Kepala
Daerah di NKRI
Miftah Thoha ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Anggota Dewan Kelautan Indonesia (Dekin)
|
KOMPAS, 08 Juni 2015
Sebentar lagi, bulan
Desember 2015, akan dilaksanakan tahap pertama pemilihan kepala daerah
serentak di Indonesia. Sekarang ini
pemerintah telah menetapkan dua macam
pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum nasional memilih presiden kepala
negara badan pemerintahan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua, pemilihan umum daerah (local election day) yang memilih
kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota, dan mestinya juga
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah mulai dari UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004, dan
UU No 23 Tahun 2014 menyebutkan, kepala daerah itu diajukan sebagai calon
oleh partai politik atau gabungan dari partai politik dan yang memahami
kondisi daerahnya, artinya calon harus minimal berasal dari daerah tersebut
dan dari parpol.
Adakalanya juga yang
mewakili dirinya sendiri atau dari golongan independen. Jadi kita nanti akan
memilih calon-calon dari partai politik dan orang daerah. Calon harus dari
orang daerah supaya memahami betul kondisi dan adat istiadat daerah. Sementara
itu, negara kita ini adalah negara kesatuan yang kepentingan nasional dan
pemahaman kondisi dan masalah-masalah nasionalnya tidak bisa diabaikan oleh
syarat calon.
Namun, dalam UU
Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa wakil pemerintah pusat yang melaksanakan
kepentingan pemerintah pusat hanya jabatan gubernur dan kepala kanwil yang
mewakili kewenangan absolut pemerintah pusat, sedangkan bupati dan wali kota
yang akan dipilih nanti tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai wakil
pemerintah pusat di negara yang mengikuti sistem negara kesatuan (unitary system) seperti negara kita.
Kepentingan pemerintah
pusat itu sebenarnya membentang berlakunya, mulai dari tata pemerintahan
pusat sampai ke tingkat pemerintah daerah, termasuk pada tingkat yang berada
di amat terbawah sekalipun. Jadi, tidak bisa hanya dipenggal pada jabatan
tertentu seperti disebutkan dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Dengan
demikian, kepala daerah yang akan dipilih serentak itu mewakili orang daerah
yang dari partai politik. Apalagi titik berat pelaksanaan otonomi daerah di
kabupaten/kota semakin jelas jauhnya jarak antara pemerintah pusat/nasional
dan pemerintah daerah.
Kepentingan altruistik nasional
Perkembangan pelaksanaan sistem
desentralisasi ke pemerintahan daerah di negara kesatuan seperti di negara
kita mengalami perubahan yang
dinamis. Akan tetapi, nilai altruistik kepentingan nasional di negara
kesatuan itu tidak bisa terpotong sekecil apa pun dalam bentangan wilayah
nasional itu.
Kepentingan altruistik
nasional adalah kepentingan pemerintah nasional yang bisamembentuk jiwa
nasionalisme dan jiwa kebangsaan, yang tidak dipersempit oleh semangat
sektaristik kedaerahan. Dahulu di awal
kita merdeka ketika akan menjabarkan pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, akan
dibagi ke dalam berapa macam pemerintah daerah belum ada aturan
perundangannya.
Waktu itu
terpikirlah jenis pemerintahan yang
harus terbentuk lebih dahulu adalah pemerintahan provinsi. Presiden Soekarno
sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk
panitia kecil yang diketuai Otto Iskandardinata . Ketika Ketua PPKI
mempersilakan Otto memberikan laporan kerja tim kecilnya pada 19 Agustus
1945, dilaporkan bahwa Pulau Jawa ada
tiga provinsi-Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat-masing-masing dipimpin
seorang gubernur atau mangkubumi. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah
lain dipimpin satu gubernur.
Tokoh yang ditunjuk
sebagai gubernur adalah tokoh daerah yang nasionalis. Orang yang mengetahui
dan memahami kondisi daerahnya akan tetapi memahami dan jiwanya adalah jiwa republiken dari
negara kesatuan, bukan yang menonjolkan kepentingan kedaerahannya.
Tokoh-tokoh seperti Dr Sam Ratulangi (seorang nasionalis dari Sulawesi
Utara), serta Mr J Latuharhary dan Mr Teuku Moh Hasan (republiken dari Maluku
dan Sumatera Utara) merupakan tokoh daerah yang jiwa altruistik nasionalnya
melampaui semangat kedaerahannya.
Demikian pula ketika
pemerintahan Orde Baru berkuasa berlaku semboyan yang dikembangkan bahwa
pusat adalah pusatnya daerah, dan daerah adalah daerahnya pusat. Dengan
demikian, negara kesatuan itu utuh tidak terbelah-belah antara pusat dan
daerah. Tidak seperti sekarang ini sehingga tampaknya hubungan antara
gubernur dan bupati/wali kota di daerahnya kurang harmonis. Itulah sebabnya,
ada salah satu gubernur dalam karya ilmiahnya menyarankan titik berat otonomi
diletakkan di provinsi. Sekarang ini banyak dijumpai kartu nama bupati/wali
kota tidak lagi mencantumkan nama provinsinya. Hal seperti ini merupakan
gejala apa? Apa karena bunyi undang-undangnya atau karena paham demokrasi
yang mengalami perkembangan?
Negara kesatuan
Di dalam literatur ilmu pemerintahan
dikatakan bahwa kekuasaan mengatur pemerintahan itu terbagi atas vertikal dan
horizontal. Pembagian secara vertikal melahirkan sistem pemerintahan yang
federalistik dan unitaristik. Adapun yang horizontal melahirkan sistem
pemerintahan yang dipimpin presiden (presidensial) dan sistem pemerintahan
yang dikendalikan parlemen (parlementer). Indonesia semenjak awal merdeka
mengikuti sistem negara kesatuan yang pemerintahannya dijalankan berdasarkan
sistem presidensial. Hanya pernah di tengah-tengah sistem presidensial itu
berlaku pula sistem perlementer dengan banyaknya partai politik yang dibentuk
di awal kemerdekaan.
Di negara kesatuan prinsip manajemen
kekuasaan pemerintahan itu penggunaannya berada di tangan pemerintah pusat.
Adapun kekuasaan di pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi
dari pemerintah pusat.
Sistem desentralisasi
itu tidak memberikan seluruh kewenangan pemerintah itu kepada pemerintah
daerah, melainkan memberikan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Bukan seperti undang-undang tentang pemerintahan daerah
yang menyatakan bahwa seluruh kewenangan pemerintahan berada di daerah,
kecuali enam kewenangan absolut yang di pemerintah pusat.
Adapun cara
mendelegasikan kewenangan itu berdasarkan prinsip the pleasure of central government, tergantung pada kemurahan
hati pemerintah pusat. Dari sistem ini, maka di negara kesatuan adakalanya
berlaku sentralisasi (pemerintahan Orde Baru) dan ada pula yang luas
desentralisasinya (seperti sekarang ini). Prinsip otonomi sebenarnya bukan
melekat pada sistem negara kesatuan, melainkan amat sesuai digunakan oleh
pemerintah federalistik karena negara-negara yang otonom (states) sepakat melimpahkan
kewenangannya yang pelaksanaannya lebih baik dilaksanakan oleh pemerintah
federal yang dibentuknya.
Negara kita
menggunakan otonomi semula untuk
membedakan antara pemerintah daerah yang bersifat administratif dan
yang otonom. Adapun pemerintah daerah otonom itu adalah pemerintah daerah
yang mampu membuat sendiri peraturan daerahnya, mampu membiayai sendiri
dengan anggaran daerahnya, dan yang dilaksanakan oleh pegawai daerah sendiri.
Membuat sendiri peraturan daerah mengharuskan pemerintah daerah otonom harus
ada lembaga DPRD, dan mempunyai APBD sendiri beserta pegawai daerah sendiri
(lihat UU No 5 Tahun 1974).
Semenjak reformasi
pemerintahan daerah yang otonom ditegaskan untuk memberikan diskresi kepada
daerah untuk mengatasi masalah-masalah daerahnya sehingga mampu melahirkan
suatu tata pemerintahan daerah yang bisa menyejahterakan rakyat daerahnya,
bukannya menyejahterakan pimpinan daerahnya.
Demikian pula di
negara kesatuan tidak diperlukan pemikiran tentang titik berat otonomi
daerah, apakah di pemerintah daerah kabupaten/kota atau di pemerintah
provinsi. Karena prinsipnya di negara kesatuan kepentingan pemerintah pusat
diwujudkan membentang di seluruh jajaran atau tingkatan pemerintahan dari
pusat sampai pada tingkat terbawah.
Ibarat wayang kulit,
batang tubuh wayang kulit yang lemas itu tidak bisa dijalankan oleh dalang
jika wayang itu tidak digapit oleh kayu penjalin kecil yang kuat membujur
dari kepala (puncak) sampai di bawah sehingga bisa ditancapkan pada batang
pisang oleh si dalang. Tidak ada wayang kulit yang kayu penggapitnya itu lemas,
apalagi hanya sampai di tengah-tengah tubuh wayang.
Bukan seperti UU
Pemerintahan Daerah kita, kayu penggapit wayang otonomi itu sebenarnya
mewakili kepentingan pemerintah pusat
hanya sampai ke gubernur di tengah-tengah tubuh wayang otonomi, tidak
sampai pada tataran jenjang pemerintah daerah terbawah di kabupaten dan
pemerintah kota. Dalang otonomi merasakan betapa sulitnya menganalisis
pelaksanaan otonomi daerah
Kepala daerah di negara kesatuan
Di bulan Desember
tahun ini kita akan memilih kepala-kepala daerah yang pencalonannya seperti
diutarakan di muka diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
atau independen yang ciri daerahnya sangat diutamakan. Bahkan mulai sekarang
ini sudah mulai banyak orang yang berburu KTP supaya bisa menjadi orang
daerah yang akan menjadi calon kepala daerahnya. Jika syarat ini yang
diutamakan, maka kepala-kepala daerah itu nantinya cenderung akan memperkuat
putusnya kayu penjalin seperti yang diuraikan di atas.
Kepala daerah di
negara kesatuan yang akan mewakili kepentingan sektarian partai politik dan
kedaerahannya ketimbang kepentingan altruistik nasionalisme. Oleh karena itu,
persyaratannya harus ditambah dengan menekankan terhadap calon yang memahami
sistem dari suatu negara kesatuan. Calon harus paham dan mampu mengamalkan
dalam administrasi pemerintahan daerah nilai-nilai Pancasila, nasionalisme,
dan kebangsaan. Calon harus paham secara sempurna penyelenggaraan pemerintahan nasional dan
daerah. Calon harus mampu memahami konstitusi kita, mengetahui dan memahami
semua peraturan perundangan nasional.
Selain itu, peraturan dan kebijakan
perundangan yang menekankan adanya wakil pemerintah pusat hanya berada di
salah satu tingkat dan jenjang pemerintahan perlu disempurnakan. Demikian
pula titik berat pelaksanaan otonomi yang diletakkan di salah satu tingkat
atau jenjang pemerintah di kabupaten atau provinsi perlu dihapus, karena di
negara kesatuan itu pelaksanaan kewenangan pemerintah membentang pada seluruh
wilayah dan daerah dari pusat sampai ke daerah. Titik beratnya berada di
pemerintah nasional atau pusat, sedangkan kewenangan di pemerintah daerah
dilakukan melalui asas desentralisasi.
Adapun titelatur atau
sebutan untuk kepala daerah bisa disarankan seperti yang dipergunakan oleh UU
No 5 Tahun 1974, misalnya gubernur kepala daerah, bupati/wali kota kepala
daerah. Sebutan gubernur, bupati, dan wali kota sebagai jabatan yang mewakili
kepentingan pemerintah nasional atau pusat, dan sebutan kepala daerah
mewakili kepentingan orang atau pemerintah daerah masing-masing.
Calon yang didukung
partai politik begitu sudah dipilih oleh seluruh rakyat menjadi kepala daerah harus menanggalkan aspirasi dan
kepentingan partai politiknya beralih menjadi mewujudkan kepentingan seluruh
rakyat dan kewajiban negara sebagai abdi rakyat dan abdi negara dari negara kesatuan yang dicintainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar