ibu yang telah kehilangan kewarganegaraan — tidak serta- merta kehilangan kewarganegaraan sampai usia mereka 18 tahun (Pasal 25 Ayat 1-2).
Perlakuan pemerintah, yang wajib diutamakan,  bukan terhadap ayah atau ibu eks-NIIS, melainkan seharusnya ditujukan  terhadap anak-anak mereka sampai usia mereka 18 tahun, untuk kemudian diperkenankan memilih kewarganegaraan sendiri. Sedangkan terhadap ayah atau ibunya seharusnya diserahkan kepada pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan atau penyidikan pidana, baik berdasarkan KUHP dan/atau UU No 5 Tahun 2018 tentang UU PTN.
Tuntutan hukum
Tindakan WNI di negara lain yang dipersenjatai melawan pemerintahan yang sah sebagai bentuk   makar terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta wakilnya, dapat dituntut pidana berdasarkan  asas nasional aktif (Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (1) sub ke 1 KUHP), sebagai entry-point untuk penuntutan berdasarkan  Pasal 139 a dan Pasal 139 b KUHP. Selain KUHP, mereka dapat dituntut  berdasarkan UU No 5 tahun 2018  tentang PTN.
Di dalam bagian “Menimbang”, UU tersebut dinyatakan bahwa,  …adanya keterlibatan orang atau kelompok orang serta keterlibatan warga negara Indonesia dalam organisasi di dalam dan/atau di luar negeri yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat,bangsa dan negara, serta perdamaian dunia.
Tuntutan pidana dan ancaman pidana dilandaskan pada  Pasal l2A  dan Pasal 13 A. Pasal 12 A: (1) Setiap orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasai 13A: Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan pendekatan normatif terhadap WNI eks-NIIS yang kembali ke Indonesia (hanya terhadap pelaku dewasa) wajib dilakukan penuntutan pidana dan menjalani hukuman sesuai dengan ketentuan UU di atas tanpa kecuali. ***