Peran
Pria dalam Perjuangan Hak Perempuan
Neng
Dara Alfiah ; Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014
|
TEMPO.CO,
09 Mei 2014
Kartini
di alam sana mungkin bisa tersenyum, karena perjuangannya tidak hanya
diteruskan oleh kaum perempuan, tapi juga oleh kaum pria. Contoh, Haji Agus
Salim. Pada Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta, ia
membuka tabir yang memisahkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan.
Pada 1927, dalam kongres yang sama di Solo, dia berceramah dengan topik "Tentang Pemakaian Kerudung dan
Pemisahan Perempuan". Menurut dia, salah satu kecenderungan umat
Islam adalah memisahkan perempuan dalam rapat-rapat. Para perempuan
ditempatkan di pojok-pojok dengan ditutup kain putih yang meniru bangsa Arab.
Tindakan tersebut, menurut Agus Salim, bukanlah ajaran Islam, melainkan
tradisi Arab yang sebelumnya dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen.
Karena itu, dia mengajak peserta kongres JIB untuk mempelajari Islam secara
benar, agar memahami semangat yang terkandung di dalamnya.
Mengenai
tindakan Agus Salim ini, Sukarno menulis dalam Surat-surat dari Endeh bahwa
tabir adalah simbol penindasan bagi perempuan, bukan hanya penindasan oleh
laki-laki sebagai kedok untuk mengikuti tradisi, melainkan penindasan
terhadap hal yang baru oleh yang lama, terhadap evolusi oleh ortodoksi.
Dengan demikian, menurut Sukarno, salah satu elemen yang harus direformasi
dari ajaran Islam adalah kodifikasi hukum Islam tentang perempuan (fiqh), karena ajaran ini telah
membatasi perempuan pada akses pendidikan bagi perempuan, kebebasan bergerak
dan berpakaian.
Tulisan
Sukarno yang mendukung sikap Agus Salim ini membuat ia berkonflik dengan
pimpinan Muhammadiyah cabang Bengkulu. Sayangnya, praktek yang ditentang oleh
Haji Agus Salim dan Sukarno ini masih dipraktekkan di sejumlah masjid di
Indonesia, yang memisahkan tempat duduk laki-laki dan perempuan. Bahkan
tempat duduk perempuan ditempatkan di belakang atau di pojok gedung di mana
akses pengetahuan melalui khotbah atau ceramah-ceramah agama sering tak
terdengar oleh perempuan. Bahkan praktek ini masih diberlakukan oleh salah
satu partai Islam dan organisasi Islam tertentu, yang memandang perempuan
sebagai sumber fitnah dan pangkal kekacauan sosial.
Pada
1990-an, muncul nama-nama pria, seperti Mansour Faqih (almarhum), yang
mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender melalui beberapa buku dan
bentuk pendidikan orang dewasa yang diadopsi oleh sejumlah organisasi gerakan
perempuan. KH Hussein Muhammad, pengasuh pondok pesantren di Cirebon dan kini
komisioner Komnas Perempuan, menulis sejumlah buku untuk meyakinkan publik
bahwa ajaran Islam memiliki semangat untuk membangun masyarakat yang adil
gender. Pelbagai ayat Al-Quran ataupun hadis ia ketengahkan dengan bangunan
argumentasi keilmuan Islam yang kokoh. Diikuti pula oleh Faqihuddin Abdul
Kodir, yang memperjuangkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Juga
muncul organisasi bernama Aliansi Laki-Laki Baru, kumpulan sejumlah pria yang
berkomitmen mendukung gerakan perempuan, baik secara politik maupun sosial,
terutama dukungannya terhadap gerakan pembebasan perempuan dari ketidakadilan
gender, khususnya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini pun
menyadari bahwa sistem patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga
merugikan para pria, karena sistem ini lebih menuntut pria menunjukkan
agresivitas dengan sisi maskulinnya dan mengabaikan dimensi terdalam dari
sisi kemanusiaan, seperti kehalusan perasaan atau rasa sedih.
Memang,
sebagaimana disebut sejumlah pria, mereka tak dapat merasakan langsung
pengalaman diskriminasi sebagaimana yang dialami perempuan. Tapi empati
terhadap pengalaman perempuan yang terdiskriminasi karena
"keperempuanannya" inilah yang membuat mereka tergerak menyuarakan
dan melakukan pembelaan perjuangan hak-hak perempuan. Suara pria, dalam
perjuangan hak-hak perempuan, sangatlah penting karena perjuangan penghapusan
diskriminasi tersebut tidaklah ringan. Wujud diskriminasi terhadap perempuan
cenderung tak terlihat, samar, dan dalam masyarakat sering kali dianggap
wajar. Bentuk yang dianggap wajar itu kerap kali ditancapkan dalam bentuk
nilai-nilai keluarga, di dunia pendidikan, serta pelbagai bentuk aturan dan
perundang-undangan.
Dalam
pelbagai bentuk aturan, Komnas Perempuan mencatat, pada 2013 ada 342
peraturan daerah diskriminatif terhadap warga negara dengan lebih dari 200
kebijakan berdampak langsung ataupun tak langsung terhadap perempuan. Wujud
diskriminasi tersebut terkait dengan pengaturan atas pakaian perempuan karena
perempuan dipandang sebagai pemikul tanggung jawab moralitas masyarakat,
pengaturan duduk di kendaraan, pembatasan keluar malam yang mengingkari fakta
bahwa banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi yang harus bekerja di
malam hari. Karena itu, peran pria dalam perjuangan penegakan hak-hak
perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadapnya sangat dibutuhkan sebagai
sebuah ikhtiar menuju masyarakat yang setara dan adil bagi semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar