Ketika
Anak-anak Dikorbankan
Endang
Suryadinata ; Penggemar Sejarah
|
TEMPO.CO,
09 Mei 2014
Boleh
jadi kita pernah mendengar ritual pengorbanan anak. Misalnya, berdasarkan
dokumen tertulis dari abad ke-16 dan ke-17, kita bisa membaca adanya ritual
demikian pada suku bangsa Aztec, yang menyebut diri mereka Mexica-asal nama Stocking "Meksiko".
Suku
bangsa Aztec percaya bahwa Tlaloc, dewa hujan, senang mendapatkan pengorbanan
anak-anak yang dilakukan pada musim semi. Ritual pengorbanan didasarkan pada
kepercayaan bahwa para dewa, termasuk Tlaloc, akan meninggalkan mereka jika
tidak mendapatkan "air yang berharga", yaitu darah. Suku Aztec
percaya, jika mereka tidak melakukan pengorbanan, matahari tidak akan terbit
keesokan harinya.
Malah,
di Timur Tengah, pada abad ke-18 sebelum Masehi, Abraham atau Ibrahim juga
sudah diminta Tuhan untuk mengorbankan anaknya, meskipun tidak jadi. Namun,
berdasarkan bukti-bukti arkeologis, di kawasan Timur Tengah kuno memang biasa
dilakukan ritual pengorbanan anak.
Ritual
seperti itu jelas penuh horor. Sayangnya, dalam skala yang lebih masif, dalam
cara yang berbeda, pengorbanan anak atau anak-anak yang dikorbankan ternyata
bukan mitos. Tapi sungguh terjadi hari-hari ini. Pengorbanan dilakukan bukan
di altar di sebuah kuil, melainkan dalam altar kehidupan. Anak-anak sengaja
dikorbankan atau dijadikan korban oleh para predator seks, khususnya para
pedofil.
Hari-hari
ini, publik di Tanah Air benar-benar geram karena beberapa anak disodomi
beberapa pria dewasa yang bekerja sebagai cleaning
service di TK Jakarta International
School (JIS). Belum reda kasus JIS, dari Sukabumi muncul Emon, yang konon
sudah menyodomi 110 anak. Di Tuban, Jawa Timur, juga ada predator seks telah
menyodomi 10 anak. Di Bandar Lampung juga ada tukang becak yang menyodomi 20
anak.
Para
predator itu mengikuti jejak para pendahulu mereka. Kita ingat, pada awal
2010, muncul nama Babe yang pernah menggemparkan media, mengingat pria asal
Purworejo itu telah menyodomi dan membunuh sekitar 11 anak. Lalu di zaman Pak
Harto, pada dekade 1990-an, ada nama Robot Gedek yang melakukan sodomi dan
pembunuhan terhadap enam anak usia belasan tahun, sejak 1994 hingga 1996.
Robot Gedek mendadak meninggal ketika akan dieksekusi pada 2008.
Maka,
kasus pedofilia di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia (Koran Tempo, 6/5). Komnas Perlindungan
Anak juga menyebut negeri ini berada dalam status darurat kejahatan seksual
anak.
Agar ke
depan pedofilia tidak kian marak, jelas perlu koalisi semua pihak agar
lingkaran setan kejahatan seks bisa diakhiri. Pertama, diperlukan vonis
berat, kalau perlu para pedofil dikebiri, seperti yang dilakukan di beberapa
negara. Namun jelas, KUHP atau Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang hanya
memvonis 15 tahun penjara bagi penjahat seks, dinilai ringan, apalagi
faktanya kerap divonis kurang dari 10 tahun.
Kedua,
kita juga perlu memiliki National Sex
Offender Registry atau Daftar
Pelaku Kekerasan Seks Nasional, seperti banyak negara lain, yang berisi
daftar nama dan foto para pelaku kekerasan seksual. Pemerintah baru, hasil
pileg dan pilpres bisa merealisasi kedua hal tersebut. Ritual pengorbanan
anak oleh para predator harus diakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar