Lagu
Anak
Purnawan Andra ; Staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
Kemendikbud
|
KORAN TEMPO, 03 Juni 2015
Harus diakui, lagu
anak di industri musik Tanah Air saat ini tidak mendapat porsi penting.
Setelah para penyanyi cilik macam Trio Kwek-kwek, Joshua, Tasya, dan Sherina
beranjak dewasa, tidak banyak lagi muncul lagu-lagu dengan nada dan lirik
yang sesuai dengan kemampuan anak dalam mengapresiasi musik. Anak-anak masa
kini tidak lagi belajar membaca dan berhitung, bermain dan menari, serta
mengembangkan logika, nalar, dan emosi melalui lagu-lagu yang sesuai dengan
dunia mereka. Mereka justru lebih mengenal lagu-lagu populer milik band Wali,
Repvblik, hingga Cita Citata yang bertema kerinduan, jatuh cinta, hingga
perselingkuhan. Hal ini tentu saja tidak pas untuk dikonsumsi telinga dan
imajinasi anak.
Anak-anak belum
sepantasnya mengerti istilah asmara dan cinta, apalagi memahami cerita
"Bang Toyib yang tak pulang-pulang", banyak minum
"oplosan" karena pengkhianatan hati kekasihnya. Judul, lirik,
ataupun tema lagu-lagu semacam ini membuat anak menjadi dewasa sebelum
waktunya.
Lagu-lagu musikus
sekarang berada dalam arus komersialisasi budaya yang cenderung mengikuti
tren konsumsi masyarakat. Arus ekonomi pasar cenderung dibaca sebagai pasar
bagi musik industri di Indonesia. Masyarakat, terutama anak-anak, belum
ditempatkan sebagai entitas masa depan bangsa yang perlu disokong dengan
nilai-nilai sosial budaya yang reflektif dan kontekstual.
Akibatnya, lagu-lagu
itu mengalami degradasi nilai sebagai sebuah ekspresi musikal dan produk
kebudayaan. Padahal musik, dengan tempo, dinamika, ritme, hingga alur
melodinya, merupakan sebuah komposisi yang mampu mempengaruhi psikologi
seseorang. Kita tahu musik klasik menjadi sarana terapi kesehatan bagi janin
ibu hamil. Lirik lagu juga bagai pedang bermata dua. Ia menjadi pilihan kata
yang ekspresif serta mampu merangkum maksud dan menyampaikan suatu pesan
sekaligus. Contohnya, musik dan lirik lagu-lagu dari grup musik The Doors dengan Jim Morisson-nya
menjadi suatu bentuk gerakan politik (dan) kebudayaan pada era 1970-an.
Karena itu, lagu anak
dengan lirik yang sesuai dengan usia dan psikologi anak akan mampu membantu
membiakkan perkembangan mental mereka secara positif. Dengan kemasan yang
tepat dan cerdas, berbagai tema bisa disampaikan, dari persahabatan, kasih
sayang, alam lingkungan, hingga patriotisme. Lagu anak juga bisa menjadi
media pembelajaran dengan mengangkat tema kontekstual yang berkaitan dengan
problema anak masa kini, misalnya soal pentingnya mengucap kata
"tolong" dan "terima kasih".
Sebuah
lagu bisa menjadi kekuatan penting bagi proses konstruksi kesadaran dan
identitas anak sebagai pribadi sekaligus sebagai bagian dari masa depan
bangsa. Dengan potensialitasnya, musik hendaknya tidak melupakan sebuah fase
produktif masa kanak-kanak yang ceria, murni, dan penuh warna. Jangan sampai
lagu anak terpinggirkan dalam logika yang hanya memandang musik sebagai
sebuah industri potensial yang mampu menjaring massa dan kapital. Sebuah lagu
anak perlu dipahami sebagai sebuah kekuatan musikal dan penanda kebudayaan
yang potensial. Bahkan, lebih jauh, musik sepantasnya ditempatkan sebagai
bagian dari strategi kebudayaan nasional demi masa depan bangsa yang lebih
baik, bukan hanya demi bentuk banalitas budaya seperti yang terjadi selama
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar