Oposisi dan Presidensial Murni
Mohammad Novrizal Bahar
Dosen Tetap pada Bidang Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
USAI jatuhnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, media masa dan media sosial seantero Nusantara kembali diramaikan isu tentang eksistensi partai politik (parpol) atau kelompok parpol "oposisi" di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Isu ini kembali hadir dengan lincah di tengah masyarakat karena sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia. Seperti isu-isu politik lain, isu "oposisi" ini pun dibahas secara "pros and cons".
Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya tidak semua parpol bergabung ke dalam barisan pemerintah dan koalisi parpol pendukungnya, sehingga wakil-wakil parpol di DPR yang berada dalam barisan oposisi tetap dapat memberikan kritik terhadap pemerintah guna mencegah terbentuknya pemerintah (dan DPR) yang otoriter.
Namun, ada pula yang menganut paham bahwa pembentukan kabinet yang merangkul semua parpol atau bahkan pembentukan "kabinet zaken" yang hanya berisikan para profesional juga dimungkinkan, mengingat konstitusi kita yang menganut sistem presidensial tidak mengenal adanya istilah oposisi.
Sebagai akademisi yang menekuni bidang hukum tata negara (HTN), saya juga merasa topik ini selalu menarik untuk diangkat. Dalam tulisan ini saya ingin membuat sedikit perbandingan antara DPR dengan Parlemen Uni Eropa (PUE). Meskipun Uni Eropa (UE) bukanlah suatu negara sebagaimana yang jamak kita kenal selama ini, tapi ia tetap merupakan suatu polity bagi kumpulan manusia yang menyelenggarakan tata kelola yang mandiri dalam mewujudkan kepentingan bersama.
Dalam teori hukum publik yang tradisional, secara institusional, UE memang masih digolongkan sebagai organisasi internasional. Namun, yang menarik adalah UE memiliki berbagai lembaga yang memiliki fungsi-fungsi berdasarkan prinsip division of powers menyerupai lembaga-lembaga negara, seperti Komisi Eropa sebagai lembaga eksekutif, Pengadilan Eropa sebagai lembaga yudisial dan PUE sebagai lembaga legislatif. Tidak berlebihan kiranya bila ada di antara ahli HTN yang menyebutnya Super State, satu bentuk baru negara yang dapat dikatakan merupakan varian dari federalisme.
PUE merupakan lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya juga dipilih secara langsung oleh rakyat (universal suffrage ) berdasarkan ideologi politik. Namun, bila dibandingkan DPR, PUE tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkan rancangan undang-undang (RUU). Lembaga ini hanya berwenang membahas dan memutuskan undang-undang (UU).
Kewenangan pengajuan RUU di UE berada di tangan Komisi Eropa. Berbeda dengan Indonesia, lembaga eksekutif UE ini tidak ikut membahas dan memutuskan undang-undang. Uniknya lagi, para politisi atau parpol yang berhasil meraih kursi di PUE, tidak dimungkinkan untuk memiliki hubungan politik secara langsung dengan Komisi Eropa, sebagaimana yang sangat mungkin terjadi pada hubungan antara anggota DPR atau parpol dengan pemerintah (presiden dan anggota kabinetnya) di Indonesia.
Komisi Eropa, yang terdiri atas seorang presiden komisi dan para komisioner—yang paralel kedudukannya dengan para menteri di dalam Pemerintah Indonesia—, benar-benar bekerja secara independen, jauh dari pengaruh para politisi yang duduk di PUE, meskipun boleh jadi mereka berasal dari satu parpol, kelompok (ideologi) politik ataupun negara anggota yang sama.
Namun, dalam rangka "tata kelola negara" yang baik, PUE tetap menjalankan fungsi pengawasan terhadap Komisi Eropa, di samping juga memiliki fungsi pembuatan anggaran belanja dan pendapatan (budgeting ). Pengaruh politik lain yang dimiliki PUE juga diwujudkan dalam memberikan persetujuan terhadap calon presiden Komisi Eropa.
Becermin dari sistem tata kelola UE itu, sistem pemerintahan presidensial di Indonesia sebenarnya dapat didesain secara lebih murni, yaitu dengan cara membebaskan presiden dari pengaruh parpol, bahkan sejak dari proses pemilihannya. Pilpres tetap dapat dilakukan lewat pemilihan langsung, namun tidak usah lagi lewat dukungan parpol pengusung.
Pasangan calon presiden dan wakilnya berasal dari calon independen saja semuanya. Mereka dapat mendaftar, lalu diseleksi secara merit system oleh suatu panitia yang dibentuk oleh DPR dengan persyaratan yang sangat ketat—kira-kira seperti penjaringan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk presiden.
Pasangan yang telah lolos saringan sajalah yang bisa menjadi peserta untuk berkompetisi dalam arena kontestasi pilpres. Dengan demikian, kelak seorang presiden terpilih akan benar-benar leluasa dalam mewujudkan hak prerogatifnya, termasuk dalam pembentukan kabinet, tidak tersandera oleh partai-partai politik pendukung.
Kemudian, perjuangan dalam proses legislasi benar-benar akan murni berdasarkan "pertempuran" ide dari anggota DPR, yang memang terpilih lewat pemilihan umum anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka. Panitia-panitia kerja dan komisi-komisi di DPR yang berhadapan dengan pemerintah dalam proses pembuatan undang-undang akan murni mewakili DPR secara institusional.
Perdebatan (scrutinization ) di antara fraksi-fraksi pun dapat tetap berlangsung. Dengan sistem multipartai, akan kecil kemungkinan terbentuknya kedudukan saling beroposisi di antara mereka dalam wujud pembelahan dua kubu yang saling berhadapan, yang disebabkan perbedaan ideologi atau kepentingan politik.
Berdasarkan pengalaman pilpres di Indonesia, pada 2004 dan 2009 tidak terdapat polarisasi yang begitu kental dalam masyarakat, karena pesertanya terdiri atas lebih dari dua pasang. Pilpres 2004 diikuti oleh lima pasang calon, dan menjadi dua pasang hanya setelah terjadi putaran kedua sehingga masa untuk menciptakan pembelahan masyarakat menjadi dua kubu sangatlah singkat.
Pada 2009 tidak terjadi putaran kedua karena dari tiga pasang peserta pilpres, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil meraih kemenangan pada putaran pertama, sesuai aturan konstitusi. Sebaliknya, pada Pilpres 2014 dan 2019 pembicaraan tentang kelompok koalisi dan oposisi menjadi sangat kental karena peserta pilpresnya hanya ada dua pasang sejak awal.
Dengan perubahan sistem di atas, parpol tak lagi dilibatkan dalam proses pencalonan/pemilihan presiden dan wakil presiden dan juga dalam pemerintah/lembaga eksekutif. Jadi para politisi hanya akan bekerja di DPR, sedangkan presiden dan kabinetnya murni berasal dari kalangan nonparpol (teknokrat).
Dengan begitu, pemerintah benar-benar dapat menjadi counterpart bagi DPR dalam proses legislasi, yang merupakan salah satu pengejawantahan prinsip checks and balances dalam tata negara. Dengan demikian, perjuangan seorang politisi akan berpuncak hanya pada lembaga perwakilan rakyat. Tak akan ada lagi yang (berharap) menjadi menteri. Mirip seperti politisi di daerah yang ingin menduduki jabatan di DPRD. Toh , mereka juga tidak bisa menjadi kepala dinas.
Puncaknya, diharapkan tak akan lagi muncul keributan tentang perlu atau tidaknya koalisi parpol dan oposisi di dalam tubuh DPR. Sistem pemerintahan presidensial akan dapat dijalankan dengan murni, di mana tercipta hubungan yang bersifat mutual independence antara lembaga legislatif dan eksekutif sehingga polarisasi dua kubu yang begitu keras dalam masyarakat akibat politik dapat dihindari.
Adapun tentang kekuasaan yang menjadi tujuan didirikannya parpol, dengan sistem presidensial yang murni, tetap dapat diwujudkan, yakni ketika DPR melakukan fungsi-fungsi pengawasan, anggaran (persetujuan terhadap APBN), dan memberikan persetujuan terhadap calon pimpinan/anggota lembaga negara seperti KPK, Badan Pemeriksa Keuangan, hakim MK, hakim agung, gubernur Bank Indonesia. Bahkan DPR juga tetap memiliki kekuasaan dalam memberikan persetujuan bagi calon duta besar, kepala Kepolisian Republik Indonesia, jaksa agung, dan panglima TNI.
Sekali lagi, ide untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang murni ini tentu tidak mudah untuk diwujudkan karena harus dilakukan dengan mengamandemen konstitusi.***
Dosen Tetap pada Bidang Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
USAI jatuhnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, media masa dan media sosial seantero Nusantara kembali diramaikan isu tentang eksistensi partai politik (parpol) atau kelompok parpol "oposisi" di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Isu ini kembali hadir dengan lincah di tengah masyarakat karena sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia. Seperti isu-isu politik lain, isu "oposisi" ini pun dibahas secara "pros and cons".
Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya tidak semua parpol bergabung ke dalam barisan pemerintah dan koalisi parpol pendukungnya, sehingga wakil-wakil parpol di DPR yang berada dalam barisan oposisi tetap dapat memberikan kritik terhadap pemerintah guna mencegah terbentuknya pemerintah (dan DPR) yang otoriter.
Namun, ada pula yang menganut paham bahwa pembentukan kabinet yang merangkul semua parpol atau bahkan pembentukan "kabinet zaken" yang hanya berisikan para profesional juga dimungkinkan, mengingat konstitusi kita yang menganut sistem presidensial tidak mengenal adanya istilah oposisi.
Sebagai akademisi yang menekuni bidang hukum tata negara (HTN), saya juga merasa topik ini selalu menarik untuk diangkat. Dalam tulisan ini saya ingin membuat sedikit perbandingan antara DPR dengan Parlemen Uni Eropa (PUE). Meskipun Uni Eropa (UE) bukanlah suatu negara sebagaimana yang jamak kita kenal selama ini, tapi ia tetap merupakan suatu polity bagi kumpulan manusia yang menyelenggarakan tata kelola yang mandiri dalam mewujudkan kepentingan bersama.
Dalam teori hukum publik yang tradisional, secara institusional, UE memang masih digolongkan sebagai organisasi internasional. Namun, yang menarik adalah UE memiliki berbagai lembaga yang memiliki fungsi-fungsi berdasarkan prinsip division of powers menyerupai lembaga-lembaga negara, seperti Komisi Eropa sebagai lembaga eksekutif, Pengadilan Eropa sebagai lembaga yudisial dan PUE sebagai lembaga legislatif. Tidak berlebihan kiranya bila ada di antara ahli HTN yang menyebutnya Super State, satu bentuk baru negara yang dapat dikatakan merupakan varian dari federalisme.
PUE merupakan lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya juga dipilih secara langsung oleh rakyat (universal suffrage ) berdasarkan ideologi politik. Namun, bila dibandingkan DPR, PUE tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkan rancangan undang-undang (RUU). Lembaga ini hanya berwenang membahas dan memutuskan undang-undang (UU).
Kewenangan pengajuan RUU di UE berada di tangan Komisi Eropa. Berbeda dengan Indonesia, lembaga eksekutif UE ini tidak ikut membahas dan memutuskan undang-undang. Uniknya lagi, para politisi atau parpol yang berhasil meraih kursi di PUE, tidak dimungkinkan untuk memiliki hubungan politik secara langsung dengan Komisi Eropa, sebagaimana yang sangat mungkin terjadi pada hubungan antara anggota DPR atau parpol dengan pemerintah (presiden dan anggota kabinetnya) di Indonesia.
Komisi Eropa, yang terdiri atas seorang presiden komisi dan para komisioner—yang paralel kedudukannya dengan para menteri di dalam Pemerintah Indonesia—, benar-benar bekerja secara independen, jauh dari pengaruh para politisi yang duduk di PUE, meskipun boleh jadi mereka berasal dari satu parpol, kelompok (ideologi) politik ataupun negara anggota yang sama.
Namun, dalam rangka "tata kelola negara" yang baik, PUE tetap menjalankan fungsi pengawasan terhadap Komisi Eropa, di samping juga memiliki fungsi pembuatan anggaran belanja dan pendapatan (budgeting ). Pengaruh politik lain yang dimiliki PUE juga diwujudkan dalam memberikan persetujuan terhadap calon presiden Komisi Eropa.
Becermin dari sistem tata kelola UE itu, sistem pemerintahan presidensial di Indonesia sebenarnya dapat didesain secara lebih murni, yaitu dengan cara membebaskan presiden dari pengaruh parpol, bahkan sejak dari proses pemilihannya. Pilpres tetap dapat dilakukan lewat pemilihan langsung, namun tidak usah lagi lewat dukungan parpol pengusung.
Pasangan calon presiden dan wakilnya berasal dari calon independen saja semuanya. Mereka dapat mendaftar, lalu diseleksi secara merit system oleh suatu panitia yang dibentuk oleh DPR dengan persyaratan yang sangat ketat—kira-kira seperti penjaringan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk presiden.
Pasangan yang telah lolos saringan sajalah yang bisa menjadi peserta untuk berkompetisi dalam arena kontestasi pilpres. Dengan demikian, kelak seorang presiden terpilih akan benar-benar leluasa dalam mewujudkan hak prerogatifnya, termasuk dalam pembentukan kabinet, tidak tersandera oleh partai-partai politik pendukung.
Kemudian, perjuangan dalam proses legislasi benar-benar akan murni berdasarkan "pertempuran" ide dari anggota DPR, yang memang terpilih lewat pemilihan umum anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka. Panitia-panitia kerja dan komisi-komisi di DPR yang berhadapan dengan pemerintah dalam proses pembuatan undang-undang akan murni mewakili DPR secara institusional.
Perdebatan (scrutinization ) di antara fraksi-fraksi pun dapat tetap berlangsung. Dengan sistem multipartai, akan kecil kemungkinan terbentuknya kedudukan saling beroposisi di antara mereka dalam wujud pembelahan dua kubu yang saling berhadapan, yang disebabkan perbedaan ideologi atau kepentingan politik.
Berdasarkan pengalaman pilpres di Indonesia, pada 2004 dan 2009 tidak terdapat polarisasi yang begitu kental dalam masyarakat, karena pesertanya terdiri atas lebih dari dua pasang. Pilpres 2004 diikuti oleh lima pasang calon, dan menjadi dua pasang hanya setelah terjadi putaran kedua sehingga masa untuk menciptakan pembelahan masyarakat menjadi dua kubu sangatlah singkat.
ADVERTISEMENT
Pada 2009 tidak terjadi putaran kedua karena dari tiga pasang peserta pilpres, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil meraih kemenangan pada putaran pertama, sesuai aturan konstitusi. Sebaliknya, pada Pilpres 2014 dan 2019 pembicaraan tentang kelompok koalisi dan oposisi menjadi sangat kental karena peserta pilpresnya hanya ada dua pasang sejak awal.
Dengan perubahan sistem di atas, parpol tak lagi dilibatkan dalam proses pencalonan/pemilihan presiden dan wakil presiden dan juga dalam pemerintah/lembaga eksekutif. Jadi para politisi hanya akan bekerja di DPR, sedangkan presiden dan kabinetnya murni berasal dari kalangan nonparpol (teknokrat).
Dengan begitu, pemerintah benar-benar dapat menjadi counterpart bagi DPR dalam proses legislasi, yang merupakan salah satu pengejawantahan prinsip checks and balances dalam tata negara. Dengan demikian, perjuangan seorang politisi akan berpuncak hanya pada lembaga perwakilan rakyat. Tak akan ada lagi yang (berharap) menjadi menteri. Mirip seperti politisi di daerah yang ingin menduduki jabatan di DPRD. Toh , mereka juga tidak bisa menjadi kepala dinas.
Puncaknya, diharapkan tak akan lagi muncul keributan tentang perlu atau tidaknya koalisi parpol dan oposisi di dalam tubuh DPR. Sistem pemerintahan presidensial akan dapat dijalankan dengan murni, di mana tercipta hubungan yang bersifat mutual independence antara lembaga legislatif dan eksekutif sehingga polarisasi dua kubu yang begitu keras dalam masyarakat akibat politik dapat dihindari.
Adapun tentang kekuasaan yang menjadi tujuan didirikannya parpol, dengan sistem presidensial yang murni, tetap dapat diwujudkan, yakni ketika DPR melakukan fungsi-fungsi pengawasan, anggaran (persetujuan terhadap APBN), dan memberikan persetujuan terhadap calon pimpinan/anggota lembaga negara seperti KPK, Badan Pemeriksa Keuangan, hakim MK, hakim agung, gubernur Bank Indonesia. Bahkan DPR juga tetap memiliki kekuasaan dalam memberikan persetujuan bagi calon duta besar, kepala Kepolisian Republik Indonesia, jaksa agung, dan panglima TNI.
Sekali lagi, ide untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang murni ini tentu tidak mudah untuk diwujudkan karena harus dilakukan dengan mengamandemen konstitusi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar