Kamis 11 Juli 2019, 12:50 WIB
Elegi Garuda, Pertamina, dan PLN
Belum lama ini, PT Garuda Indonesia dirundung kontroversi karena keuntungan 809,85 ribu dolar AS sepanjang 2018 yang dicatatkan dalam laporan keuangan perusahaan dianggap semu. Dengan laporan yang menghijau tersebut, kinerja perusahaan pelat merah itu akhirnya mendadak jauh lebih baik dari data laporan keuangan 2017 yang mencatat kerugian sebesar 216,58 juta dolar AS. Namun, apa lacur, dua komisaris Garuda, yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018 dan mempertanyakannya.
Yang dipersoalkan adalah realisasi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia (anak usaha Garuda) yang diteken pada 31 Oktober 2018. Melalui kesepakatan tersebut, Garuda mendapat keuntungan sebesar 239,94 juta dolar AS, yang 28 juta dolar AS di antaranya merupakan bagi hasil Garuda dengan PT Sriwijaya Air. Berdasarkan laporan keuangan GIAA 2018 tercatat kerja sama dengan Mahata berlaku selama 15 tahun. Kontrak kerja sama dengan Mahata nilainya mencapai 239,94 juta dolar AS atau sekitar Rp2,98 triliun. Namun, Mahata baru membayar 6,8 juta dolar AS. Sisanya sebesar 233,13 juta dolar AS dicatatkan sebagai piutang lain-lain. Pendeknya, jika piutang tersebut tidak dimasukkan, maka laporan keuangan Garuda masih dalam keadaan merah alias merugi.
Apakah masalah tersebut hanya terjadi pada BUMN yang bernama Garuda Indonesia? Rasanya tidak. Sebenarnya, jika dilihat secara jeli dan dengan logika yang sama, kondisi yang mirip juga terjadi pada Pertamina dan PT PLN. Kedua BUMN tersebut merilis laporan keuangan 2018 pada akhir Mei yang lalu. Dua perusahaan sektor energi itu sukses mempertahankan kinerja laba bersihnya, meski sebelumnya dikabarkan menderita penurunan laba, bahkan merugi. Namun telisik demi telisik, piutang kepada pemerintah dianggap sebagai penolong utama bagi keuangan kedua perusahaan tersebut. Pertamina mencatatkan laba bersih 2,53 miliar dolar AS atau setara Rp 35,99 triliun (kurs Rp 14.200) pada 2018. Raihan tersebut tercatat turun tipis 0,3% dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar 2,54 miliar dolar AS. Tentu angka tersebut adalah lonjakan kinerja keuangan yang sangat signifikan karena pada laporan terakhir yang dipublikasikan September 2018, torehan laba Pertamina hingga kuartal III hanya sekitar Rp 5 triliun.
Sementara itu, PLN mampu mencetak laba bersih Rp 11,6 triliun sepanjang 2018. Jumlah ini meningkat signifikan hingga 162,3% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 4,41 triliun. Padahal, serupa dengan Pertamina, hingga kuartal III tahun lalu, PLN masih merugi Rp 18,48 triliun. Sejatinya, dalam konteks khusus, berbeda dengan perusahaan swasta atau BUMN yang lain, kinerja Pertamina dan PLN memang lebih banyak ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Sebagai BUMN yang mendapatkan penugasan pemerintah untuk menjual produk yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dua BUMN tersebut tidak bisa leluasa menentukan harga jual ke pasar.
Demi menjaga daya beli masyarakat, pemerintah kerap menetapkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik lebih rendah dari harga keekonomiannya. Kebijakan pengaturan harga itu membuat Pertamina dan PLN harus menanggung beban lebih besar dalam menjalankan operasionalnya. Lihat saja, sepanjang 2018, Pertamina membukukan pendapatan 57,9 miliar dolar AS atau meningkat 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, peningkatan besar terjadi pada pos subsidi pemerintah dan pendapatan/aktivitas operasi lainnya. Subsidi pemerintah meningkat hingga 60% menjadi 5,6 miliar dolar AS dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pendapatan lainnya tercatat 3,9 miliar dolar AS atau melonjak 427% dibandingkan 2017 yang hanya 740 juta dolar AS.
Hasil signifikan juga terlihat pada penjualan ekspor minyak yang naik dua kali lipat. Pada 2018, nilai ekspor mencapai 3,6 miliar dolar AS. Sementara itu, penjualan dalam negeri hanya naik 12% menjadi 44,7 miliar dolar AS. Padahal, penjualan dalam negeri merupakan pos pendapatan yang memiliki porsi terbesar. Penjualan dalam negeri ini melingkupi minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, hingga produk minyak. Jika dikurangi subsidi dan pendapatan lainnya, Pertamina membukukan pendapatan utama sebesar 48,4 miliar dolar AS atau naik sebesar 16% jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Penjualan terbesar Pertamina masih bersumber pada produk utama yakni BBM dan gas. Penjualan BBM jenis khusus Perta Series mencapai 11,2 miliar dolar AS dan Minyak Solar 10,7 miliar dolar AS. Kedua jenis BBM tersebut sama-sama mencatat kenaikan 14% dibandingkan 2017. Peningkatan cukup besar terjadi pada penjualan LPG, petrokimia, pelumas, dan lainnya. Bagian ini mencatatkan penjualan 8,2 miliar dolar AS, naik 90% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan bensin jenis Premium turun 16,9%. Sepanjang 2018, nilai penjualannya 4,5 miliar dolar AS.
Namun, peningkatan pendapatan utama dari pos penjualan tersebut masih belum mampu menutupi beban penjualan dan operasional lainnya. Beban pokok yang ditanggung Pertamina pada 2018 mencapai 48,7 miliar dolar AS atau meningkat 29,4% dibandingkan 2017. Beban operasional tersebut terdiri dari beban pokok penjualan, produksi hulu dan lifting, eksplorasi, dan aktivitas operasi lainnya. Beban tertinggi dialami beban pokok penjualan sebesar 42,7 miliar dolar AS atau 88% dari total beban yang ditanggung Pertamina. Dengan beban operasional yang mencapai 48,7 miliar dolar AS dan pendapatan utama dari penjualan hanya 48,4 miliar dolar AS, alhasil Pertamina belum bisa mencetak laba usaha secara mandiri dan masih mencatat minus sekitar 300 juta dolar AS. Defisit tersebut kemudian tertutupi oleh suntikan dana pemerintah melalui berbagai pos dalam APBN.
Tak jauh berbeda dengan Pertamina, perusahaan penyedia listrik, PLN, juga mengalami rugi usaha jika tidak disokong oleh subsidi pemerintah. Pada 2018, PLN membukukan pendapatan usaha Rp 272,8 triliun atau naik tipis 6% dari 2017. Porsi utama pendapatan usaha PLN masih bergantung pada penjualan tenaga listrik yang mencapai 96%. Pendapatan pada pos tersebut tercatat Rp 263,4 triliun. Sedangkan pos lain seperti penyambungan pelanggan dan pendapatan usaha lain-lain masing-masing sebesar Rp 7,3 triliun dan Rp 2,1 triliun.
Di sisi lain, beban usaha PLN pada tahun lalu naik 11,8% menjadi Rp 308 triliun yang disumbang oleh bahan bakar dan pelumas serta pembelian tenaga listrik dengan masing-masing Rp 137 triliun dan Rp 84,2 triliun. Lainnya, ada beban sewa, pemeliharaan, penyusutan dan kepegawaian juga menjadi beban usaha yang ditanggung oleh PLN. Pertumbuhan beban usaha yang lebih besar dari pendapatan menimbulkan kerugian usaha hingga Rp 35,2 triliun. Jumlahnya membengkak dari kerugian usaha pada 2017 yang sebesar Rp 20,1 triliun. Namun, kerugian usaha yang terjadi pada kedua BUMN tersebut dapat ditutupi oleh adanya suntikan dana subsidi dari pemerintah dan juga pendapatan lain-lain.
Pertamina mendapatkan 5,6 miliar dolar AS untuk penggantian biaya subsidi dari pemerintah dan 3,9 miliar dolar AS untuk pendapatan dan aktivitas operasi lain-lain. Sementara itu, pada pos pendapatan lainnya, perolehan pos tersebut disokong oleh selisih harga jual beberapa produk Pertamina dengan nilai mencapai 3,1 miliar dolar AS. Selisih harga muncul karena berbagai tugas yang diterima Pertamina dalam menyalurkan produknya termasuk BBM jenis Premium di beberapa wilayah. Lebih jauh, pos ini terdiri dari selisih harga yang ditanggung Pertamina sejak 3 tahun lalu dengan rincian 1,8 miliar dolar AS untuk 2018, 1,04 miliar dolar AS untuk 2017, dan 178 juta dolar AS untuk selisih harga pada 2016. Selisih harga yang diganti oleh pemerintah ini bersifat piutang yang belum dibayarkan. Estimasi penerimaan selisih diperkirakan baru lunas pada 2023.
Di sisi lain, PLN memperoleh Rp 48,1 triliun untuk subsidi listrik dari pemerintah, sedangkan pendapatan lain diperoleh dari pendapatan kompensasi Rp 23,1 triliun. Sebagai perbandingan, dalam APBN 2018, anggaran untuk subsidi listrik sebesar Rp 47,6 triliun. Dengan adanya pendapatan tambahan yang dibukukan, alhasil PLN menerima dana Rp 71,2 triliun untuk menutupi rugi usaha. Perusahaan pun berbalik untung Rp 11,6 triliun setelah dikurangi pajak dan penyesuaian lain-lain. Pos kompensasi baru dibukukan pada akhir tahun anggaran 2018. Karena itulah, pada kinerja keuangan kuartal III tahun lalu, perusahaan masih mencatatkan kerugian. Namun, biaya kompensasi tersebut sebenarnya masih bersifat piutang yang baru dicatatkan di dalam laporan keuangan alias dananya belum diterima oleh PLN. Pos tersebut merupakan piutang kompensasi dari pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik tarifnya lebih rendah dibandingkan BPP, namun belum diperhitungkan dalam subsidi.
Ronny P Sasmita ; Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
Tidak ada komentar:
Posting Komentar