Surat
Terbuka untuk Pak Nuh
Ahmad
Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Mei 2014
SEMOGA Pak Nuh masih ingat
perbincangan ringan yang terjadi pada Selasa, 15 Desember 2009, bertempat di
Plaza Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itu Pak Nuh
mengundang 10 penulis artikel pendidikan produktif sepanjang 2008-2009.
Sebagai salah satu dari 10 orang yang diundang, saya cukup terkesan dan
mengapresiasi tradisi yang coba dibangun Mendikbud. Dalam kata sambutan yang
singkat dan sederhana, Mendikbud sangat menghargai masukan dan kritik yang
disampaikan para penulis tentang kerja-kerja Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sebagai salah satu spektrum yang
membawa warna tersendiri dalam evaluasi kinerja Mendikbud, kritik dan masukan
para penulis diharapkan Pak Nuh akan memberikan tambahan energi pemerintah
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Sebagai mitra, para penulis
diibaratkan Pak Nuh memiliki banyak warna ide dan gagasan, dengan kumpulan
dari warna-warna tersebut akan mempercepat proses pertumbuhan warna putih
yang diharapkan muncul sebagai simbol terangnya dunia pendidikan di Tanah
Air.
Waktu itu, Pak Nuh yakin untuk
menghilangkan segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan di Tanah Air.
Pertanyaannya kemudian ialah, apakah ujian nasional yang selama hampir lima
tahun terakhir tidak pilih kasih, tidak diskriminatif? Mungkin itulah yang
menyebabkan munculnya surat terbuka dari Nurmillaty Abadiah kepada Pak Nuh
tentang UN. Terlepas dari kontroversi tentang benartidaknya seorang siswa SMA
mampu `menelanjangi' kebijakan UN secara detail dan gamblang hingga pada
akhirnya Pak Nuh sendiri ragu dengan tulisan tersebut, menurut saya, beberapa
poin yang dikemukakan Nurmillaty secara substantif sangat faktual dan
mengena.
Ketidakmerataan bobot soal yang
mudah dan sulit jelas sekali tampak jika kita baca secara cermat bentuk soal
dalam ujian nasional. Apa yang dialami Nurmillaty, menurut saya, juga terjadi
pada ribuan siswa lainnya, yakni mereka diperlakukan secara tidak adil karena
soal yang mereka dapatkan bisa jadi lebih sulit dan dalam beberapa hal bahkan
belum pernah dipelajari siswa bersangkutan. Jelas sekali hal itu melanggar
asas no discrimination yang sedari
awal sering didengungkan Pak Nuh. Dalam bahasa yang sedikit satire,
Nurmillaty bahkan mengkritisi soal matematika yang bahkan gurunya sendiri di
SMA tak bisa menjawabnya.
Saya juga setuju dengan
Nurmillaty bahwa proses UN telah berlangsung secara tidak jujur karena banyak
yang menggunakan jalan pintas. Saya hanya ingin menegaskan kepada Pak Nuh,
jalan pintas itu tidak bisa disembunyikan dari kenyataan. Jika Pak Nuh tak
yakin soal bocornya soal UN, misalnya, menurut saya, Pak Nuh tak memperoleh
laporan yang jujur dari para pengawas UN yang ditugasi. Jalan pintas itu
benar-benar telah menyentuh hampir semua pemangku kepentingan pendidikan,
mulai siswa, guru, kepala sekolah, orangtua, hingga pegawai Kemendikbud di
kabupaten dan provinsi. Artinya, UN memang menyenangkan karena secara massal
dianggap sebagai kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan bagi
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Ini artinya bahwa dengan adanya
UN, makin merebak kecurangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena
tak peduli dengan proses, setiap siswa, guru, dan orang tua menginginkan
anak-anak mereka lulus, tak peduli soal cara. Pak Nuh saya rasa perlu
merenungkan kembali posisi UN dalam sistem pendidikan kita, setidaknya jika
dilihat dari aspek akuntabilitas. Saya khawatir Pak Nuh keliru dalam memaknai
akuntabilitas karena biasanya bentuk akuntabilitas akan terpulang pada
seperangkat ekspektasi yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Apakah UN
merupakan ekspektasi masyarakat? Kita belum pernah menyurveinya. Dari
pengalaman saya selama ini dalam berinteraksi dengan guru dan siswa, rata-rata
mereka mengharapkan agar UN dihentikan.
Jo Anne Anderson dalam Accountability in Education (2005)
menyebutkan setidaknya ada tiga bentuk akuntabilitas pendidikan yang
berkembang saat ini. Pertama ialah bentuk akuntabilitas yang didorong sekadar
untuk memenuhi aturan yang berlaku dalam sebuah sistem pendidikan (compliance with regulations). Titik
tekan pada akuntabilitas jenis itu biasanya sangat kaku dan birokratis karena
aturan dibuat biasanya hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua ialah jenis akuntabilitas
pendidikan yang didorong untuk memenuhi profesionalisme setiap orang yang terlibat
dalam proses perencanaan dan pengembangan program-program pendidikan (adherence to professionalism).
Meskipun terlihat ideal, akuntabilitas jenis itu selalu dipenuhi rambu-rambu
akademik yang juga kaku dan kurang menghargai proses. Namun, sebagai sebuah
bentuk pertanggungjawaban, akuntabilitas jenis itu relatif bisa diubah dengan
cepat karena bisa jadi sangat bersifat lokal, misalnya sekolah dan kampus.
Jenis ketiga dari akuntabilitas
pendidikan ialah sebuah rangkaian penilaian yang berorientasi pada kinerja
atau hasil yang diperoleh sebuah lembaga atau individu (results driven). Akuntabilitas jenis itu lebih menekankan pada
aspek hasil yang dicapai dari sebuah rangkaian proses yang sebelumnya sudah
ditetapkan standarnya. Artinya, bentuk penilaian jenis itu memerlukan
kombinasi dua pendekatan lainnya karena hasil selalu harus diukur standar
kinerja yang biasanya diputuskan peraturan yang dibuat.
Kasus ujian nasional (UN) ialah
salah satu contoh terbaik bahwa bentuk akuntabilitas pendidikan yang dianut sistem
pendidikan kita ialah kepatuhan terhadap aturan dan lebih banyak mengejar
akuntabilitas siswa melalui ujian. Padahal, untuk mengetahui secara
komprehensif sebuah hasil dari proses belajarmengajar, tidak cukup hanya
melihat hasilnya saja, tetapi juga menimbang dasar-dasar penegakan
profesionalisme kependidikan seperti sarana dan prasarana pendidikan,
kompetensi dan profesional guru, serta birokrasi yang sehat. Yang sering
terlupakan dalam menuntut akuntabilitas pendidikan ialah bagaimana memasukkan
peran serta dan tanggung jawab masyarakat sebagai bagian yang juga harus
dipertanggungjawabkan komunitas sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar