A
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan perang dagang AS dengan China, kita bersyukur bahwa dalam lima tahun terakhir Indonesia mampu menorehkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen per tahun.
Pertama kali dalam sejarah NKRI, 2018 tingkat kemiskinan turun di bawah 10 persen (9,8 persen) dari 60 persen pada 1970 dan 12 persen pada 2014. Pada 2018, PDB Indonesia mencapai 1,1 triliun dollar AS. Patut dicatat, dari 195 negara di dunia, hanya 20 negara yang PDB-nya di atas 1 triliun dollar AS. PDB Indonesia terbesar ke-16 (Bank Dunia, 2018).

Namun, menjelang 74 tahun merdeka, Indonesia ternyata masih masuk negara berkembang menengah, dengan pendapatan nasional kotor 3.870 dollar AS per kapita. Belum masuk negara makmur (high income country) dengan pendapatan nasional kotor di atas 12.165 dollar AS per kapita.
Untuk menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat, Indonesia masih terkendala sejumlah permasalahan elementer. Struktur ekonomi nasional masih mengandalkan sumber pertumbuhan pada ekspor bahan mentah dan konsumsi. Bukan pada investasi, industri manufaktur, dan ekspor yang kompetitif. Struktur ekonomi macam inilah akar masalah dari defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang kian membengkak akhir-akhir ini.
Selain itu, kita pun menghadapi ketimpangan ekonomi terburuk keempat dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Satu persen orang terkaya di Indonesia memiliki total kekayaan sama dengan 49,3 persen kekayaan negara (Credit Suisse, 2016). Disparitas pembangunan antarwilayah (Jawa vs luar Jawa) pun sangat tinggi sehingga biaya logistik sangat mahal, sekitar 24 persen PDB.
Kedaulatan pangan, farmasi, dan energi juga sangat rentan. Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor bahan pangan, farmasi, dan minyak terbesar di dunia. Kemiskinan dan rendahnya kedaulatan pangan mengakibatkan 30 persen anak usia balita mengalami stunting growth dan 33 persen menderita gizi buruk.
Potensi akuakultur
Sebagai negara kepulauan terbesar dunia—75 persen wilayah berupa laut dan 28 persen wilayah darat berupa perairan umum darat (sungai, rawa, danau, dan waduk)—Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur (perikanan budidaya) terbesar di dunia.
Total potensi kelompok jenis ikan, krustasea (udang, kepiting, dan lobster), dan moluska (seperti kerang hijau, gonggong, abalone, dan kerang mutiara) sekitar 100 juta ton per tahun. Dari total potensi produksi ini, 45 juta ton/tahun dari budidaya laut (marikultur), 35 juta ton/tahun dari budidaya air payau (tambak), dan 20 juta ton/tahun dari budidaya perairan umum darat.
Akuakultur tidak hanya meliputi budidaya ikan, krustasea, dan moluska; tetapi juga invertebrata, alga mikro, rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), flora lain, dan mikroba dalam ekosistem perairan (Parker, 2000). Bahkan, China sukses membudidayakan padi di ekosistem perairan laut dengan produktivitas rata-rata 9 ton/ha/tahun (Kentish, 2016). Seiring kemajuan teknologi, budidaya jenis tanaman pangan lain (jagung, kedelai, dan umbi-umbian) dalam perairan laut bukan hal mustahil.
Dengan demikian, akuakultur tidak hanya menghasilkan bahan pangan sumber protein hewani, tetapi juga bahan pangan sumber karbohidrat dan beragam jenis vitamin serta mineral. Di negara-negara maju berbagai senyawa bioaktif (seperti omega-3, pycocyanin, zeasantin, alginat, dan karagenan) dari biota perairan hasil akuakultur telah dimanfaatkan sebagai bahan dasar utama industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, dan beragam industri bioteknologi.
Potensi total nilai ekonomi industri bioteknologi kelautan diperkirakan empat kali lipat industri teknologi informasi (Ministry of Maritime and Fisheries Affairs, Republic of Korea, 2003). Indonesia sebagai negara dengan keragaman hayati laut terbesar dunia, mestinya bisa menjadi produsen dan pengekspor utama produk bioteknologi kelautan. Ironisnya, Indonesia justru salah satu pengimpor terbesar berbagai produk industri bioteknologi kelautan, seperti squalence, minyak ikan, gamat, dan viagra.
Akuakultur juga menghasilkan berbagai jenis perhiasan bernilai tinggi. Indonesia dikenal sebagai produsen mutiara laut selatan (south sea pearl), dan ikan hias terbesar di dunia. Di Malaysia, Thailand, China, Jepang, dan Maladewa, kegiatan perikanan budidaya juga banyak dikembangkan sebagai destinasi pariwisata (aquaculture-based tourism).

Ekonomi raksasa
Sebagai ilustrasi betapa raksasanya ekonomi akuakultur Indonesia adalah potensi 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang. Bila kita buka usaha 500.000 ha tambak udang vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (moderat), bisa dihasilkan 20 juta ton atau 20 miliar kg udang per tahun.
Dengan harga udang on farm 5 dollar AS/kg, nilai ekonomi kotor (gross revenue) adalah 100 miliar dollar AS/tahun atau 10 persen PDB saat ini. Keuntungan bersih rata-rata Rp 15 juta/ha/bulan. Jika mulai 2020-2024 kita buka usaha 100.000 tambak udang vaname setiap tahun, dari udang saja bisa menyumbang 2 persen pertumbuhan ekonomi per tahun.
Padahal, banyak sekali komoditas akuakultur lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti udang windu, kerapu, kepiting, lobster, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun bagi akuakultur Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Kesempatan kerja langsung (on farm) yang bisa diciptakan dari 500.000 ha tambak udang itu sekitar 2 juta orang dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang. Sejak 2012, IPB menemukan empat spesies alga mikro dari laut dengan kandungan hidrokarbon rata-rata 20 persen dari total berat keringnya, menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel).
Jika kita kembangkan budidaya alga mikro ini pada 2 juta ha lahan pesisir (5 persen total wilayah pesisir Indonesia) terintegrasi dengan industri pengilangannya, bisa diproduksi sekitar 2 juta barel biofuel/hari. Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional, 1,4 juta barel/hari.
Jutaan orang tenaga kerja akan terserap oleh berbagai jenis usaha akuakultur beserta industri hulu dan hilirnya. Rakyat yang tinggal di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan perdesaan akan lebih sejahtera. Pada saat yang sama, akuakultur beserta industri hulu dan hilirnya akan membangkitkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Mengingat sebagian besar production inputs usaha akuakultur berasal dari dalam negeri, pengembangan industri akuakultur bisa membantu mengatasi defisit neraca perdagangan.
Meskipun sejak 2009 Indonesia telah menjadi produsen akuakultur terbesar kedua (5 juta ton) dunia setelah China, pembangunan akuakultur Indonesia jauh dari optimal. Hingga 2018, total produksi ikan, krustasea, dan moluska baru mencapai 8 juta ton atau 8 persen dari total potensi produksinya.
Selain itu, dengan garis pantai 99.000 km, pada 2017, Indonesia hanya mampu memproduksi udang dari tambak sekitar 390.000 ton. Sementara, India, Vietnam, dan Thailand dengan garis pantai 7.216 km, 3.444 km, dan 3.219 km mampu menghasilkan udang tambak 620.000 ton, 600.000 ton, dan 305.000 ton (SCI, 2018).
Agenda pembangunan
Untuk mentransformasi potensi ekonomi akuakultur yang luar biasa, bagai raksasa ekonomi yang tertidur (the sleeping economy giant), ada sejumlah agenda pembangunan yang mesti kita kerjakan dalam lima tahun ke depan.
Pertama, revitalisasi semua usaha (bisnis) akuakultur supaya lebih produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan. Ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa setiap usaha akuakultur memenuhi skala ekonominya. Lalu, menerapkan BAP (Best Aquaculture Practices) meliputi: (1) penggunaan benih unggul, (2) pemberian pakan, (3) pengendalian hama dan penyakit, (4) pengelolaan kualitas air, (5) teknik perkolaman dan budidaya, serta (6) biosecurity. Selain itu, menerapkan manajemen rantai pasok terpadu, dari produksi, industri pengolahan (pascapanen), sampai ke pemasaran.
Kedua, mengembangkan usaha akuakultur di kawasan-kawasan perairan baru (ekstensifikasi), terutama di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan laut lepas (offshore aquaculture), dengan komoditas unggulan yang sesuai.
Ketiga, diversifikasi spesies budidaya baru. Hal ini sangat penting untuk dapat memasok permintaan produk akuakultur yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dunia. Saat ini China dengan keragaman hayati lebih rendah daripada Indonesia, sudah mampu membudidayakan 120 spesies biota perairan. Sementara, Indonesia hingga kini baru berhasil membudidayakan 25 spesies. Artinya, peluang untuk mengembangkan ekonomi akuakultur di Indonesia masih terbuka sangat lebar.
Keempat, perkuat dan kembangkan hilirisasi komoditas akuakultur agar lebih bernilai tambah, tidak rentan terhadap gejolak pasar global, lebih banyak menciptakan lapangan kerja dan efek berganda. Di setiap kabupaten/kota yang memiliki sentra kawasan produksi akuakultur harus dibangun sedikitnya satu industri pengolahan akuakultur. Kembangkan kemitraan yang saling menguntungkan antara industri pengolahan dan usaha akuakultur rakyat (UMKM).
Kelima, pengembangan industri bioteknologi perairan (makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta bahan banar nabati) berasal dari bahan baku komoditas akuakultur. Keenam, pemerintah melalui BUMN/BUMD mendorong swasta untuk mengembangkan industri hulu akuakultur yang menghasilkan sarana produksi yang berkualitas tinggi dan harga relatif murah. Contohnya, usaha indukan dan benih unggul, pabrik pakan, peralatan dan mesin akuakultur seperti kincir air tambak.
Ketujuh, membangun sistem logistik akuakultur nasional yang meliputi pergudangan (cold storage), transportasi dan distribusi sarana ataupun output produksi. Kedelapan, perbaiki dan bangun infrastruktur baru untuk mendukung pembangunan akuakultur sesuai kebutuhan di setiap wilayah.
Kesembilan, pastikan bahwa lokasi setiap usaha akuakultur itu sesuai dengan RTRW. Kesepuluh, pengendalian pencemaran perairan sekitar agar kualitas airnya baik untuk kehidupan dan pertumbuhan biota budidaya. Kesebelas, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global dan bencana alam. Kedua belas, peningkatan kapasitas iptek dan kualitas SDM akuakultur.
Implementasi agenda pembangunan di atas memerlukan skim kredit perbankan khusus dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan lunak, seperti yang pernah diberikan pada perkebunan dan industri sawit. Selain itu, iklim investasi, kemudahan berbisnis, dan kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif.
Dengan mengimplementasikan agenda pembangunan di atas, sektor perikanan budidaya tidak hanya akan berkontribusi signifikan bagi pemecahan masalah kemiskinan, rentannya kedaulatan pangan dan energi, gizi buruk, ketimpangan ekonomi, dan defisit transaksi berjalan, tetapi juga turut membantu Indonesia naik kelas, dari negara berpendapatan menengah menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat, paling lambat 2045. ***