Gangguan Mental Pelaku Child Abuse
Nadia Egalita ; Mahasiswi
Faculty of Art, Monash University Australia,
belajar
tentang Media Studies and Social Behaviour
|
JAWA POS, 15 Juni 2015
SIAPA saja yang bakal
dijadikan terdakwa pelaku tindak kekerasan dalam kasus kematian Angeline, 8,
di Bali yang menggegerkan itu hingga kini masih diselidiki. Saat ini pihak
yang telah dijadikan terdakwa bukan hanya pembantu pria yang mengaku telah
memerkosa dan membunuh Angeline untuk menutupi kelakuan jahatnya, tetapi juga
ibu angkat korban yang diduga memiliki kepribadian yang patologis.
Penetapan ibu angkat
korban sebagai terdakwa baru bukan tanpa alasan. Dari jasad korban diketahui,
jauh sebelum meninggal, ternyata di tubuh korban terdapat luka bekas sundutan
rokok dan berbagai indikasi lain yang menguatkan dugaan bahwa semasa anak
malang ini hidup pernah mengalami dan menjadi korban tindak child abuse atau
minimal ditelantarkan.
Mental Disorder
Seperti dilaporkan
Jawa Pos pada 12 dan 13 Juni 2015, berdasar hasil pemeriksaan kejiwaan
terhadap ibu angkat korban yang dilakukan aparat kepolisian diketahui, yang
bersangkutan memiliki kepribadian dan sifat yang keras, impulsif, dominan,
agresif, dan bahkan ada indikasi cenderung psikopat. Paling tidak yang bersangkutan
secara psikologis mengalami gangguan mental yang mengakibatkan dia tidak bisa
mengontrol tindakannya secara pasti. Perilaku yang meledak-ledak, amarah yang
acap kali tidak tertahankan, sering disebut-sebut sebagai ciri yang menandai
orang yang mengalami mental disorder.
Dalam kajian psikologi
memang dikatakan bahwa yang namanya dorongan amarah pada diri seseorang tidak
selalu diikuti dengan tindakan agresif, seperti menyerang orang yang dinilai
mengancam atau mempermalukan dirinya (Howells,
1996). Bahkan, sering dorongan amarah di kalangan sebagian orang yang
mampu mengelolanya justru diekspresikan dalam bentuk reaksi yang bertolak
belakang, seperti bersikap sangat baik kepada orang yang menimbulkan
kemarahan mereka.
Tetapi, dalam kasus
Angeline, yang terjadi diduga tidak seperti digambarkan di atas. Kalau benar
berita selama ini bahwa di tubuh Angeline ditemukan bekas luka sundutan
rokok, tubuh yang kurus karena kurang terurus, keseharian yang lebih banyak
murung, menarik diri, dan kesaksian sejumlah pihak menyatakan bahwa tidak
sekali-dua kali Angeline dibentak-bentak, dan diperlakukan kasar di rumah ibu
angkatnya, maka sangat mungkin di lingkungan terdekat korban memang ada
pihak-pihak tertentu yang mengalami gangguan kepribadian sehingga tega memperlakukan
bocah yang lugu itu secara tidak wajar.
Secara teoretis,
gangguan kepribadian sering ditandai dengan perilaku yang tidak conform atas aturan dan norma yang
berlaku di masyarakat. Kriminalitas, kejahatan seksual, tindakan agresif
menganiaya orang lain, tindak kekerasan terhadap anak, dan berbagai perilaku
menyimpang lainnya adalah tindakan yang muncul akibat adannya gangguan
kepribadian kronis yang diderita seseorang.
Menurut Gary L.
Tischler (1996), yang dimaksud gangguan kepribadian adalah pola perilaku yang
bersifat menetap, infleksibel, dan mal-adaptif yang terus-menerus dan
melanggar hak orang lain, mencemarkan diri sendiri dan orang lain, bersifat
destruktif terhadap hubungan-hubungan interpersonal dan sosial, atau merusak
kemampuan subjek yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban harian guna
meraih tujuan hidup.
Artinya, jika benar
ibu angkat korban memiliki kepribadian yang agresif dan mengalami gangguan
mental, bisa saja yang bersangkutan khilaf atau bahkan terencana dan
melakukan berbagai bentuk tindakan child abuse yang menyakiti dan
menyengsarakan kehidupan Angeline. Jika benar pengakuan pembantu pria yang
membunuh Angeline karena diiming-imingi upah Rp 2 miliar oleh ibu angkat
korban, sangat mungkin otak tewasnya Angeline adalah ibu angkatnya sendiri.
Banyak studi
membuktikan, di kalangan orang tua yang secara psikologis tertekan, impulsif,
dan cenderung tidak conform dengan
tatanan yang berlaku, maka dalam kehidupan keseharian, mereka akan rawan
tergelincir menjadi pelaku child abuse kepada anak-anaknya sendiri. Dengan
mengatasnamakan untuk mendidik kedisiplinan anak, misalnya, bisa saja seorang
ibu atau ayah melakukan tindakan yang kelewat batas kepada anaknya, tanpa
menyadari bahwa yang mereka lakukan menyakiti hati anak-anaknya yang
seharusnya mereka sayangi.
Intervensi yang Efektif
Mencegah terjadinya
kasus child abuse dan menangani
kepribadian orang tua yang mengalami mental
disorder tentu bukan hal yang mudah. Para ahli psikologi dan psikiater
yang berusaha mengembangkan perilaku yang conform pada tatanan sosial dan
mendekonstruksi agar orang-orang yang mengalami mental disorder tidak melakukan tindakan yang merugikan orang
lain sering terbentur upaya untuk menentukan intervensi apa yang paling
efektif harus dilakukan agar tidak terjadi kasus seperti dialami Angeline.
Selain perlu melihat
latar belakang sejarah kelam yang mungkin pernah dialami pelaku ketika
anak-anak, apakah ia pernah menjadi korban child abuse atau tidak di masa kecilnya, kesulitan yang dihadapi
untuk mendekonstruksi orang-orang yang mengalami gangguan mental adalah
kesadaran dan kemauan keluarga besar pelaku untuk menyadari pada kekeliruan
dan keanehan tindakan pelaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kasus Angeline,
anggota keluarga lain dan orang-orang yang pernah mengenal keluarga korban
tentu mengetahui dan pernah melihat bagaimana tipisnya batas kesabaran ibu
angkat Angeline. Dalam keseharian, bagaimana subjek yang bersangkutan
memperlakukan korban, dan lain sebenarnya sudah pasti diketahui. Tetapi,
masalahnya adalah siapa yang kemudian berani mengambil langkah untuk mencegah
agar tindakan yang bersangkutan tidak berkembang lebih jauh dan bagaimana
memutus mata rantai tindak kekerasan yang dilakukan orang yang menderita mental disorder?
Tanpa adanya dukungan
seluruh anggota masyarakat untuk ambil bagian dalam pencegahan dan penanganan
orang-orang yang menderita gangguan mental, jangan harap kasus Angeline tidak
kembali terulang di kemudian hari dengan korban-korban baru yang sama
malangnya seperti Angeline. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar