Di sejumlah daerah, kita sering menjumpai begitu luar biasanya perjuangan sekolah untuk mendapatkan siswa pada setiap tahun ajaran baru. Ada sekolah yang laris manis sehingga pendaftarnya melebihi daya tampung. Dengan gagah, sekolah ini menolak banyak pendaftar.

Fenomena ini biasanya dialami sekolah berkategori favorit dan mapan dengan segudang prestasi. Sementara di tempat lain, ada sekolah yang harus berjuang hingga berpeluh keringat untuk mendapatkan siswa. Bahkan, hingga tahun ajaran baru dimulai, sekolah ini masih menerima pendaftaran. Hal itu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan nasib sekolah. Kondisi ini biasanya dialami sekolah berkategori kecil dan miskin prestasi.
Pertanyaannya, mengapa ada sekolah yang laku keras dengan jumlah peminat luar biasa banyak. Sementara di tempat lain ada sekolah yang justru tak laku sehingga sangat sulit mendapatkan siswa baru. Perbedaan nasib sekolah ini terjadi dikarenakan faktor keunggulan.
Jika suatu lembaga pendidikan berkategori unggulan, di mana pun posisi sekolah itu pasti akan didatangi masyarakat. Pada konteks itulah, lembaga pendidikan harus mampu memberikan layanan yang bermutu tinggi. Jika satuan pendidikan gagal menjaga kepercayaan dengan memberikan layanan maksimal, cepat atau lambat pasti akan ditinggalkan pemangku kepentingan (stakeholder)-nya.
Sekolah unggul merupakan terjemahan dari beberapa terma, seperti effective school,  efficient schoolhigh performance schoolexcellent school, dan outstanding school. Dalam praktiknya, untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa sekolah tertentu bermutu, digunakan branding sekolah unggul, sekolah plus, sekolah favorit, sekolah model, sekolah-pesantren (boarding-school), bahkan sekolah berstandar internasional.
Beberapa branding itu dapat digunakan asalkan di sekolah tersebut diterapkan budaya mutu. Artinya, ada jaminan standar mutu layanan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.
Persoalan layanan mutu penting karena ada kalanya orang memahami pendidikan unggul sekadar dilihat dari tampilan sarana fisik, besarnya SPP, dan muridnya yang memang pilihan. Akibatnya, muncul persepsi bahwa sekolah unggul harus serba ”wah”. Tom J Parkins (2003) dalam penelitiannya menyatakan, ada tiga indikator yang harus dimiliki sekolah unggul. Tiga indikator itu adalah input, proses, dan output.
Dari tiga indikator itu, Parkins merumuskan tesis mengenai konsep sekolah unggul. Menurut dia, sekolah unggul dapat dilihat dari dua kategori; best input dan best process. Sekolah unggul dengan kategori best input biasanya berusaha untuk memperoleh siswa yang bernilai tinggi.
Dalam praktiknya, sekolah ini menerapkan tes masuk yang sangat ketat, terutama kemampuan akademik siswa. Harapannya, sekolah memperoleh siswa terbaik. Dengan demikian, output yang dihasilkan sekolah pasti lulusan dengan capaian akademik hebat.
Pertanyaannya, capaian akademik hebat itu karena proses pendidikan di sekolah atau faktor lain? Pertanyaan ini penting direnungkan karena diduga kuat anak-anak hebat lulusan sekolah yang menekankan pada strategi best input adalah karena anaknya memang sudah hebat sejak masuk.
Anak-anak itu juga memperoleh tambahan fasilitas bimbingan belajar di luar sekolah dari orangtuanya. Artinya, kontribusi guru dalam proses pendidikan di sekolah yang menekankan best input sangat kecil.
Mendorong ”best process”
Sekolah unggul kategori kedua menekankan pada strategi best process. Sekolah berkategori ini biasanya tidak begitu menekankan pada kualitas akademik anak pada saat awal masuk. Dalam kondisi apa pun siswa yang mendaftar akan diterima.
Semua siswa yang mendaftar akan dipelajari dan dipetakan berdasarkan keunggulannya. Tidak ada proses seleksi yang ”jelimet” untuk sekolah ini karena gurunya telah menyiapkan diri menjadi agen perubahan (agent of change).
Setiap guru menyadari bahwa menjadi pendidik bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hati.
Mereka berkeyakinan menjadi guru merupakan tugas mulia yang bernilai ibadah. Tugas para guru adalah mengubah karakter anak dari yang biasa menjadi luar biasa. Guru di sekolah ini meyakini setiap anak pasti memiliki keunggulan, minat, dan bakat yang unik sebagai anugerah dari Tuhan. Dengan demikian, tugas guru adalah memfasilitasi anak agar memaksimalkan potensi bawaan tersebut.
Tipe sekolah dengan strategi best process inilah yang sejatinya lebih layak disebut pendidikan unggulan. Namun, sangat disayangkan, jumlah sekolah yang menekankan keunggulan pada best process masih sangat sedikit. Hasil penelitian Parkins menunjukkan, 99 persen sekolah unggul di Indonesia membangun keunggulannya dengan strategi best input. Hal itu berarti hanya 1 persen sekolah yang menekankan keunggulannya pada best process.
Tugas kita sekarang adalah mendorong sekolah agar menempuh strategi best process. Yang harus diingat, untuk merealisasikan proses pembelajaran yang unggul, pasti dibutuhkan guru hebat. Perspektif ini penting ditekankan karena jantung pendidikan sesungguhnya ada pada proses pembelajaran. Di sinilah guru menjadi ujung tombak proses pembelajaran. Berarti para guru harus keluar dari pakem kurikulum hingga menjadi guru inspiratif.
Guru-guru inspiratif itulah yang menjadi kunci pendidikan unggul dengan strategi best process. Pada konteks itulah, Parkins menegaskan, recovery begins with teachers. Pernyataan ini menekankan pentingnya perhatian pada guru sebagai agen utama perbaikan mutu pendidikan. Semoga terbuka kesadaran semua pihak mengenai pentingnya mewujudkan pendidikan unggul dengan penekanan keunggulan pada proses pembelajaran. ***