Detox
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14 Juni 2015
Seorang perempuan
merokok dan makan tanpa henti. Pemandangan ini terjadi di salah satu halaman
luas sebuah tempat berolahraga. Di halaman itu tersedia penjaja makanan yang
harus saya akui lezatnya luar biasa, dari bubur ayam, empal gentong, sampai
soto mi dan aneka gorengan.
Racun raga
Kejadian itu awalnya
diperhatikan oleh salah satu kolega kerja yang berujar, "Pada akhirnya
pergi ke tempat olahraga seperti ini, ya... buat tambah tidak sehat."
Saya berolahraga di tempat itu nyaris tiga kali dalam seminggu. Awalnya, saya
tak tahu kalau di salah satu halaman itu dijual makanan yang menggoyang lidah
dan membuat ketagihan.
Namun, sejak mengenal
dan merasakan lezatnya makanan yang tersedia, sudah dua kali saya mendatangi
tempat itu. Yang pertama setelah berolahraga, dan yang kedua khusus datang ke
tempat itu, tidak untuk berolahraga, tetapi hanya untuk mengisi perut yang
keroncongan.
Sejujurnya saat
kedatangan yang kedua, saya dihujani rasa bersalah yang sangat. Saya merasa
sepantasnya saya datang ke tempat ini untuk berolahraga, untuk membuang
kalori, mengurangi timbunan lemak di perut, dan tidak malah melakukan hal
yang sebaliknya, menambah kalori dan menambah timbunan lemak.
Namun, perasaan
bersalah itu terkalahkan dengan santan gurih yang menggenang di dalam piring
makan dan menenggelamkan ketupat dan daging yang empuk. Sungguh benar kata
kolega kerja di atas, pergi ke tempat ini semakin membuat tambah tidak sehat.
Belum lagi setelah
makan, para perokok tak mungkin melupakan kegiatan merokoknya. Jadi, tempat
yang ditujukan untuk menjadi sehat benar-benar membuat manusia semakin jauh
dari sehat.
Di kantor, seorang
kolega kerja lainnya rajin melakukan detoksifikasi. Kemudian, saya memutuskan
untuk ikut program penghilangan racun-racun tubuh itu. Pertama kali ikut
langsung gagal total. Saya tidak kuat, badan terasa lemas dan sempoyongan.
Kejadian itu saya
ceritakan kepada salah satu teman dan ia langsung nyeletuk, "Yang
pertama elo mesti lakuin tuh detox mulut dan pikiran elo, bukan detox fisik,
bro." Waktu saya mendengar komentar yang menusuk dan menyinggung itu,
saya hanya tertawa terbahak, tetapi setelah itu jadi kepikiran.
Racun jiwa
Sesungguhnya racun
yang berada di kepala, mulut, dan hati itu acap kali memberi dampak. Dampak
pertama adalah timbulnya keinginan. Ingin membalas dendam, ingin menjatuhkan
lawan, ingin agar orang itu bisa sengsara seperti sengsara yang saya rasakan.
Saya ingin orang lain
tersakiti seperti mereka menyakiti dan menghina keberadaan saya. Saya ingin
mencaci maki klien, adik, bos, teman sejawat, pacar. Racun itu telah membuat
saya cepat sekali tersinggung, defensif, dan meninggikan suara dalam
perdebatan.
Dampak kedua, racun
yang sama itu juga telah membuat saya merasa senang. Senang melihat orang
lain sengsara, senang memanipulasi, senang menipu, senang mencuri, senang
berselingkuh, senang korupsi, senang bisa berpikir bahwa harta yang banyak
bisa membuat saya menguasai hidup orang lain.
Saya senang karena
pesaing saya bangkrut, senang bisa memonopoli, senang bisa menjadi orang
jahat tetapi membungkus kejahatan itu dengan gaya hidup seperti malaikat,
senang berutang tetapi enggan untuk membayar utang.
Dampak terakhir adalah
membuat saya keder. Keder kalau nilai tukar dollar makin tinggi, keder kalau
sampai sekarang saya belum berpasangan, bagaimana nanti kalau sudah tambah
tua dan siapa yang akan menemani kalau saya sakit? Keder karena target yang
ditentukan bakal tidak tercapai, keder ketika harus berhadapan dengan lawan
yang raksasa, keder karena saya di-PHK.
Menurut teman saya
yang lulus melakukan pembuangan racun raga itu, badan terasa lebih sehat dan
harus tak bisa dilakukan hanya sekali atau sesekali. Mereka memiliki jadwal
tetap pembuangan racun.
Maka, saya mulai
berpikir. Mungkin saya juga harus membuang racun jiwa itu dengan jadwal
tetap. Dan saya yakin, ketika pembuangan racun yang pertama, saya juga akan
sempoyongan.
Sempoyongan karena
racun yang biasanya bisa melahirkan rasa senang melihat pesaing bangkrut,
sekarang harus prihatin dan menunjukkan rasa simpati.
Namun, sempoyongan
bukan sebuah keadaan untuk menggagalkan program detoksifikasi. Yang
menggagalkan adalah tidak adanya keinginan untuk menjadi sehat. Tidak
berminat membuang racun akan memberi saya alasan yang paling sah untuk
membenci orang lain karena manusia itu memang wajar bisa membenci, sama
wajarnya seperti manusia bisa tidak membenci.
Namun, saya acap kali
lupa, saya ini bisa mendadak sakit dan bisa jadi tidak sembuh dan kemudian
meninggal dunia dalam keadaan beracun. Maka, dalam kondisi seperti itu,
dengan cepat saya akan berjanji. Saya berjanji melakukan detoksifikasi mulut,
hati, dan kepala.
Mengapa saya berjanji?
Karena dalam keadaan seperti itu, saya tak lagi bisa merasakan bahwa
kebencian, pencurian, atau perselingkuhan itu sebuah kewajaran yang
manusiawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar