Mengenang Pak Sutopo: Dia Hanya Patah Hati Sekali, Waktu Raisa Nikah!
Oleh : Taufiqurrahman, Wartawan Jawa Pos
Jumat, 23 Februari 2018. Serangkaian bencana mengawali tahun itu. Meletusnya Gunung Agung pada awal Januari. Gempa di Lebak, Banten, 23 Januari. Bendung Katulampa siaga 1 lalu longsor di Brebes menyusul kemudian. Itu berarti satu hal: hari-hari yang sangat sibuk bagi kami, para jurnalis.
Seperti biasa, siang itu kami berkumpul di Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana lantai 11, Jakarta. Sutopo datang menghadapi puluhan kamera dan konferensi pers pun dimulai.
Pejabat lain mungkin sangat riweh dengan media. Mulai yang risih, yang tawadhu, yang emoh sama sekali, sampai yang ketakutan waktu mau tampil. Tapi Sutopo menghadapinya seperti layaknya profesional. Ratusan media dia tangani. Puluhan kamera dia hadapi. Media asing dan nasional. Tanpa takut salah, kepleset, keserimpet, atau alasan paling klise–dimarahi pimpinan. “Ayo, mau tanya apa lagi?” tantangnya.
Itulah Sutopo. Jauh sebelum dia terkenal, kami semua paham dengan gayanya. Tapi di konferensi pers siang itu, dia tampak berbeda. Bicaranya agak irit. Bibirnya sedikit pucat. Ada apakah gerangan?
Inilah konferensi pers pertamanya setelah beberapa Minggu tidak muncul. Sakit kah pak?
Saat konferensi pers usai, lantai 11 mulai sepi. Puluhan kamera diringkesi. Dan sebagian besar jurnalis sudah pergi. Beberapa dari kami masih tinggal. Lalu sedikit maju menghampiri beliau yang mengusap kening lebarnya dengan sapu tangan. Seorang wartawan, entah saya lupa namanya, bertanya “Pak, katanya kemarin sakit, cerita dong.”
Saat itulah kami melingkari pria asal Boyolali ini. Dan beliau bercerita lepas. Tidak merasa bahwa para jurnalis adalah kumpulan tukang cecar dan tukang tuntut. Orang-orang yang kerap mengganggu waktu liburnya dengan berjuta pertanyaan-pertanyaan kepo. Di sisi lain, beberapa jurnalis memang peduli padanya. Lebih dari sekadar pejabat publik dan sumber berita. Tapi seorang bapak, kawan, dan sahabat yang sama-sama gusar dan sibuk saat terjadi bencana.
Namun meski dengan air muka yang semangat dan berbinar saat bercerita, hati kami seperti diremas-remas. Pertengahan Januari lalu, dokter menvonisnya mengidap kanker paru-paru stadium 4B. Sesekali, dia memperagakan gestur telunjuk menusuk pinggang, sambil meringis, betapa sakit dan pahitnya saat obat pemburu sel kanker diinjeksikan. Pedih dan sakit.
“Wah itu sel-sel baik juga ikut dihabisi. Akhirnya saya putuskan. Ah kemo sajalah,” tuturnya.
Kami diam. Khusyuk terseret dalam ceritanya. Kalimat demi kalimat, kadang bersemangat, kadang getir menertawakan diri sendiri. Kadang melenguh, memuji kebesaran tuhan. Setiap ekpresi mengandung bobot ketabahan yang luar biasa.
“Awalnya saya itu batuk. Batuk terus ndak sembuh-sembuh. Terus saya duduk itu kok nyeri, ada apa ya,” tuturnya menceritakan awal mula penyakitnya. Hasil CT scan memutuskan, Sutopo mengidap kanker.
Dua hari sebelumnya, dia baru saja menjalani terapi di rumah sakit. RSPAD Gatot Subroto kalau tidak salah. Lalu besoknya dia sudah masuk kantor. Wow! Just wow!Bayangkan, kamu divonis mengidap penyakit pembunuh nomor satu di dunia dalam stadium akhir. Lalu besoknya kamu masuk kantor? Ini integritas yang sangat sulit ditemukan di negeri ini. Inilah profesionalisme kelas atas!
Sutopo menyebut dokter di Mahkota Medical Centre, Melaka, Malaysia bahkan sudah bisa memperkirakan usianya. Paling-paling ditambah kemo, usianya cuma bertambah satu atau dua tahun. “Tapi sudahlah. Yang namanya sakit, sehat, hidup, mati itu urusan Allah. Yang penting kami terus berbuat baik untuk sesama,” katanya.
Cerita berakhir. Kami pun bubar dengan kecamuk di hati masing-masing. Awal tahun itu, Sutopo terkena musibah. Maka dimulailah masa-masa cobaan terberat baginya. Tapi yang belum kami tahu, bahwa itu juga merupakan awal tahun bencana terberat bagi Indonesia. Tahun yang akan menguji setiap kekuatan sendi, lahir, dan batin bagi Sutopo. Juga bangsa Indonesia
***
KEBAHAGIAAN sederhana bagi para jurnalis adalah saat seorang narasumber dengan begitu egaliter mau menjawab semua pertanyaan kamu. Gampang dihubungi dan mau “diganggu”.
Saat kamu tahu bahwa dia mau secara sukarela ”melayanimu”, kamu akan mencintainya. Saat kamu tahu bahwa dia ternyata melayani wartawan yang jauh lebih banyak, cintamu kepadanya akan lebih besar. Dan ketika posisinya semakin penting dan susah dihubungi, maka kamu masih tetap mencintainya.
Sutopo adalah jenis narasumber seperti itu.
Kadang saya nggak tahan juga. Saya protes. “Pak mendan, dibales dunkz” sapa saya suatu hari. Lalu dibalasnya dengan mengirim screenshot aplikasi WhatsApp dengan notifikasi. “Nih, segini yang belom saya baca”
Saya melihat screenshot tersebut. Ada 2.551 pesan yang belum dia baca! Saya pun mengkeret. “He he he, ampun kumendan,” balas saya.
Sutopo membentuk grup WhatsApp untuk wartawan. Namanya Medkom Bencana. Sebagai fasilitas blasting rilis dan info kebencanaan. Grup itu langsung penuh, 250 anggota. Karena penuh, Sutopo bikin lagi, Medkom Bencana 2. Langsung penuh lagi. Tak lama kemudian sudah berkembang hingga Medkom Bencana 8. Itu belum termasuk media asing dan grup WA BNPB dan BPBD seluruh Indonesia yang tiap jam mengirim laporan real time perkembangan penanganan kebencanaan di tiap daerah.
“Aduh, hape saya ini hang terus,” keluhnya suatu hari.
Jumat siang, 26 Januari 2018, gempa besar 5,2 skala richter yang berpusat di Banten mengguncang Jakarta. Biasanya, hanya dalam hitungan jam, Sutopo sudah muncul dengan rilis resmi BNPB dengan data-data akurat dari lapangan. Namun hingga sore, Sutopo belum juga muncul.
Ternyata, Sutopo sedang berbaring di rumah sakit. Tapi ratusan pesan dan panggilan menyerbu masuk ke hape-nya. Di atas ranjang rumah sakit, Sutopo mengumpulkan laporan dari BPBD Banten dan semua jaringan BNPB untuk diketik dalam sebuah pers rilis. ”Ya sudah lah saya bikin rilis, tapi saya nggak mau angkat telepon nerima wawancara,” katanya.
Sampai Jumat malam, Sutopo masih setia memelototi hape. Menurut pengalamannya, setelah terjadi gempa besar, rawan bermunculan berita-berita hoaks tentang tsunami. Dia merasa perlu berjaga jangan sampai masyarakat panik.
Pada 5 Februari 2018, Sutopo sedang menunggu dokter di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Sejak malam harinya, debit air di Bendung Katulampa sudah menyentuh siaga merah. Sutopo menyisir dunia maya dan televisi. Belum ada satupun media yang mengabarkan hal tersebut. Memang ada beberapa info yang beredar. Tapi bahasanya rumit, normatif. Sutopo berpikir masyarakat tidak paham apa artinya siaga satu dengan bahasa teknis seperti itu.
Padahal, warga Jakarta terancam banjir. Dia pun kembali menekuri hape-nya, mengumpulkan data, dan menyusun rilis.
Saat terjadi longsor di Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Brebes, 22 Februari tahun lalu, Sutopo tengah berada di ruang bedah RSPAD Gatot Subroto. Bersiap menjalani operasi. Awalnya, dia berpikir nanti dulu kabar-kabarnya. Operasi lebih utama. Namun, ternyata, belum ada satupun berita tentang longsor Brebes. Sutopo gelisah. Dia tahu betul bencana longsor pasti mematikan. ”Wah ini longsor, pasti banyak korbannya,” tuturnya.
Lagi-lagi dalam kondisi berbaring di atas ranjang rumah sakit, dia mengontak BPBD dan beberapa instansi yang menangani langsung. Juga petugas BNPB di lapangan. Kembali lagi, data-data dia kumpulkan lalu disusun dalam bentuk siaran pers.
Kemudian tidak perlu saya ceritakan lagi detailnya. Pada Juli 2018, gempa besar terjadi Lombok. Disusul hattrick bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi alias pencairan tanah di Palu. Menyusul kemudian tsunami Selat Sunda serta bencana-bencana lain yang tak terhitung jumlahnya.
Empat ribu dua ratus tiga puluh satu nyawa melayang., 16.000 jiwa terluka, 3,6 juta jiwa kedinginan di tempat pengungsian. Ratusan ribu rumah, infrastruktur, dan rumah ibadah luluh lantak.
Bencana-bencana itu datang seperti tinju yang bertubi tubi atau empasan ombak yang sambung-menyambung menghantam lambung kapal bernama Indonesia. Dan Sutopo, sang navigator, tetap berbicara di menara komunikasi meskipun basah kuyup dan babak belur. Dia layaknya lampu suar yang menolak padam.
Setelah cerita di lantai 11 itu, hidup Sutopo berlanjut. Begitu juga dengan bencananya. Satu persatu datang menghantam. Dar der dor. Sambung-menyambung. Susul-menyusul. Seiring berjalannya waktu, Indonesia membangun citranya sebagai “supermarket bencana”. Tahun 2018 adalah “tahun bencana” dan Sutopo adalah juru bicara bencana paling kredibel, paling terpercaya, dan paling dihormati di Indonesia.
***
SUTOPO pernah bilang, dalam hidup, dia selalu berusaha tidak patah semangat. Dia cuma patah semangat sekali, waktu Raisa menikah dengan Hamish Daud. He he he..
Tapi bagaimanapun, kanker terlihat sangat menekannya. Kanker membuat langkahnya ke konferensi pers gontai. Kadang wajahnya meringis. Sesekali, dia minta maaf karena semakin lemot menjawab pertanyaan dari media. Dia minta maaf pada sesuatu yang sama sekali bukan salahnya.
Media lokal maupun asing semakin padat memenuhi ruang konferensi pers yang sekarang dipindah ke lobi lantai 1 BNPB. Ruang lantai 11 sudah tidak muat.
Dia pernah melotot saat melihat saya. “Heh, terlambat terus!” Saya cuma cengar-cengir sambil menghilang masuk ke kerumunan.
Selepas paparan pun, dia diserbu dan dikelilingi oleh para wartawan yang masih haus akan pertanyaan. Kadang saya merasa kurang patut. Bagi beliau yang menahan sakit secara konstan tiap saat, berbicara saja sangat melelahkan. Tapi masih ada saja yang bertanya ”Pak bagaimana prediksi bencana gempa bumi ke depan,”. Plak! Sesuatu yang bagi kami sangat hadeeehhh sekali.
Kadang-kadang, ketika kerumunan sudah melonggar, saya mendekatinya. Dengan muka malas dia langsung menukas, “Mau tanya apa lagi?!” Saya cuma nyengir dan langsung memijit-mijit pahanya. Nggak tahu juga, apa tujuan saya. Tapi kemudian saya nyeletuk. “Pak, kenapa bencana selalu terjadi di hari libur?”
Diapun langsung meletakkan mapnya dan melebarkan bahu. Seperti bos yang bersiap hendak ngomel . ”Wah itu. Itu dia. Tsunami Aceh hari Minggu. Jembatan putus hari Minggu. Gempa Lombok weekend. Tsunami Palu juga weekend. Ini orang emang mau nggak dikasih libur ya!” Kami yang mengelilinginya sontak tertawa.
Desember 2018, saya naik ke Gunung Anak Krakatau. Melanggar semua protokol keamanan. Lalu saya share foto-fotonya ke beliau. “Melanggar aturan kamu!” semburnya.
Saya pikir dia sudah marah sekali dan emoh berkomunikasi dengan saya. Tapi beberapa saat kemudian Pak Sutopo mengirim pesan lagi. “Tapi mantap kan?” celetuknya. “Hehe iya pak. Pemandangannya luar biasa.”
2 Oktober 2018. Waktu itu konferensi pers kebencanaan di Forum Merdeka Barat berakhir. Sutopo sudah tak antusias lagi. Ingin cepat-cepat pulang. Tapi betapapun ibanya kami padanya, kami tetap harus mencari berita. Dan tidak ada sumber yang lebih baik dari dirinya. Jadi pertanyaan demi pertanyaan tetap dia jawab. Meski ogah-ogahan.
“Pak, Raisa gimana?”
Seketika matanya berbinar. Sikap ogah-ogahan itu terlempar jauh. Tapi wartawan lain mengernyit dan memelototi saya. Bisa-bisanya ya, waktu penting-pentingnya tanya begituan!
Tadi pagi, Sutopo seperti biasa nge-tweet. Tapi bukan soal update bencana melainkan menyemangati para penyintas kanker seperti dirinya agar tidak patah arang. Cuma di akhir tweetnya, ada yang aneh. Dia nge-tag Raisa. Iya, Raisa yang itu. Yang enam enam sembilan kosong.
“Tadi Raisa japri aku ngajak video call!” kata Sutopo antusias.
Tamat sudah semua pertanyaan soal bencana. Tapi sayangnya, permintaan bidadari dari langit itu tidak bisa Sutopo penuhi karena beberapa menit kemudian, dia harus sudah naik ke panggung konpres menghadap ratusan kamera.
Duty comes first!
Para wartawati pun menghujani Sutopo dengan ciye-ciye. Sebentar-sebentar, katanya. Hape saya sedang lowbat. Sebentar, saya ganti hape satunya. “Biar nggakketahuan istrinya ya pak?” celetuk seorang wartawati kawan saya. “Bukan, lowbaaat!,” kilah Sutopo.
Raisa mengirim pesan ke chat pribadinya. “Hai Pak Sutopo, saya Raisa, rasanya kita sudah kenal lama ya?” Hati Sutopo mendadak sejuk bagai disiram embun. “Iya, saya juga merasa sudah lama kenal mbak Raisa,” jawabnya. Hati Sutopo lantas menyanyikan lagu kebangsaan senandung mantan terindah jilid dua pasal terjebak nostalgia.
Sutopo mengelus dada. Selama hidup, dia nggak pernah nyapa Raisa. EhRaisa nyapa duluan. Tapi untung nggak pernah ketemu. “Kenapa pak?” serbu para wartawan. “Wah, bisa mati gaya saya,” katanya.
”Wah, tapi kalau saya ketemu Raisa, nanti saya akan ngomong tentang penanggulangan bencana. He he he. Pasti nggak mati gaya,”.
Sutopo mengatakan, kalau dirinya bertemu Raisa, dia ingin minta Raisa jadi duta bencana. Soalnya, Indonesia sendiri belum punya duta bencana. Kalau mau ngajakartis, mahal tarifnya. “Kalau Raisa tarifnya berapa Pak?” tanya teman-teman wartawan lagi. Wah, harus kemanusiaan dong. Iya harus. Demi kemanusiaan.
Impiannya bertemu Raisa betul-betul terpenuhi beberapa bulan kemudian. Setelah Raisa datang, berbagai tokoh, penghargaan, dan sanjung-puji mengelilingi Sutopo. Media media asing lantas berlomba-lomba mewawancarainya. Akhirnya, Presiden sendiri dibuat kagum olehnya. Meski berada dalam jurang kesakitan, saya percaya itulah saat-saat terbaik dalam hidup Sutopo.
Senin pagi lalu, di dekat pusaranya, saya sempat kirim pesan ke nomor WhatsApp-nya yang sudah tidak aktif sejak 15 Juni.
Selamat Jalan, Pak Mendan….
Boyolali, 8 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar