Strategi
Damai di Laut
Fahmi Alfansi P Pane ; Alumnus Magister Sains Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia
|
REPUBLIKA, 04 Juni 2015
Bila sengketa di Laut Cina Selatan meningkat, kawasan Natuna dan
perairannya, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif dan batas landas kontinen,
berikut cadangan migas di sana, akan terancam. Sekurang-kurangnya Indonesia
menghadapi risiko keamanan bagi jalur komunikasi laut, transportasi barang
dan energi, serta kapal nelayan. Untuk itu, Indonesia perlu mempunyai
strategi damai, khususnya di dalam menangani konflik di laut.
Strategi damai sangat diperlukan karena situasi taktis
mengindikasikan eskalasi konflik. Setelah pernah menempatkan rig eksplorasi
migas di Kepulauan Paracel Mei 2014, Cina mereklamasi Kepulauan Spratly.
Adapun Amerika Serikat (AS) melakukan operasi psikologi untuk menyudutkan
Cina dengan memublikasikan reklamasi Spratly menjelang Shangri-La Dialogue akhir Mei.
Padahal, Menhan AS Ashton Carter mengatakan, Spratly direklamasi
sejak 18 bulan lalu. Bahkan, Cina berencana memberlakukan Zona Identifikasi
Pertahanan Udara (ADIZ) Laut Cina Selatan, melengkapi ADIZ Laut Cina Timur.
Ada beberapa usulan strategi damai untuk menangani konflik di
laut, yang dapat disempurnakan oleh pengambil keputusan. Pertama,
pengembangan kawasan sengketa di Laut Cina Selatan sebagai daerah pemanfaatan
bersama secara damai, seperti pengelolaan migas, perikanan, sains, dan
kepentingan publik lainnya. Kemaslahatan bersama diutamakan daripada
kepemilikan dan kedaulatan teritorial di daerah sengketa. Hal serupa dapat
dipertimbangkan pada kawasan sengketa lain yang tidak dapat diselesaikan
secara diplomatik dan hukum.
Usulan ini berangkat dari salah satu teori penyebab perang,
yakni cumulative resources. Teori ini berbunyi, "perang lebih mungkin terjadi ketika penguasaan suatu sumber
daya dapat melindungi atau memperoleh sumber daya lain" (Van Evera, Causes of War: Power and the
Roots of Conflict, hal. 105).
Dengan teori ini terjelaskan bahwa penguasaan Kepulauan Spratly
memungkinkan reklamasi (sumber daya lahan bertambah), lalu pembangunan
pangkalan militer (sumber daya militer) dan fasilitas eksplorasi migas
(sumber daya alam strategis), lalu memperoleh (perlindungan) ketahanan energi
dan penerimaan negara. Karena itu, sumber daya yang akumulatif seperti
Spratly seharusnya tidak dikuasai suatu pihak, tetapi manfaatnya
terdistribusi merata.
Konsep daerah pemanfaatan bersama secara damai bukan hal baru.
Sejak 1967, dunia sudah menyepakati Outer
Space Treaty (Traktat Antariksa) yang menjadi rujukan semua perjanjian
internasional dan peraturan perundang-undangan semua negara.
Isi pokoknya, antara lain, pemanfaatan antariksa untuk
kepentingan semua negara dengan maksud damai, berstatus hukum sebagai kawasan
kemanusiaan (the province of all
mankind), larangan penempatan persenjataan, dan sebagainya. Karena itu,
ketika AS-Eropa dan Rusia bersengketa soal Ukraina, AS dan Rusia tetap
bekerja sama di International Space
Station.
Daerah pemanfaatan bersama ini mestinya dapat direalisasikan
karena, misalnya, Cina bersedia memodali pembentukan Bank Pembangunan
Infrastruktur Asia (AIIB) bersama Jepang, Indonesia, dan lain-lain. Cina, AS,
Australia, Indonesia, dan lainnya juga menyisihkan perselisihan ketika
menggelar bantuan kemanusiaan, seperti pencarian korban pesawat MH 370, mulai
dari Teluk Thailand, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, hingga Samudra Hindia.
Kedua, menetapkan UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut)
sebagai basis penyelesaian sengketa. UNCLOS juga perlu menjadi rujukan sikap
politik, standar berkomunikasi, dan berdebat. Adanya UNCLOS dan perjanjian
internasional lainnya minimal dapat mengurangi sifat anarki dalam hubungan
internasional. Karakter itulah yang mendorong negara untuk memakai kekuatan
militer.
Dilihat dari situs PBB, seluruh negara anggota ASEAN telah
meratifikasi UNCLOS, kecuali Laos, mungkin karena tidak mempunyai laut. Cina
juga sudah meratifikasinya. Ironisnya, AS justru belum meratifikasi UNCLOS,
padahal selalu menuntut kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan. AS baru
menyetujui implementasi ketentuan konservasi dan manajemen cadangan ikan yang
bermigrasi.
Hal ini ironis karena negara sekutu AS sudah meratifikasinya,
yaitu Inggris (1997), Australia (1994), Selandia Baru (1996), dan Kanada
(2003). Permintaan AS akan lebih mudah dipahami karena UNCLOS juga mengatur
pelayaran kapal-kapal perang.
Dengan merujuk UNCLOS dan Treaty
of Amity and Cooperation (Traktat ASEAN untuk Persahabatan dan Kerja
Sama), ASEAN dan Cina telah menyepakati Deklarasi Tata Berperilaku Para Pihak
di Laut Cina Selatan tahun 2002. Para diplomat Indonesia perlu
memprioritaskan penyelesaian tata berperilaku (code of conduct) sehingga lebih memperkuat komitmen penyelesaian
damai.
Ketiga, peningkatan diplomasi pertahanan, termasuk prosedur
pembangunan kepercayaan (confidence
building measures/CBM). Misalnya, patroli bersama, seperti usulan Menhan
RI Ryamizard Ryacudu, inisiatif kerja sama dalam studi keamanan, latihan
militer, dan sebagainya. Tetapi, yang juga penting adalah keterbukaan
informasi mengenai senjata yang dapat dipersepsikan sebagai peningkatan
agresivitas, seperti kapal induk, kapal selam, sistem peluncur rudal, dan
senjata nuklir.
Keempat, peningkatan kerja sama sipil dan militer antarnegara
dalam operasi kemanusiaan, bantuan bencana alam, survei hidrologi dan
oseanografi, SAR, pendidikan pertahanan, dan sebagainya. Forum Jakarta International Defence Dialogue
(JIDD) juga harus diperkuat, apalagi telah diakui dalam Chinese Military Strategy (buku putih Cina, 26 Mei 2015). Bahkan,
pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menggelar forum retreat yang lebih
cair seperti KTT APEC 2013 di Bali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar