Sanksi FIFA
Eddi Elison ; Pengamat
Sepak Bola Nasional
|
KORAN TEMPO, 15 Juni 2015
Ketika 30 Mei 2015
FIFA menjatuhkan sanksi suspended kepada PSSI, banyak kalangan bertanya:
kenapa bisa terjadi? Maklum, kendati dibenarkan melakukan pembinaan internal,
sejak itu sepak bola nasional dilarang mengikuti ajang internasional di semua
strata. Sayangnya, kegiatan di dalam negeri terhenti karena Menteri Olahraga
Imam Nahrawi membekukan PSSI sejak 17 April 2015.
Semua kegiatan
operasional PSSI diambil alih oleh Tim Transisi yang dibentuk Menpora,
kecuali jika PT Liga Indonesia, yang selama ini merupakan operator Kompetisi
ISL/Divisi Utama, bersedia berkoordinasi dengan Tim Transisi. Namun gara-gara
PT LI patuh kaku hanya kepada PSSI--padahal ke-18 klub ISL menguasai 99
persen saham, sementara PSSI hanya 1 persen--PSSI praktis tak punya "gawean"
apa-apa.
Jatuhnya sanksi FIFA
yang untuk pertama kali dialami PSSI sejak didirikan pada 1930 ini
mengingatkan kita akan peristiwa 7 Februari 1963, saat Dewan Eksekutif
International Olympic Committee (IOC) menskors Indonesia karena, sebagai
pelaksana Asian Games IV 1962, kala itu Indonesia tidak mengundang Israel dan
Taiwan, yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Presiden Sukarno marah
atas sanksi IOC itu, sehingga pada 17 Februari 1963 ia memerintahkan Komite
Olimpiade Indonesia (KOI) untuk keluar dari IOC. Bung Karno sangat
tersinggung, menilai sanksi IOC merupakan penghinaan terhadap kedaulatan
Indonesia. Penyebabnya, IOC sama sekali tidak bersedia mendengarkan
keterangan Indonesia, padahal pengurus IOC menjanjikan akan menerima utusan Indonesia
(Ketua KOI Sri Paku Alam VIII) sebelum sidang IOC. Namun Sri Paku Alam tidak
digubris setiba di Lausanne.
Membalas penghinaan
tersebut, Indonesia menggelar Games of
the New Emerging Forces (Ganefo) I, November 1963.
Ada semacam kesamaan
antara skors IOC (1963) dan "banned" FIFA (2015), bila dikaitkan
dengan masalah "penghinaan terhadap kedaulatan" negara RI.
Sementara IOC bersidang membahas masalah Indonesia namun hanya mendengarkan
laporan Taiwan, menolak utusan Indonesia, Exco FIFA hanya menerima laporan
PSSI, sementara laporan Kemenpora tidak dibahas, bahkan permintaan agar
pengurus FIFA bersedia menerima utusan Menpora juga tidak ditanggapi. FIFA
lalu mendikte agar sanksi Menpora dicabut--suatu hal yang tak mungkin
dilakukan, mengingat SK Menpora (baca: Negara). Apalagi FIFA hanya organisasi
cabang olahraga yang korup.
Kontradiksi terjadi
pada sikap PSSI: berusaha agar FIFA tidak menjatuhkan sanksi terhadap
dirinya, tapi dalam laporannya justru berkali-kali mendorong FIFA menerima
adanya "intervensi" pemerintah terhadap PSSI. Sementara sebelum
menjatuhkan sanksi terhadap PSSI, Menpora telah memperoleh sekian banyak
laporan dari Tim 9 tentang apa yang terjadi di lingkup internal PSSI, baik
dari sudut ideologi, pembinaan, keuangan, legalitas, maupun marketing.
Masukan Tim 9 dan
berbagai pihak membuat Menpora tegar dan siap menerima sanksi FIFA, sementara
PSSI "terjungkal" oleh sikapnya sendiri. Seharusnya, jika PSSI
ingin tetap eksis di lingkungan FIFA, ia tidak mendorong
"intervensi", yang pada dasarnya masih debatable. Inilah konsekuensi dari sikap arogansi, sehingga
sanksi FIFA bagaikan "senjata makan tuan" bagi PSSI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar