Rabu, 10 Juli 2019

Opini WTP versus Korupsi

Rabu 10 Juli 2019, 16:40 WIB

Opini WTP versus Korupsi

Gunarwanto - detikNews

Banyak pemerintah daerah mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tapi mengapa korupsi jalan terus? Pertanyaan sekaligus keluhan ini pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada satu kesempatan bertemu dengan para kepala daerah. Sri Mulyani mengatakan, mestinya jika sudah WTP, makin sulit terjadi penyimpangan karena sudah terbangun sistem pengendalian internal yang baik. Faktanya, saat ini banyak kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

Memang, opini audit WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para pengelola keuangan negara. Para pejabat kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah berlomba memperoleh opini tersebut. Terlebih, pemerintah menjadikan opini WTP sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan tata kelola yang baik (good governance). Untuk kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan kepala daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat.
Masalahnya, opini WTP ternyata tidak menjamin bebas dari korupsi. Di beberapa lembaga yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi. Misalnya, Kementerian Agama mendapat WTP, belakangan ditemukan korupsi, bahkan Menteri Agama terjerat korupsi. Di Sumatera Utara, mendapat WTP tapi Gubernur terlibat korupsi. Hal sama terjadi di beberapa lembaga pemerintah.

Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjualbelikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi jelek. Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.
Keterbatasan Audit
Setiap tahun BPK memeriksa laporan keuangan lembaga pemerintah dengan tujuan memberi opini atas kewajaran laporan keuangan. Menurut standar audit, ada empat jenis opini sesuai dengan tingkat kewajarannya, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Agar laporan keuangan memiliki keandalan dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka harus disusun sesuai standar akuntansi.

Opini WTP diberikan jika dalam segala hal yang material, laporan keuangan sudah sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Sedang WDP jika ada ketidaksesuaian yang material pada satu atau beberapa pos laporan keuangan, namun tidak mempengaruhi kewajarannya secara keseluruhan. Sementara, TW jika laporan keuangan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar. TMP atau disclaimer jika auditor dibatasi geraknya, tidak bisa mengumpulkan bukti audit dengan nilai sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan diragukan.
Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri. Pada umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang menggunakan anggaran besar. Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.
Selain itu, sebagai konsekuensi metoda sampling, audit menerapkan konsep materialitas. Auditor akan membuat suatu perhitungan untuk menentukan batasan suatu transaksi dinilai material. Makin besar volume keuangan yang diperiksa, maka batas materialitasnya makin besar. Jika auditor memeriksa lembaga dengan jumlah aset Rp 5 triliun tentu akan beda batas materialitasnya dengan yang asetnya Rp 1 triliun. Misal dengan perhitungan tertentu, auditor menetapkan batas materialitasnya Rp 50 juta. Maka, auditor akan fokus mengambil sampling transaksi dengan nilai lebih dari Rp 50 juta. Di sini ada risiko auditor tidak menemukan suatu penyimpangan pada transaksi di bawah Rp 50 juta karena tidak di-sampling. Celakanya, bisa jadi penyebab penyimpangannya adalah korupsi.
Penggunaan sampling merupakan praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko ada salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat dikurangi.
Situasi Sulit
Auditor yang memeriksa sektor publik menghadapi situasi yang sangat kompleks. Nilai dan jumlah transaksi di pemerintahan sangat besar, bahkan bila dibandingkan dengan suatu perusahaan yang besar sekalipun. Biaya untuk membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan bangunan publik sangat besar. Biaya untuk membayar gaji pegawai dan berbagai kegiatan juga sangat besar. Sering ditemukan penyimpangan berupa kemahalan harga (mark-up), pembelian barang dan jasa tidak layak, fiktif, dan lain-lain. Hal tersebut timbul karena praktik korupsi dan kolusi di pemerintahan sangat luas (massive).
Situasi itu sangat menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat "rekayasa" yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum.
Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi, untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi korupsi. Apalagi, jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit dideteksi dari transaksi yang diaudit. Kasus suap umumnya berkaitan dengan transaksi pelayanan perizinan, pemberian konsesi, jual beli jabatan, dan jasa-jasa lainnya yang sifatnya tidak berupa penggelapan aset negara.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan bukan jaminan tidak ada korupsi. Sepanjang tidak ada penyimpangan yang material dari standar akuntansi, maka opini WTP bisa diberikan.
Jika dimaksudkan untuk menemukan korupsi, maka lebih tepat melalui audit investigatif. BPK sebagai lembaga audit negara, selain memeriksa laporan keuangan juga perlu meningkatkan jumlah dan kualitas pemeriksaan investigatif. Jika hal ini dilakukan oleh BPK, maka keluhan soal opini WTP tapi korupsi kok jalan terus akan makin berkurang. Walhasil, ke depan sudah semestinya makin banyak pemda dan instansi lain menerima opini WTP, maka makin berkurang pula korupsinya.
Gunarwanto ; Chartered accountant dan analis kebijakan publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar