Senin, 22 Juni 2015

Mengawasi Proyek Parlemen

Mengawasi Proyek Parlemen

Tasroh ;   Ahli Pengadaan Barang-Jasa Pemkab Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MULAI 2016 nanti, para wakil rakyat kita tampaknya akan memiliki kuasa untuk menggelar ‘proyek’ fisik parlemen sendiri. Hal itu sesuai dengan perkembangan terakhir dalam RAPBN 2016 yang sedang diperdebatkan eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini.

Kita lihat serangkaian pengajuan ‘proyek’ DPR terkini seperti ‘proyek’ dana aspirasi yang sudah dicanangkan per anggota DPR akan mendapatkan Rp 20 miliar. Jadi untuk 560 anggota DPR, APBN harus menggelontorkan sebanyak Rp11,20 triliun untuk dan atas nama ‘proyek’ dana aspirasi para wakil rakyat.

Para wakil rakyat dari kelompok ‘utusan daerah’ atau DPD pun tak mau ketinggalan banjir proyek. Untuk dan atas nama ‘penyerapan aspirasi’ rakyat di daerah pula, para anggota DPD telah menggelar ‘proyek’ pembangunan gedung dan fasilitas fisik lainnya di 23 provinsi di seluruh Indonesia sesuai dengan asal-usul para anggota DPD sekarang ini. Tak tanggung-tanggung, anggaran yang disediakan di tiap pemda Rp10 miliar-Rp20 miliar! (Kompas, 15/6).

Gelagat ‘bagi-bagi proyek’ yang sedang terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK ini berpotensi tak hanya melanggar regulasi negara terkait dengan pengadaan barang-jasa pemerintah sesuai dengan Perpres Nomor 54/2010, tetapi juga secara faktual para wakil rakyat sedang menggali kuburnya sendiri karena secara sengaja telah terlibat langsung dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, bahkan pengawasan ‘proyek-proyek’ fisik berupa pembangunan gedung, sarana, dan fasilitas material untuk dan atas nama proyek parlemen.

Disebut demikian lantaran sesuai dengan UU Nomor 27/2014 tentang APBN, tegas disebutkan bahwa baik langsung ataupun tidak, wakil rakyat dilarang untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintahan baik di legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif (pasal 29). Namun, yang terjadi belakangan ini para wakil rakyat (baik di DPR, DPD, ataupun DPRD) seolah tak paham aturan sehingga kini justru sibuk mengurusi proyek-proyek fisik khususnya untuk dan atas nama ‘penyerapan aspirasi’ rakyat. Di daerah pun, APBD pemerintah daerah mulai dikavling-kavling para wakil rakyat di daerah dengan alasan serupa: proyek untuk aspirasi rakyat!

Proyek sesat!

Pakar politik Amerika yang sering mengkaji persoalan-persoalan politik kawasan Asia Pasifik, William Liddle, dalam Beyond Political Foes (2009) menyebutkan perilaku anggota parlemen di negara-negara miskin-berkembang sejatinya menjadi `musuh baru' bagi wibawa dan martabat parlemen/legislatif itu sendiri. Mengapa? Karena dua hal.

Pertama, berkembangnya tindakan sesat dan menyesatkan. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, para wakil rakyat di mana pun di seluruh dunia hakikatnya harus bertugas `mengawasi', memonitor, dan merumuskan regulasi negara' secara jujur, adil, dan profesional.

Atas dasar hal tersebut, sungguh menyesatkan ketika para wakil rakyat justru sibuk mengurusi proyek-proyek fisik yang bukan hanya tindakan sesat sebagai wakil rakyat yang semestinya tidak melibatkan diri dalam proyek-proyek yang menjadi tugas dan fungsi eksekutif, tetapi juga berpotensi terjadinya `kongkalikong' eksekutif-legislatif yang akan merusak bangunan sistem relasi kerja eksekutif-legislatif itu sendiri.


Kedua, merusak citra, kredibilitas, dan profesionalisme kerja-kerja parlemen. Keterlibatan (langsung atau tidak) para wakil rakyat dalam proyek-proyek pemerintahan selama ini terbukti tidak hanya telah merusak citra dan kredibilitas wakil rakyat di mata rakyatnya. Itu juga menunjukkan para wakil rakyat mulai kehilangan mandat dan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Bahkan lebih parah, seperti disebutkan aktivis pemantau anggaran negara Ucok Sky Khadafi (2015), pengajuan proyek-proyek parlemen seperti dana aspirasi, dana pembangunan gedung, dan fasilitas parlemen yang baru yang nilainya sebanding dengan APBD tiga provinsi di Indonesia hanya untuk segelintir wakil rakyat menunjukkan bahwa proyek-proyek fisik itu telah `menyesatkan' visi dan tujuan keberadaan wakil rakyat itu. Wakil rakyat semestinya bertugas untuk mengawasi proyek-proyek pemerintah agar berjalan efektif, efisien, dan produktif serta jauh dari praktik busuk KKN, tetapi justru kini mulai dipenuhi dan untuk kepentingan wakil rakyat itu sendiri.

Lebih tragis kini berkembang tren busuk baru pascapara wakil rakyat mulai ‘dilarang keras’ terlibat dalam ‘proyek-proyek’ di sejumlah kementerian dan BUMN, mereka mulai berani mengajukan proyek fisik sendiri dengan nilai yang fantastis. Proyek fisik dijadikan ‘sasaran baru’ bagi para wakil rakyat karena ‘mudah diuangkan’, mudah cair dalam waktu singkat, serta mudah dipertanggungjawabkan secara keuangan. Proyek fisik juga mudah dihitung dan lebih cepat mendapatkan ‘bagi hasil’. Biasanya jauh sebelum proyek dijalankan, para pihak sudah menghitung ‘siapa mendapatkan apa dan berapa’ dan kapan bagi hasil (untung) sisa proyek dapat dinikmati para pihak.

Dalam konteks perburuan untung, seperti disebutkan William Liddle, para wakil rakyat yang terlibat dalam pengadaan barang jasa (biasanya mereka lebih suka berada di luar layar—red) yang nilainya sangat menggiurkan dalam sekejap akan melakukan kekuasaan politik bisnis apa pun demi pencapaian keuntungan (ekonomi) setinggi-tingginya.

Kasus proyek di Pemprov DKI yang berawal dari kasus pengadaan UPS di sejumlah sekolah yang kini sedang disidik aparat hukum, dan sejumlah kasus proyek fisik di pemda lainnya, merefleksikan berkembangnya tindakan wakil rakyat yang kini mulai ‘merangsek’ ke berbagai proyek di berbagai instansi/lembaga publik.

Kerakusan dan keberingasan para wakil rakyat untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proyek-proyek fisik demikian tentu beralasan politik bisnis masing-masing. Tidak hanya sebagai upaya untuk mengembalikan modal politik ketika mereka menjadi wakil rakyat, hal itu terbukti telah menyita perhatian wakil rakyat pada tugas pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Agenda desain regulasi dan legislasi akhirnya mangkrak tak terurus serius karena waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian wakil rakyat habis mengurusi pekerjaan ‘sampingan’ yang jauh dari tugas sebagai wakil rakyat!

Oleh karena itu, sebelum praktik ‘proyekisasi’ parlemen itu berlanjut di masa datang, rakyat wajib mengawasi proyek parlemen serta semestinya pemerintah, khususnya kalangan yudikatif, mengingatkan sekaligus mencegah tindakan para wakil rakyat tersebut agar tidak bertindak bodoh dengan sibuk menggelar proyek-proyek di parlemen dengan dan untuk atas nama apa pun.

Para wakil rakyat harus kembali ke fitrahnya sebagai watch dogs proyek penyelenggaraan negara, termasuk meneguhnya tugas pokok dan fungsi checks and balances pada eksekutif. Para wakil rakyat semestinya kian cerdas dan tidak terjerembap dengan iming-iming proyek fisik demikian. Bukan tidak mungkin para wakil rakyat sedang ‘dininabobokan’ pemerintah di saat semua kehendak pengajuan anggaran parlemen disetujui dengan harapan wakil rakyat kembali menjadi burung beo sehingga hilanglah kritisisme dan kepekaan sebagai aspirator rakyat. Jika itu yang terjadi, eksistensi wakil rakyat dan parlemen hanya menambah beban negara dan rakyat menuju kebangkrutan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar