Merebut
Kembali Kepercayaan Pasar
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Pemerintah telah
mencanangkan pendanaan industri perbankan ke kredit sektor maritim, yang
didengungkan di Ambon. Sementara itu, Presiden Joko Widodo juga getol
mempercepat penyelesaian proyek infrastruktur. Meski demikian, nilai tukar
rupiah bergeming, tidak kunjung menguat. Rupiah bahkan melemah, melampaui Rp
13.200 per dollar AS pada pekan lalu. Apa yang terjadi?
Dari sisi eksternal,
telah terjadi penguatan sentimen terhadap perekonomian Amerika Serikat (AS).
Tingkat pengangguran di AS kini 5,4 persen. Angka ini memang belum mencapai
titik normal perekonomian AS sebesar 4 persen, tetapi sudah jauh lebih rendah
dibandingkan dengan 10 persen pada 2009.
Perekonomian AS
sebenarnya juga menghadapi dilema. Di satu pihak, mereka ingin menaikkan suku
bunga karena kondisi perekonomian mulai normal. Namun, jika hal itu
dilakukan, dollar AS akan menguat. Jika terlalu kuat, dampaknya justru
negatif terhadap daya saing produk AS. Itulah sebabnya, nilai tukar dollar AS
(sebaliknya juga kurs rupiah) akhir-akhir ini cenderung fluktuatif.
Dari sisi internal,
rupiah juga terkena imbas sentimen negatif. Jika mengikuti real effective
exchange rate (REER), atau nilai tukar yang secara obyektif didasarkan pada
fundamental ekonomi, mestinya rupiah bisa Rp 12.500 per dollar AS. Namun,
karena tidak ada sentimen positif yang cukup besar, rupiah tidak bisa
bertengger pada nilai tukar sesuai potensinya.
Oleh karena itu,
pemerintahan Jokowi harus merebut simpati pasar. Pasar harus diyakinkan bahwa
pemerintah layak mendapatkan kepercayaan. Upaya mendorong proyek-proyek
infrastruktur merupakan hal yang diharapkan bisa menumbuhkan sentimen positif
tersebut. Namun, karena proyek infrastruktur bersifat jangka
menengah-panjang, hasilnya tidak bisa segera dinikmati secara instan.
Pemerintah
mencanangkan kredit maritim untuk menerjemahkan visi Presiden Jokowi tentang
negara maritim, poros maritim, dan ”tol laut”. Kesadaran negara maritim
didasarkan pada kenyataan, Indonesia mengalami beban biaya logistik yang
tinggi, melebihi negara-negara tetangga. Hal ini menyebabkan inflasi
Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan para kompetitor, yang inflasinya rata-rata
di bawah 5 persen.
Untuk mengatasinya,
selain diperlukan lebih banyak jalan tol di Jawa dan pulau-pulau lain,
termasuk Papua, juga perlu dibangun pelabuhan laut yang lebih besar. Jika
kapal-kapal besar beroperasi, skala ekonomi akan tercapai.
Keberadaan pelabuhan
yang lebih banyak dan besar juga akan mengurangi beban pelabuhan-pelabuhan
yang sudah ada. Di Pelabuhan Tanjung Priok yang kini sudah kelebihan muatan,
kontainer harus menunggu tujuh hari sebelum mendapat giliran berlayar (dwelling time). Di Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya, angkanya sedikit lebih baik, yakni empat hari. Namun, ini
jelas tidak kompetitif dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand,
yang waktu antrenya 1-3 hari.
Pekan lalu, saya
berkunjung ke PT Pelabuhan III (Persero) di Surabaya. Perusahaan ini tengah
bersemangat karena kinerjanya baik, antara lain laba tahun lalu Rp 1,6
triliun. Perusahaan ini berencana membangun pelabuhan baru di Gresik, Jawa
Timur. Gresik dipilih karena memiliki potensi besar sebagai daerah industri.
Dana yang diperlukan untuk membangun pelabuhan baru itu mencapai Rp 20
triliun.
Dari mana asal uang
sebesar itu? Dengan mengandalkan kemampuan memperoleh laba, PT Pelabuhan III
bisa menerbitkan obligasi internasional dengan imbal hasil 4,8 persen. Adapun
jika didanai kredit perbankan lokal, bunganya mencapai 11-12 persen.
Inilah salah satu
persoalan besar pendanaan infrastruktur Indonesia: jika didanai sumber
domestik bunganya 12 persen, sedangkan jika didanai internasional hanya
memerlukan ongkos di bawah 5 persen. Haruskah kita hanya meminjam dari sumber
pendanaan internasional? Tentu saja tidak.
Utang dari sumber dana
internasional akan menambah beban di kemudian hari. Utang luar negeri kita
kini nyaris 300 miliar dollar AS. Cadangan devisa kita 109 miliar dollar AS.
Secara matematis, rasionya masih bisa disebut aman. Namun, kita tidak boleh
terus-menerus memberi toleransi tambahan utang luar negeri.
Sementara itu, saya
juga mendapat informasi menarik dari pengusaha garam di Surabaya. Upaya pemerintah
untuk swasembada garam memang layak diapresiasi. Namun, harus diingat, hal
itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Industri garam mensyaratkan
hamparan pantai yang datar dan luas, agar skala ekonomi tercapai. Perlu upaya
besar untuk mencari pantai yang datar dan luas untuk dijadikan lahan garam
besar-besaran. Hal itu pasti bisa dilaksanakan, tetapi memakan waktu, sebelum
kita bisa menghentikan impor garam dari India dan Australia.
Kesimpulannya,
industri sektor maritim yang digagas Presiden Jokowi memang potensial, tetapi
perlu waktu dan perjuangan keras sebelum dapat mewujudkannya. Tidak ada hal
yang instan dalam membangun perekonomian berkelanjutan. Itulah masalah
terbesar Jokowi dan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar