PT
Kian Terindustrialisasi
Budiawan ; Dosen Kajian Budaya dan Media, Sekolah
Pascasarjana UGM
|
KOMPAS, 11 Juni 2015
Barangkali hanya di
Indonesia setiap dosen wajib memikul tiga tugas sekaligus, yakni mengajar,
meneliti, dan melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tugas
yang dirumuskan dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi ini wajib dijadikan
napas setiap perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kinerja
seorang dosen dan reputasi sebuah PT pun diukur dari seberapa jauh ketiga
dharma ini dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan proporsional.
Bagi seorang dosen,
tidak ada yang salah dengan konsep Tri Dharma PT. Sebagai pengajar,
bagaimanapun, tugas pertamanya adalah mengajar. Dalam dharma inilah ia mendampingi
mahasiswa dalam proses menjadi individu yang bukan hanya berkecakapan,
sekaligus juga berwawasan dan berintegritas. Agar ilmu yang ia ajarkan
senantiasa terbarui dan semakin kaya, maka melakukan penelitian pun menjadi
kebutuhan yang tak terelakkan. Kemudian agar apa yang ia teliti dan ajarkan
di hadapan mahasiswa itu juga terlihat manfaat praktisnya bagi masyarakat
luas, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi dharma yang bukan
hanya tak bisa dikesampingkan, juga bentuk pertanggungjawaban moral kepada
salah satu pemangku kepentingan utama lembaga PT.
Persoalannya, dalam
kondisi di mana PT yang kian terindustrialisasikan, apakah seorang dosen
dimungkinkan menjalankan tiga dharma itu secara semestinya? Yang saya maksud
dengan PT yang kian terindustrialisasikan adalah pengelolaan PT yang semakin
digerakkan nalar bisnis, yakni "cost
and benefit analysis" secara finansial. Artinya, meski PT tak boleh
menjadi lembaga yang berorientasi mencari laba, tetapi mendapatkan keuntungan
materiil bukanlah hal yang dilarang.
Hal itu bukan hanya
berlaku bagi PT swasta, yang pendanaannya memang hampir 100 persen bergantung
pada uang dari mahasiswa, juga bagi PT negeri. Sebagaimana diketahui, seiring
arus liberalisasi dunia pendidikan tinggi, sebagian PTN di Indonesia ada yang
telah terlebih dahulu
ter-"semiswasta"-kan, dan disusul banyak PTN lain dalam beberapa
tahun belakangan ini. Artinya, jumlah PTN murni, dalam arti yang pendanaan
untuk segala jenis biaya rutin operasional dan pengembangan sarana dan prasarana
pendidikannya sepenuhnya bergantung kepada pemerintah, pun kian berkurang.
Digerakkan nalar bisnis
Salah satu wujud
konkret dari pengelolaan PT yang digerakkan nalar bisnis adalah kebijakan
pembukaan atau penutupan suatu program studi. Berbeda daripada negara-negara
yang kebijakan resmi pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi kebutuhan
jangka sekian puluh tahun ke depan, kebijakan pembukaan dan penutupan suatu
program studi yang terjadi di sebagian besar PT di Indonesia, baik negeri
maupun/apalagi swasta, bergantung pada situasi pasar tenaga kerja.
Maksudnya, bila pasar
tenaga kerja tengah terjadi permintaan yang tinggi akan tenaga kerja dengan
latar belakang keilmuan tertentu, maka PT pun berlomba membuka program studi
dengan keilmuan-keilmuan itu. Sebaliknya, bila permintaan tenaga kerja dengan
latar belakang keilmuan yang lain merosot, maka program-program studi dengan
keilmuan-keilmuan itu pun cenderung ditutup, atau di-merger-kan dengan
program studi lain yang secara formal dianggap berdekatan. Dengan kata lain, suatu program studi
dibuka dan dimekarkan, atau ditutup/merger nyaris semata-mata bergantung
kepada laku-tidaknya program studi tersebut. Hampir-hampir tidak ada
pertimbangan strategis keilmuan sekian puluh tahun ke depan.
Apa konsekuensinya
bagi dosen bila PT dikelola dengan nalar bisnis dan mentalitas "aji
mumpung" itu? Di sinilah konsep mulia Tri Dharma PT menjadi sesuatu yang
nyaris tak mungkin dilaksanakan dengan semestinya.
Satu hal yang hampir
selalu terjadi pada program-program studi yang tengah laku keras adalah tidak
memadainya perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio
dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya, banyak dosen yang beban
mengajarnya serta jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiahnya makin tak masuk
akal. Bisa dibayangkan bila seorang dosen harus mengampu 7-9 mata kuliah per
semester dalam belasan kelas paralel, plus jumlah bimbingan penulisan tugas
ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) yang
mencapai puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melakukan
penelitian dengan semestinya?
Jangankan penelitian,
mengajar dengan semestinya pun belum tentu sanggup. Mengajar pun menjadi
mekanistis, tak ubahnya putar ulang materi yang telah ia susun sekian tahun
sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah bimbingannya pun jelas tak mungkin bisa cermat dan mendalam.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat
mungkin masih sanggup ia lakukan, tetapi barangkali hanya formalitas
sekaligus tak lebih dari sekadar variasi dari rutinitas kegiatan di kampus.
Artinya, Tri Dharma PT
memang bisa berjalan, tetapi tak lebih dari formalitas belaka. Ini bukan
karena para dosen enggan melaksanakannya, tetapi lebih karena akibat kondisi
struktural PT yang semakin digerakkan nalar bisnis.
Hal-hal yang ideal
sering sulit diwujudkan bukan karena hal- hal itu terlalu ideal, tetapi lebih
karena kondisi yang ada tidak mendukung untuk mewujudkannya. Akibatnya, yang
terjadi tak lebih formalitas belaka.
Solusinya ada dua
pilihan: tuntutan yang ideal itu disederhanakan, atau kondisi riil yang ada
dibuat kondusif bagi terwujudnya tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua hanya
mungkin bila kebijakan yang cenderung melepas PT ke dalam mekanisme pasar
direm, dan pemerintah kembali menjadi penanggungjawab utama penyelenggaraan PT.
Yang terjadi sekarang
ini adalah pemerintah menempatkan diri sebagai regulator segala aspek
penyelenggaraan pendidikan tinggi, sembari mengurangi tanggung jawabnya.
Tidaklah mengherankan bila banyak edaran atau surat keputusan atau instruksi
pejabat tinggi dari kementerian yang mengurusi masalah pendidikan tinggi
mentah dalam pelaksanaan di lapangan. Terlalu banyak contohnya untuk
disebutkan di sini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar