Mengawasi Proyek Parlemen
Tasroh ; Ahli Pengadaan Barang-Jasa Pemkab Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
|
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2015
MULAI 2016 nanti, para
wakil rakyat kita tampaknya akan memiliki kuasa untuk menggelar ‘proyek’
fisik parlemen sendiri. Hal itu sesuai dengan perkembangan terakhir dalam
RAPBN 2016 yang sedang diperdebatkan eksekutif dan legislatif akhir-akhir
ini.
Kita lihat serangkaian
pengajuan ‘proyek’ DPR terkini seperti ‘proyek’ dana aspirasi yang sudah
dicanangkan per anggota DPR akan mendapatkan Rp 20 miliar. Jadi untuk 560
anggota DPR, APBN harus menggelontorkan sebanyak Rp11,20 triliun untuk dan
atas nama ‘proyek’ dana aspirasi para wakil rakyat.
Para wakil rakyat dari
kelompok ‘utusan daerah’ atau DPD pun tak mau ketinggalan banjir proyek.
Untuk dan atas nama ‘penyerapan aspirasi’ rakyat di daerah pula, para anggota
DPD telah menggelar ‘proyek’ pembangunan gedung dan fasilitas fisik lainnya
di 23 provinsi di seluruh Indonesia sesuai dengan asal-usul para anggota DPD
sekarang ini. Tak tanggung-tanggung, anggaran yang disediakan di tiap pemda
Rp10 miliar-Rp20 miliar! (Kompas, 15/6).
Gelagat ‘bagi-bagi
proyek’ yang sedang terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK ini berpotensi tak
hanya melanggar regulasi negara terkait dengan pengadaan barang-jasa
pemerintah sesuai dengan Perpres Nomor 54/2010, tetapi juga secara faktual
para wakil rakyat sedang menggali kuburnya sendiri karena secara sengaja
telah terlibat langsung dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, bahkan
pengawasan ‘proyek-proyek’ fisik berupa pembangunan gedung, sarana, dan
fasilitas material untuk dan atas nama proyek parlemen.
Disebut demikian
lantaran sesuai dengan UU Nomor 27/2014 tentang APBN, tegas disebutkan bahwa
baik langsung ataupun tidak, wakil rakyat dilarang untuk terlibat dalam
proyek-proyek pemerintahan baik di legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif
(pasal 29). Namun, yang terjadi belakangan ini para wakil rakyat (baik di
DPR, DPD, ataupun DPRD) seolah tak paham aturan sehingga kini justru sibuk
mengurusi proyek-proyek fisik khususnya untuk dan atas nama ‘penyerapan
aspirasi’ rakyat. Di daerah pun, APBD pemerintah daerah mulai
dikavling-kavling para wakil rakyat di daerah dengan alasan serupa: proyek
untuk aspirasi rakyat!
Proyek
sesat!
Pakar politik Amerika
yang sering mengkaji persoalan-persoalan politik kawasan Asia Pasifik,
William Liddle, dalam Beyond Political
Foes (2009) menyebutkan perilaku anggota parlemen di negara-negara
miskin-berkembang sejatinya menjadi `musuh baru' bagi wibawa dan martabat
parlemen/legislatif itu sendiri. Mengapa? Karena dua hal.
Pertama, berkembangnya
tindakan sesat dan menyesatkan. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, para
wakil rakyat di mana pun di seluruh dunia hakikatnya harus bertugas
`mengawasi', memonitor, dan merumuskan regulasi negara' secara jujur, adil,
dan profesional.
Atas dasar hal
tersebut, sungguh menyesatkan ketika para wakil rakyat justru sibuk mengurusi
proyek-proyek fisik yang bukan hanya tindakan sesat sebagai wakil rakyat yang
semestinya tidak melibatkan diri dalam proyek-proyek yang menjadi tugas dan
fungsi eksekutif, tetapi juga berpotensi terjadinya `kongkalikong'
eksekutif-legislatif yang akan merusak bangunan sistem relasi kerja eksekutif-legislatif
itu sendiri.
Kedua, merusak citra,
kredibilitas, dan profesionalisme kerja-kerja parlemen. Keterlibatan
(langsung atau tidak) para wakil rakyat dalam proyek-proyek pemerintahan
selama ini terbukti tidak hanya telah merusak citra dan kredibilitas wakil
rakyat di mata rakyatnya. Itu juga menunjukkan para wakil rakyat mulai
kehilangan mandat dan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Bahkan lebih parah,
seperti disebutkan aktivis pemantau anggaran negara Ucok Sky Khadafi (2015),
pengajuan proyek-proyek parlemen seperti dana aspirasi, dana pembangunan
gedung, dan fasilitas parlemen yang baru yang nilainya sebanding dengan APBD
tiga provinsi di Indonesia hanya untuk segelintir wakil rakyat menunjukkan
bahwa proyek-proyek fisik itu telah `menyesatkan' visi dan tujuan keberadaan
wakil rakyat itu. Wakil rakyat semestinya bertugas untuk mengawasi
proyek-proyek pemerintah agar berjalan efektif, efisien, dan produktif serta
jauh dari praktik busuk KKN, tetapi justru kini mulai dipenuhi dan untuk
kepentingan wakil rakyat itu sendiri.
Lebih tragis kini
berkembang tren busuk baru pascapara wakil rakyat mulai ‘dilarang keras’
terlibat dalam ‘proyek-proyek’ di sejumlah kementerian dan BUMN, mereka mulai
berani mengajukan proyek fisik sendiri dengan nilai yang fantastis. Proyek fisik
dijadikan ‘sasaran baru’ bagi para wakil rakyat karena ‘mudah diuangkan’,
mudah cair dalam waktu singkat, serta mudah dipertanggungjawabkan secara
keuangan. Proyek fisik juga mudah dihitung dan lebih cepat mendapatkan ‘bagi
hasil’. Biasanya jauh sebelum proyek dijalankan, para pihak sudah menghitung
‘siapa mendapatkan apa dan berapa’ dan kapan bagi hasil (untung) sisa proyek
dapat dinikmati para pihak.
Dalam konteks
perburuan untung, seperti disebutkan William Liddle, para wakil rakyat yang
terlibat dalam pengadaan barang jasa (biasanya mereka lebih suka berada di
luar layar—red) yang nilainya sangat menggiurkan dalam sekejap akan melakukan
kekuasaan politik bisnis apa pun demi pencapaian keuntungan (ekonomi)
setinggi-tingginya.
Kasus proyek di
Pemprov DKI yang berawal dari kasus pengadaan UPS di sejumlah sekolah yang
kini sedang disidik aparat hukum, dan sejumlah kasus proyek fisik di pemda
lainnya, merefleksikan berkembangnya tindakan wakil rakyat yang kini mulai
‘merangsek’ ke berbagai proyek di berbagai instansi/lembaga publik.
Kerakusan dan keberingasan
para wakil rakyat untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proyek-proyek
fisik demikian tentu beralasan politik bisnis masing-masing. Tidak hanya
sebagai upaya untuk mengembalikan modal politik ketika mereka menjadi wakil
rakyat, hal itu terbukti telah menyita perhatian wakil rakyat pada tugas
pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Agenda desain regulasi dan
legislasi akhirnya mangkrak tak terurus serius karena waktu, tenaga, pikiran,
dan perhatian wakil rakyat habis mengurusi pekerjaan ‘sampingan’ yang jauh
dari tugas sebagai wakil rakyat!
Oleh karena itu,
sebelum praktik ‘proyekisasi’ parlemen itu berlanjut di masa datang, rakyat
wajib mengawasi proyek parlemen serta semestinya pemerintah, khususnya
kalangan yudikatif, mengingatkan sekaligus mencegah tindakan para wakil
rakyat tersebut agar tidak bertindak bodoh dengan sibuk menggelar
proyek-proyek di parlemen dengan dan untuk atas nama apa pun.
Para wakil rakyat
harus kembali ke fitrahnya sebagai watch
dogs proyek penyelenggaraan negara, termasuk meneguhnya tugas pokok dan
fungsi checks and balances pada
eksekutif. Para wakil rakyat semestinya kian cerdas dan tidak terjerembap
dengan iming-iming proyek fisik demikian. Bukan tidak mungkin para wakil
rakyat sedang ‘dininabobokan’ pemerintah di saat semua kehendak pengajuan
anggaran parlemen disetujui dengan harapan wakil rakyat kembali menjadi
burung beo sehingga hilanglah kritisisme dan kepekaan sebagai aspirator
rakyat. Jika itu yang terjadi, eksistensi wakil rakyat dan parlemen hanya
menambah beban negara dan rakyat menuju kebangkrutan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar