"Bom
Waktu" Pemberantasan Korupsi
Susana Rita Kumalasanti ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
11 Juni 2015
Pasal pemberhentian sementara pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, sesuai Pasal 32 Ayat 2 Undang-Undang KPK, dapat
diibaratkan bom aktif yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bom itu bisa
memorakporandakan KPK dan agenda besar pemberantasan korupsi yang tengah
dijalankannya.
Tak usah repot-repot mencari kasus serius dengan ancaman
pidana yang berat. Kasus apa saja, yang penting berkualifikasi sebagai tindak
pidana. Sebab, Pasal 32 Ayat 2 UU KPK tak memuat batasan yang jelas tentang
tindak pidana apa saja yang bisa membuat pimpinan KPK harus berhenti
sementara. Seperti diketahui, Pasal 32 Ayat 2 UU
KPK hanya menyebutkan, "Dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya".
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang,
Saldi Isra, Rabu (10/6), dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menilai
ketentuan di atas telah menjadi celah paling efektif untuk menurunkan laju
upaya pemberantasan korupsi. Juga, menjadi cara terampuh untuk merusak,
setidaknya, agenda pemberantasan korupsi yang terkonsolidasi di bawah KPK.
Pasal itu telah dimanfaatkan untuk menyerang balik KPK, memereteli satu per
satu pimpinannya.
Celah tersebut, tambah Saldi, dimanfaatkan oleh
kekuatan-kekuatan perlawanan balik, dengan cara menggunakan kuasa dan
kewenangan yang ada pada institusi penegak hukum seperti kepolisian.
Fakta yang menimpa pimpinan KPK, yaitu Ketua KPK nonaktif
Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto, menjadi contoh
nyata penerapan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK. Samad menjadi tersangka dalam kasus
pemalsuan dokumen yang terjadi pada 2007, sementara Bambang menjadi tersangka
dalam kasus keterangan palsu terkait sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin
Barat yang terjadi pada 2010.
Padahal, Saldi yang saat itu menjadi salah satu anggota
Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Tahun 2011 (yang menyeleksi Bambang) telah
mengklarifikasikan kasus tersebut. Panitia seleksi yang diketuai Patrialis
Akbar (saat ini hakim konstitusi) telah mendiskusikan persoalan tersebut dan
memutuskan tetap memilih Bambang dan mengirimkannya ke DPR.
Memang betul, ketentuan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK mengandung
semangat baik dan luhur. Seperti diungkapkan Direktur Jenderal
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi
dalam persidangan MK, 7 Mei lalu, pemberhentian sementara pimpinan KPK (saat
berstatus tersangka) justru untuk menjaga citra dan wibawa baik KPK.
"Maka wajar jika terhadap pimpinan KPK juga
diterapkan model punishment
bersifat luar biasa, khususnya terhadap ketentuan yang mengatur berhenti atau
diberhentikan sebagai pimpinan KPK," kata Wicipto.
Saldi sepakat dengan semangat yang dikandung dalam Pasal
32 Ayat 2 UU KPK. Pasal itu memang dimaksudkan agar pimpinan KPK memiliki
standar moral yang tinggi. "Hanya, di balik semangat baik norma Pasal 32
Ayat 2 UU KPK ini tersimpan bom waktu yang dapat meledakkan KPK. Bom waktu
itu akan menjadi aktif saat langkah pemberantasan korupsi diarahkan pada
lembaga penegak hukum," tambah Saldi.
Ia menambahkan, dengan kewenangan penyidikan di kepolisian
misalnya, ketentuan tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk mengganggu KPK.
Caranya sederhana, dengan alasan hukum yang sangat mungkin dicari-cari,
menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka. "Apa yang terjadi pada KPK
sejak awal 2015 merupakan bukti nyata betapa efektifnya bom waktu Pasal 32
Ayat 2 UU KPK bekerja," kata Saldi.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej berpandangan, pemberhentian sementara
pimpinan KPK ketika berstatus tersangka melanggar asas praduga tak bersalah
dan juga mengekang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Konsekuensinya,
jaminan akan kepastian hukum diabaikan.
Menurut
Eddy, pasal tersebut seyogianya ditafsirkan secara restriktif. Pimpinan KPK
diberhentikan sementara dari jabatannya apabila kejahatan itu dilakukan pada
saat yang bersangkutan masih menjabat pimpinan KPK. Interpretasi tersebut
logis, sistematis, dan historikal sebab untuk menjadi pimpinan KPK sudah
melalui seleksi sangat ketat. Ketentuan itu juga sangat diskriminatif jika
tidak ada batasan yang jelas mengenai kejahatan yang dimaksud.
"Misalnya
saja kalau ada seorang pimpinan KPK tidak memberikan makan yang cukup kepada
binatang peliharaan, dia harus diberhentikan dari jabatan sementara dari
komisioner KPK. Karena itu diatur dalam Pasal 302 KUHP, meskipun ancaman
pidananya hanya tiga bulan, tetapi dikualifikasikan sebagai kejahatan,"
kata Eddy.
Eddy lalu membandingkan ketentuan pemberhentian
pejabat-pejabat lain. Presiden, misalnya, diberhentikan karena melakukan
tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak
pidana berat lainnya. Anggota BPK dan Komisi Yudisial yang diberhentikan
karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati. Sementara itu, UU
Pemerintah Daerah menyebutkan, kepala daerah diberhentikan sementara jika
yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam kasus korupsi, terorisme, makar,
tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat
memecah belah NKRI.
"Perbedaan pengaturan yang demikian menunjukkan ada
diskriminasi karena tidak ada perlakuan yang sama di depan hukum," kata
Eddy.
Dibatasi
Baik Saldi maupun Eddy mengusulkan adanya pembatasan
tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 32 Ayat 2. Pembatasan dimaksud
terkait ruang lingkup jenis tindak pidana kejahatan dan waktu (tempus delicti) kejahatan dilakukan.
Pembatasan itu, ungkap Saldi, sangat diperlukan agar pasal tersebut tidak
disalahgunakan untuk menyerang balik KPK.
Keduanya mengusulkan tindak kejahatan yang dapat
menyebabkan pimpinan KPK berhenti sementara adalah tindak pidana terkait
kewenangannya atau tindak pidana yang dilakukan saat menjabat.
Sementara itu, untuk tindak pidana yang dilakukan sebelum
memimpin KPK, proses hukum ditunda terlebih dahulu. Apabila suatu kejahatan
hampir memasuki masa kedaluwarsa, penghitungan kedaluwarsa tak perlu
memasukkan masa-masa ketika yang bersangkutan menjadi pimpinan KPK. Menurut
Eddy, hal ini sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan mekanisme rusten
(bahasa Belanda, masa istirahat).
Namun, seperti apa nantinya pasal itu dimaknai, tetap
seperti sekarang ini ataukah diberi pembatasan, akan sangat bergantung pada
palu hakim konstitusi. Pasal tersebut tengah diuji konstitusionalitas atas
permohonan Bambang Widjojanto.
MK diharapkan segera memutus perkara tersebut. Setidaknya,
itu akan memberikan kepastian bagi para calon pendaftar seleksi calon
pimpinan KPK.
Kasus Bambang dan Samad mau tidak mau membuat orang
berkurang nyali untuk ikut bertarung melawan korupsi via KPK. Jika
dikabulkan, putusan MK akan menjamin perlindungan terhadap pimpinan KPK pada
masa mendatang dari ancaman kriminalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar