Economics
of Speed vs Birokrasi
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 22 Mei 2014
Di depan
mata, setiap hari kita menyaksikan bekerjanya ilmu yang disebut economics of speed atau ekonomi
berbasis kecepatan.
Dunia
kita memang kian bergegas. Semua mau serbacepat. Cepat berangkat, cepat
sampai. Ini berimplikasi luas, baik bagi kehidupan, pelayanan umum,
kebahagiaan maupun kegiatan usaha. Tak banyak orang tahu, kepiting-kepiting
yang pagi hari ditangkap para nelayan di sepanjang pantai di Indonesia, esok
paginya sudah harus sampai di Kota Pudong, Shanghai, China. Siang atau malam
harinya, kepiting-kepiting itu sudah menjadi sup yang lezat di berbagai rumah
makan seperti Minghao Seafood, Han
Tong, Fook Lam Moon atau Zhen De
Hao Seafood Restaurant.
Di
China, kepiting adalah menu favorit pengganti sirip ikan hiu. Pemicunya?
Kecaman dari kalangan penyayang binatang yang menolak penangkapan ikan hiu
secara besar-besaran hanya untuk diambil siripnya saja. Maka, sebagai
gantinya, restoran-restoran di sana mulai memperkenalkan sup kepiting.
Rasanya ternyata enak juga. Sejak itu ekspor kepiting kita ke China naik
terus. Belakangan ini permintaannya tumbuh sampai 94%. Sayang tak semua
permintaan itu bisa kita penuhi.
Penyebabnya,
kepiting-kepiting yang kita ekspor kebanyakan hasil tangkapan, bukan hasil
budi daya. Jadi sangat tergantung musim. Kalau musim baik, hasil tangkapan
meningkat, ekspor pun naik, dan sebaliknya. Dalam kondisi begitu pun nilai
ekspor kepiting kita bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Misalnya, pada
semester I 2013, nilainya mencapaiUSD198 juta atau kira-kira Rp2,25 triliun.
Dengan angka itu, kita layak disebut eksportir kepiting terbesar di dunia.
Apa
faktor pendukung yang membuat ekspor kepiting kita terus meningkat? Salah
satunya angkutan kargo udara. Berkat angkutan ini, kita bisa mengirim
kepiting lebih cepat ke China. Kepiting, sebagaimana barangbarang perishable
lainnya yang cepatrusak, haruscepatsampaike negara tujuan. Kita pun punya
banyak produk perishable lain. Ada udang, ikan tuna, dan ikan napoleon.
Anggrek kita juga potensial untuk diekspor dan hanya angkutan udara yang bisa
melayaninya. Begitulah economics of
speed yang mungkin akan mengalahkan economics
of scale.
Birokrasi
Sayangnya,
kendati besar manfaatnya, membangunnya tidak mudah. Musuh utamanya sungguh
serius: birokrasi alias benang kusut pemerintahan. Bagaimana bisa? Anda yang
kerap berurusan dengan birokrasi tentu memahami betul karakter dan kultur
kerja dari para pegawai negeri sipil (PNS) kita. Selain pasif, mereka amat
reaktif, bukan antisipatif. Mereka lebih suka dilayani ketimbang melayani.
Menunggu
perintah, bukan proaktif. Suka menunda-nunda pekerjaan, bukannya
menyelesaikan lebih cepat. Cara mereka bekerja seakan sudah menjadi aksioma :
kalau bisa diperlambat, mengapaharus dipercepat? Gampang ditebak, di situ
tersembunyi motif transaksional. Betul, saya setuju, tak semua PNS kita
seperti itu. Ada juga di antara mereka yang benar kerjanya. Namun, tak bisa
disangkal, sebagian besar mereka masih berperilaku seperti tadi. Maka,
akibatnya PNS kita tidak menjadi aset, tapi liabilities . Mereka adalah
bagian dari masalah, bukan solusi.
Padahal
jumlah PNS kita masih akan ditambah terus. Menurut data Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi, jumlah PNS kita pada awal tahun 2013
mencapai 4,5 juta. Jadi, sebenarnya jumlah ini masih sedikit bila harus
melayani seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 240-an juta. Jadi, satu
PNS melayani lebih dari 50 orang. Anda bisa bayangkan ruwetnya kondisi kita.
Sudah jumlah sedikit, kualitasnya pun pas-pasan kalau tidak mau dibilang
under qualified.
Ditambah
lagi role model -nya jarang ada. Maka, tak aneh kalau banyak urusan yang
kalau sudah masuk ke dalam mesin birokrasi akhirnya malah macet. Atau,
kalaupun jalan, lambat sekali. Kalau mau cepat, tahu sendirilah caranya. Itu
sebabnya saya menyebut lawan utama economics
of speed adalah birokrasi.
Reformasi
Kita
tentu tak bisa membiarkan urusan ini jadi berlarutlarut. Harus ada yang
berani melakukan breakthrough. Atau, kita rela membiarkan negara kita kian
jauh tertinggal dari negara-negara lain. Investor tak mau datang. Wisatawan
enggan berkunjung. Produk-produk kita tidak kompetitif lagi di pasar ekspor.
Bahkan
mungkin di pasar dalam negeri pun produkproduk kita kalah bersaing dengan
produk-produk impor. Cobalah Anda pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Di sana
Anda akan menemukan jeruk mandarin dijual dengan harga Rp17.000/ kg,
sementara jeruk medan Rp19.000/kg. Akibatnya jeruk medan kita tak kunjung
laku. Bagi saya, jelas kita akan tertinggal jika tidak mengadopsi
prinsip-prinsip dari economics of speed.
Ada
banyak hal yang mesti dilakukan dan kuncinya ada pada peremajaan struktur,
pengguntingan terhadap simpul-simpul yang kusut, lalu menyambungnya kembali
sebagai rajutan baru yang lebih simpel. Karena kusut, kita jadi tak bergerak
ke mana-mana. Untuk maju bukan merancang kerja parsial, tetapi harus
terintegrasi. Istilah manajemennya harus aligned
vertikal-horizontal) dan harus ada engagement. A rtinya harus dimanaj,
disinergikan, dipimpin, dan dimonitor. Bukan didiamkan.
Menyangkut
masalah birokrasi, reformasi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Memang di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya ini
sudah dilakukan. Misalnya dengan memberi tugas tambahan dari Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan reformasi birokrasi. Meski
begitu saya lihat masih banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Saya
menilai pekerjaan mereformasi birokrasi adalah pekerjaan raksasa yang tak
mungkin ditangani satu kementerian. Bukan apa-apa, organisasi birokrasi kita
sudah lama macet.
Ibarat
mesin, ia sudah berkarat. Maka, upaya mereformasi birokrasi membutuhkan upaya
yang lebih keras. Ibaratnya membutuhkan tuas yang lebih kuat untuk mengungkit
batu besar yang sudah terlalu lama tidak bergerak. Kalau tuasnya terlalu
kecil, pekerjaannya bisa terlalu lama atau kalau dipaksakan bukan tidak
mungkin malah tuasnya yang patah.
Tak
pelak lagi, pekerjaan mereformasi birokrasi ini harus dipimpin langsung oleh
presiden atau setidak-tidaknya wakil presiden. Inilah kelak pekerjaan besar
yang sudah menunggu presiden atau wakil presiden terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar