Indonesia
Mencari Wakil Presiden
Eep
Saefulloh Fatah ; Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc, Pusat
Riset dan Konsultasi Political Marketing
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Mei 2014
SETIAP zaman punya kecemasannya
sendiri. Setiap kecemasan punya zamannya sendiri. Begitulah, di masa Orde
Baru banyak orang cemas bahwa wakil presiden (wapres) sekadar ban serep. Hari-hari
ini, sebagian orang mencemaskan kemungkinan hadirnya wapres yang tak sekadar
ban serep. Tiba-tiba, wapres yang berfungsi optimal menjadi sumber kecemasan.
Lalu, seperti apakah sepatutnya
wapres diposisikan dan difungsikan? Apa yang Indonesia cari dan butuhkan;
wapres ban serep atau wapres optimal atau yang berada di antara keduanya?
Duet dinamis vs harmonis
Boediono ialah wapres ke11
sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Jika periode Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) ikut ditimbang, dan Wakil Ketua PDRI, Teuku Mohammad
Hasan, ikut diperhitungkan sebagai wapres, Boediono ialah wapres ke-12.
Secara metodologi, sulit memband
ingkan wapres lintas zaman. Jika dipaksakan akan senasib dengan membandingkan
buah apel dengan kanguru. Maka, lebih baik kita fokus saja ke wapres era
Reformasi. Selama masa Reformasi, kita mengena dua jenis wapres; yang
bertugas penuh dan bertugas tak penuh. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
(1999-2001) dan Hamzah Haz (2001-2004 ialah wapres yang tak sempat bekerja
penuh. Muhammad Jusuf Kalla (2004-2009) dan Boediono (2009-2014) termasuk kategori
wapres yang bekerja penuh.
Perbandingan yang paling layak
dilakukan ialah di antara wapres yang bertugas penuh. Maka, bersu alah kita
dengan dua karakter kombinasi kepemimpinan nasional yang berbeda; duet
dinamis versus duet harmonis.
Yudhoyono-Kalla merupakan duet
dinamis. Kalla memainkan peranan besar dengan menjadi sparring partner Yudhoyono dalam merumuskan berbagai kebijakan
pokok. Wapres juga ikut aktif mengelola pemerintahan dengan berkoordinasi
dengan bahkan mendireksi para menteri untuk mengelola isu-isu strategis
tertentu, terutama di bidang ekonomi.
Bukan hanya itu, wapres beberapa
kali mengambil inisiatif yang keluar dari pakem konvensional selama ini Di
atas segalanya, aktivitas politik strategis dijalankan Kalla dengan menjadi
semacam general manager koalisi pemerintahan. Banyak pertemuan antarpimpinan
partai dan/atau antarpimpinan fraksi DPR dilakukan di rumah dinas wapres,
langsung dipimpin Kalla.
Gaya kepemimpinan Kalla pun
menjadi daya magnet besar bagi media. Kerapkali hubungan kerja presiden dan
wakil pre siden menjadi pemberitaan luas media massa. Gaya Kalla yang
atraktif bahkan sempa menimbulkan kesan bahwa wapres bekerja melampau yang selayaknya
dilakukan orang nomor dua. Itulah yang ingin saya sebut sebagai `duet dinamis'.
Selepas Kalla, Boediono
menampilkan gaya yang berbeda secara diametral. Tampil santun, lebih senang
bekerja tekun dalam senyap, tak suka dan tak terbiasa berurusan dengan
politisi dan partai politik. Wapres Boediono membangun `duet harmonis' dengan
Presiden Yudhoyono. Gaya kepemimpinan Boediono membuatnya tak menjadi pusat
perhatian media massa. Ia seperti terkurung dalam ruang kerjanya, mengelola
aspek-aspek teknokratis dari berbagai kebijakan.
Latar belakang Wapres Boediono
sebagai `orang kampus' dan transformasinya menjadi `birokrat yang lurus'
berkombinasi dengan kebersahajaan kepribadian. Hasilnya adalah postur wapres
yang tak terlihat menonjol, tak suka beratraksi di atas panggung. Berbeda
dengan Kalla yang pandai bermanuver di sela-sela kepentingan politik yang
berseliweran dalam kerja pemerintahan, Boediono canggung mengurusi lalu
lintas pertukaran kepentingan politik. Maka sebagai `pertunjukan' duet
dinamis Yudhoyono-Kalla tentu saja lebih `mencekam' karena mengandung banyak
unsur `drama politik' ketimbang duet harmonis Yudhoyono-Boediono.
Terlepas dari perbedaan karakter
itu, baik Kalla maupun Boediono, dengan cara masing-masing, membuktikan arti
penting `wapres yang bekerja', yang fungsional. Baik dilakukan secara
atraktif (gaya Kalla) maupun gaya senyap (Boediono), sang wapres mesti
memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta kemampuan manajemen
pemerintahan dan kebijakan yang mumpuni. Perkara bahwa dalam kedua termin itu
kedua pasang presiden dan wapres melahirkan prestasi pemerintahan dan
kebijakan yang berbeda, ialah soal lain yang bisa kita diskusikan di kolom
lain.
Maka, belajar dari pengalaman
satu dekade terakhir, Indonesia tak membutuhkan wapres simbolik, tapi wapres
fungsional. Sebagai demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan
bukan hanya Presiden yang kuat, melainkan juga sinergi sang presiden dengan
wapresnya yang juga kuat. Hanya dengan cara itu kita bisa menyandingkan
kerumitan prosedur demokrasi dengan kesuksesan pencapaian kesejahteraan.
Elektoral dan fungsional
Walhasil, terlepas dari
perbedaan di antara dua karakter kombinasi pemimpin itu, sebuah pelajaran
pokok menjadi benang merah yang menyambungkan kedua termin kepresidenan
Yudhoyono itu. Benang merah itu, yakni bahwa mencari wapres bukan semata-mata
perso alan menemukan rumus elektoral yang paling paten, melainkan juga
membangun kerangka kerja fungsional yang paling produktif.
Mencari wapres bukanlah sekadar
menemukan pasangan yang berpotensi memenangi pemilu presiden. Mencari wapres
adalah mencari formula sinergi orang nomor satu dan nomor dua Republik yang
berpotensi membuktikan kerja pemerintahan yang efektif, terutama dalam
perbaikan kualitas layanan dan kesejahteraan publik.
Maka, ketika calon presiden
dalam Pemilu 2014--baik Joko Widodo, Prabowo Subianto maupun figur lain yang
bisa saja muncul belakangan mencari pasangan, selayaknya ia menimbang daya
tarik elektoral sekaligus potensi sinergi fungsi yang dimiliki sang kandidat
wapres. Sebab Indonesia tak hanya membutuhkan `pasangan juara' yang mampu
mendulang suara terbanyak. Indonesia juga membutuhkan sepasang presiden dan
wapres yang berkemampuan memenuhi janji-janji kampanye mereka serta mengelola
pemerintahan dan kebijakan secara layak.
Walhasil, yang selayaknya
dilakukan pun bukan sekadar mengemas `citra' pasangan capres dan cawapres
sehingga menarik minat calon pemilih. Yang justru sangat penting yaitu
membangun, memelihara, dan mengelola `identitas' dan `integritas' sepasang
kandidat itu sejalan dengan kebutuhan pembentukan pemerintahan yang efektif
dan penyehatan demokrasi.
Tugas penagih janji
Dalam kerangka itu, sebagai
warga negara, saya berharap agar politisi dan pimpinan partai politik tidak
hanya sibuk mencukupkan kursi untuk membentuk koalisi pengusung kandidat
presiden dan wapres. Saya berharap bahwa mereka juga menimbang dengan seksama
kebutuhan mengajukan calon pemimpin yang punya kompetensi sekaligus
integritas.
Itu baru separuh harapan.
Harapan berikutnya, untuk melengkapi itu, adalah tumbuhnya kualitas baru di
kalangan pemilih. Dalam rumusan sederhana, pemilih selayaknya tidak memandang
hari pencoblosan atau pencentangan sebagai babak akhir penunaian tugas warga
negara, tapi sebagai titik awal. Selepas mencentang atau
mencoblos, para pemilih selayaknya mentransformasikan kualitas mereka menjadi
warga negara yang aktif menagih janji. Dalam konteks ini, peringatan Susan
Stokes lewat buku klasiknya, Mandate
and Democracy (2001), layak ditimbang.
Stokes meriset 44 pemilihan
presiden di 15 negara Amerika Latin sepanjang 1982-1995. Salah satu hasilnya;
para presiden yang dalam kampanye menjanjikan kebijakan populis atau
nasionalistis-Stokes menyebutnya sebagai security-oriented
policies-lebih banyak yang melanggar janji kampanye mereka ketimbang yang
memenuhi dengan teguh.
Ada beberapa sebab yang disebut
Stokes di balik gejala pelanggaran janji itu. Salah satunya ialah tidak
adanya para warga negara yang menjadi penagih janji. Tanpa para penagih
janji, para pemimpin akan dengan sangat mudah melanggar janji. Sambil
menyebut Stokes, saya ingin menutup kolom ini dengan menegaskan bahwa
Indonesia saat ini bukan hanya sedang mencari wapres (bersama presiden) baru,
melainkan juga mencari para penagih janji.
Para penagih janji akan
memainkan peranan strategis dalam dua fase politik sekaligus; 1) mencoblos
(atau tidak mencoblos) dengan bertanggung jawab dan, 2) memastikan bahwa
presiden dan wapres yang terpilih bukan hanya juara secara elektoral,
melainkan juga kompeten membuat kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar