Pasar Ukaz dan Laboratorium Sosial Sekolah
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2015
SAYA terpana dengan jawaban lebih dari 100
guru agama yang menghadiri dialog tentang radikalisme di kalangan anak muda,
yang semuanya tak paham dan familier dengan Pasar Ukaz. Demikian juga ketika
saya bertanya, ada berapa banyak guru yang sudah memanfaatkan pasar sebagai
laboratorium sosial bagi proses belajar mengajar di sekolah? Hampir rata-rata
guru tak pernah memanfaatkan media belajar pasar sebagai basis aktivitas
pembelajaran mereka. Minimnya kreativitas semacam itu jelas sekali
berpengaruh terhadap daya tangkap dan kepekaan siswa secara sosial, terutama
dalam memahami realitas yang terjadi di sekitar mereka.
Jika guru-guru kita hanya mengenal pasar
sebagai tempat transaksi jual beli biasa, berbeda dengan orang-orang Arab
klasik yang mengenal fungsi pasar tidak hanya sebatas itu saja. Jika
orang-orang abad modern ini memahami bahwa pasar itu dibuka setiap hari, beda
lagi dengan orang-orang Arab kuno, pasar itu bisa jadi hanya berlangsung satu
tahun sekali. Pasar yang paling terkenal bagi bangsa Arab kuno ialah Pasar
Ukaz, tempat para pedagang dan pebisnis mengadakan transaksi jual beli. Para
politikus mengadakan lobi-lobi penting. Mereka merundingkan perdamaian,
persekutuan, atau bahkan membicarakan rencana peperangan. Di Pasar Ukaz pula
para penyair dan orator unjuk kemampuan, membacakan untaian kalimat indah
yang mereka susun, sekaligus mengungkapkan isu-isu hangat yang sedang
terjadi.
Harap diingat, di Pasar Ukaz inilah Nabi
Muhammad belajar nilai-nilai moral sejak kecil sehingga ketika menerima misi
kenabian di kemudian hari, Nabi Muhammad dikenal karena keluhuran budi
pekertinya. Di pasar ada jutaan niat, motivasi, dan karakter orang. Mulai
dari yang culas dan pemalas, rajin dan pandai, jujur dan khianat, serta setia
dan bijaksana. Karena itu, sebagai sebuah laboratorium sosial bagi sekolah,
posisi pasar adakah krusial bagi seluruh skema belajar mengajar yang akan
diterapkan para guru dengan tidak membatasi diri pada ruang kelas. Kekayaan
nilai-nilai moral di pasar perlu diperkenalkan kepada para siswa secara
langsung karena dengan begitu, siswa dapat memiliki kepekaan jiwa terhadap
semua bentuk kecurangan yang terjadi di sekitar mereka.
Kekeringan moral yang terjadi di tengah
masyarakat saat ini, menurut saya, karena proses belajar yang membenturkan
persoalan keseharian seperti yang terjadi di pasar, jarang diperlihatkan dan
dialami secara nyata oleh siswa.Karena itu, pantaslah jika saat ini kita
seperti mengalami kelumpuhan moral yang luar biasa, terutama jika dilihat
dari konteks proses pendidikan. Risih dan prihatin ialah dua kata yang tepat
untuk menggambarkan betapa sumirnya problem moralitas dipahami dan diajarkan
di sekolah anak-anak kita.
Ada sekolah yang mencoba menegakkan kejujuran
dikatakan sok idealis, karena melanggar kesopanan terhadap atasan dan budaya
patuh terhadap yang dituakan. Ada begitu banyak guru dan kepala sekolah yang
ke hilangan pegangan moral tentang kejujuran, karena dipaksa sistem
pendidikan yang menginginkan kelulusan ialah segalanya bagi mereka.Tak
sedikit orangtua yang kalap ketika melihat anaknya tak lulus sambil
menyalahkan sekolah yang dianggapnya tak memiliki kepekaan terhadap keinginan
orangtua yang telah menghabiskan banyak biaya agar anaknya lulus ujian.
Tak sedikit dari guru dan orangtua saat ini
terseret dalam perilaku menyimpang karena menolak kebenaran dan kejujuran
yang seharusnya mereka dukung. Berlaku jujur dan tegas saat ini seperti peri
laku tercela yang harus bisa ditoleransi semua orang. Karena itu, ada baiknya
jika setiap sekolah di Tanah Air mulai mengeksplorasi persoalan moral bukan
hanya dari buku teks dan ceramah agama, tetapi juga dengan mengajak para
siswa untuk melihat dan mengalami secara langsung apa yang sebenarnya
terjadi, misalnya, di dalam sebuah pasar. Caranya?
Ada banyak kreativitas guru di Sekolah Sukma
Bangsa (SSB) Aceh yang bisa ditiru.Salah satunya, ketika tiga hingga empat
guru bidang studi membentuk team
teaching yang terdiri dari guru agama, ekonomi, geografi, dan sosiologi.
Dengan bermodalkan Rp800 ribu dari skema class project fund yang dimiliki para guru (setiap orang punya Rp200
ribu), keempat guru kemudian membagi siswa di kelas mereka menjadi 6-8
kelompok dengan tugas yang diskenariokan terlebih dahulu.
Pada pertemuan pertama, setiap kelompok
diminta untuk membuat peta buta tentang perjalanan dari sekolah menuju pasar
tradisional. Setelah itu, para siswa diminta membuat peta para penjual cabai
dan bawang di seluruh area pasar. Ketika anak-anak kembali ke ruang kelas,
masing-masing mempresentasikan peta mereka, termasuk titik-titik tempat para
pedagang cabai dan bawang berlokasi.
Pada pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya,
anakanak dengan kelompoknya membeli cabai dan bawang masing-masing 1 ons pada
semua pedagang yang ada di pasar tersebut. Setelah mereka kembali ke kelas,
cabai dan bawang yang mereka beli kemudian ditimbang ulang dengan menggunakan
timbangan standar dari Kementerian Perdagangan yang telah disertifikasi.
Kira-kira bagaimana hasil timbangan cabai dan bawang yang mereka beli di
pasar? Pasti kita akan terkejut, karena rata-rata pedagang di pasar ternyata
memiliki perbedaan timbangan yang menunjukkan mana pedagang yang jujur,
culas, dan seenaknya mengatur harga.
Hasil dari timbangan dan harga yang diperoleh
siswa, kemudian akan menjadi diskusi menarik di antara guru, siswa, dan
orangtua tentang nilai-nilai moral pedagang yang sesungguhnya. Ketika nilai
kejujuran dan kebohongan ditemukan pada pedagang tertentu, di sanalah bidang
studi agama dan sosiologi bisa dieksplorasi menjadi bahan diskusi. Ketika
peta dan perbedaan harga ditunjukkan, di situlah bidang studi ekonomi dan
geografi bisa mengeksplorasi kenapa dan mengapa bisa terjadi perbedaan harga,
padahal pasarnya sama.
Harga cabai dan bawang jika dikaitkan dengan kejujuran
dan kebohongan, pastilah akan membawa imajinasi anakanak menerawang jauh ke
dasar nurani mereka. Betapa sulit memang menjadi orang yang jujur.
Selain pasar, ada banyak laboratorium sosial
sekolah yang ada di sekitar kita dan dapat menjadi media belajar anak-anak
secara interaktif.Sebutlah misalnya kantor polisi, puskesmas, rumah sakit,
panti jompo, masjid, gereja, kuil, dan sebagainya. Semuanya penuh dengan
ilustrasi sosial, keagamaan, budaya, dan kebiasaan yang dapat dipetik
anak-anak kita sebagai nilainilai moral yang harus mereka junjung tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar