Pesantren, Basis Toleransi Beragama
Lukman Hakim Saifuddin ; Menteri
Agama
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2015
KEHADIRAN kaum santri yang lahir
dari poros pondok pesantren selalu mewarnai dinamika kehidupan berbangsa.
Kehidupan bermasyarakat. Kemampuan para santri mewarnai dalam berbagai
jengkal ruang hidup inilah akibat hasil olah pendidikan pesantren yang penuh
dengan vitalitas. Penuh warna.
Pondok pesantren yang ada di
Nusantara ini beragam cirinya, karena setiap kiai memiliki otonomi yang sangat
luas dan kewenangan besar ke arah mana pesantrennya dikembangkan. Ada pondok
pesantren yang mendalami ilmu hadis, tafsir, ilmu alat, dan pada awal 70-an
berkembang pondok pesantren yang diarahkan pada pengembangan keterampilan dan
pertanian.
Namun, di antara keragaman pondok
pesantren di Indonesia ini, ada ciri khusus yang dengan mudah untuk
mengidentifikasi, apakah bangunan pendidikan Islam itu masuk kategori
pesantren atau bukan pesantren.
Tiga ciri khusus
Ciri pertama yang bisa mengidentifi
kasi jati diri pondok pesantren itu bahwa setiap pondok pesantren dalam
mengembangkan Islam selalu mengajarkan paham Islam yang moderat, tasamuh, Islam wasatiyah yang dikenal dengan Islam ahlussunnah waljamaah.
Tasamuh atau toleransi ini menyandarkan pada satu sikap
‘sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling pemaaf.’ Dalam makna yang
umum, tasamuh adalah ‘sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, yakni terdapat
rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan ajaran Islam.'
Itulah salah satu ciri pokok dari
tradisi yang dikembangkan dari lorong pondok pesantren. Sikap tasamuh ini berjalan berkelindan
dengan laku lampah kehidupan sehari-hari. Artinya, jika ada pondok pesantren
yang mengabaikan sikap tasamuh, ia telah mengabaikan ajaran substantif dari
nilai-nilai dasar pondok pesantren itu sendiri.
Dalam lajur sejarah, jauh sebelum
PBB mendesain Declaration of Human
Rights, Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui
`Piagam Madinah' pada 622 Masehi. Pada Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad SAW
meletakkan pilar-pilar dasar bagi keragaman hidup antarumat agama di antara
warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi kaum nonmuslim
dan menghormati peribadatan mereka.
Di tepi lain, ketika umat Islam
berkuasa hampir 700 tahun, pijakan toleransi menjadi kerangka acuan paling
menonjol dalam memperlakukan penduduk pribumi, baik yang beragama Nasrani
maupun Yahudi.Pada titik inilah, toleransi menjadi agregat umat Islam di masa
itu. Tentunya itu harus dijadikan sandaran bagi kehidupan umat Islam masa
kini.
Ciri kedua, pondok pesantren bisa
dideskripsikan bahwa dalam melihat, memahami, lalu menghukumi (membuat hukum)
sesuatu dilandasi kesadaran diri bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki suatu
yang hak mengatakan yang paling benar.
Poin kedua ini ingin menegaskan
kembali identifikasi pondok pesantren, ada jiwa besar yang dikembangkan
meskipun kita meyakini bahwa yang kita pegang itu benar, tapi tetap terbuka
kemungkinan pendapat lain di posisi yang berbeda dan ada potensi kebenaran
juga. Ada jiwa besar dan nilai yang ditanamkan bahwa kebenaran itu tidak
mutlak milik kita saja.
Sikap kebesaran jiwa ini dapat
ditilik dari sosok Imam Syafi'i, ketika ia mengatakan `meskipun aku meyakini
pendapatkulah yang benar', tapi dengan rendah hati ia mengatakan `boleh jadi
pendapat yang aku yakini mengandung hal-hal yang boleh jadi salah. Sebaliknya,
meskipun pendapat orang lain itu salah, tapi boleh jadi yang aku anggap salah
itu di sana termuat ada potensi kebenaran.’
Ciri kedua inilah yang dibangun
dan menjadi tradisi pondok pesantren sehingga para santri dan kiainya tidak
mudah menyalahkan orang lain, mengafirkan sesama. Itulah sesungguhnya yang
dibangun karena pada setiap manusia ada keterbatasan diri, sehingga Allah
menciptakan keberagaman. Keberagaman ialah anugerah Tuhan, dan karena
keterbatasan sehingga bisa saling melengkapi.
Hikmah lain yang bisa dipetik dari
ciri kedua ini bahwa di balik keragaman, ialah salah satu cara memudahkan kita
mencari pandangan lain. Cara kita menyikapi keragaman dengan cara tawasut, tawazun bukan saling
menegasikan satu sama lain. Keragaman harus dilihat dengan kelembutan dan
kasih sayang. Pondok pesantren memiliki kontribusi dalam pembentukan karakter
Islam.
Ciri ketiga, pondok pesantren
mengajarkan santrinya untuk wajib mencintai Tanah Air. Sikap cinta Tanah Air
ini sebagai representasi dari ajaran hubbul wathan minal iman, cinta Tanah
Air itu sebagian dari iman. Hanya di daerah atau negara yang tidak bergolak,
yang penuh damai, nilai dalam syariat Islam bisa ditegakkan.
Jadi, syarat untuk menunaikan
ajaran Islam ialah kondisi negara yang aman. Itulah mengapa cinta Tanah Air
bagian dari iman. Nasionalisme ditanamkan di pondok pesantren.
Ketiga ciri inilah menjadi bagian
integral dari kehidupan dunia pesantren. Tentu saja, tiga ciri tersebut akan
memperkuat para santri menghadapi dunia luar. Para santri perlu membuka
keran-keran dunia luar untuk beradaptasi secara alamiah demi kemajuan
bernegara dan berbangsa.
Seperti ditegaskan intelektual
Islam, Azyumardi Azra dalam kata pengantar buku Nurcholish Madjid,
Bilik-bilik Pesantren, bahwa pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada
pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih
responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Pikiran yang dikembangkan
Azyumardi menegaskan kembali bahwa pondok pesantren dengan tiga ciri khusus
tersebut harus terus-menerus merespons perubahan zaman di luar dirinya.
Kemampuan merespons pengembangan
dunia dan substansi pendidikan pesantren dengan tiga ciri khususnya, tampak
tumbuh subur dalam Perkemahan Pramuka Santri Nusantara, di Tambang Ulang,
Tanah Laut, Pelaihari, Kalimantan Selatan, awal bulan ini. Itu artinya, apa
yang pernah diungkap Clifford Geertz bahwa santri selalu ditandai ketaatan
pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi di luar
dirinya, menemukan bentuknya.
Untuk itu, seruan #AyoMondok yang pernah menjadi booming dua pekan silam di ranah media
sosial bukanlah sekadar basa-basi. #AyoMondok
adalah satu seruan bahwa dunia pesantren adalah hutan belantara ilmu
pengetahuan dan satu bentuk nyata penanaman pada diri untuk bersikap tasamuh, toleran, menghargai perbedaan
pandangan, dan menabur semangat nasionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar