Jumat, 07 Desember 2012

Tanggung Jawab Negara


Tanggung Jawab Negara
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KOMPAS, 05 Desember 2012


Setiap negara diakui memiliki kedaulatan dalam hukum internasional dan hukum nasional. Di dalamnya terkandung tiga unsur, yaitu pengakuan kedudukan yang setara antarnegara satu sama lain, pengakuan atas kesatuan teritorial suatu negara, dan larangan melakukan intervensi.

Tiga kata kunci kedaulatan negara itu dalam beberapa konvensi internasional tidak dianut dan diterapkan secara konsisten, baik dalam doktrin maupun praktik hukum internasional. Akibatnya, status hukum negara sebagai entitas abstrak menjadi tidak jelas. Bahkan, dalam banyak kasus telah dicampakkan oleh negara-negara maju, termasuk Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).

Jika praktik hukum internasional hanya berlaku dalam beberapa kasus tertentu, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat atau pelanggaran hukum nasional yang tidak sejalan dengan hukum internasional dalam hal obyek yang sama, baru- baru ini Sidang Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 56/83 tanggal 12 Desember 2001 telah memasukkan draf teks tentang Tanggung Jawab Negara terhadap Perbuatan yang Melawan Hukum (Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts). Konsep Tanggung Jawab Negara (TJN) dimaksud khusus hanya meliputi keadaan-keadaan umum di mana negara bertanggung jawab atas perbuatan yang bersifat melawan hukum dan akibat hukum yang merupakan efek derivatifnya.

Inti dari draf teks tersebut adalah bahwa negara harus bertanggung jawab atas perbuatan setiap orang yang memangku jabatan publik atau menjalankan fungsi publik, atau setiap orang bukan pemangku jabatan publik tetapi telah melakukan pelanggaran atas kewajiban internasional sebagaimana tercantum dalam setiap perjanjian internasional. Konsep TJN dalam draf teks tersebut sangat luas. 

Menjangkau perbuatan aparatur negara, baik tingkat pusat maupun daerah, dan pihak lainnya yang berkaitan dengan fungsi publik dan melanggar kewajiban internasional termasuk—tetapi tidak terbatas pada pelanggaran HAM yang berat—perjanjian internasional dalam semua sektor kehidupan masyarakat internasional.

Kewajiban internasional tersebut tidak mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan dibenarkan menurut hukum nasional, baik perbuatan pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun putusan pengadilan. Substansi draf teks tersebut mengandung harapan: setiap negara benar-benar dan sungguh melaksanakan prinsip pacta sunt servanda dalam hubungan internasional dan terkesan ”memaksakan” sanksi internasional terhadap ”negara pihak” yang tidak melaksanakan kewajiban internasional yang telah mengikat negara bersangkutan.

Perlu Dicermati

Dalam konteks ini, draf teks tersebut berkehendak agar ketentuan Pasal 27 Konvensi Vienna tentang Perjanjian Internasional (1969) diterapkan secara utuh. Bahwa tidak ada satu pun negara dapat mengelak dari tanggung jawab internasional dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional.

Sekalipun keberhasilan memperoleh persetujuan negara anggota PBB atas draf tersebut, tetapi dari sisi kepentingan Indonesia, keberadaan setiap pasal dalam draf teks tersebut perlu dicermati. Selain itu, keberadaan draf teks tersebut juga perlu memperoleh perhatian elite politik dan masyarakat sipil. Hal ini mengingat baik buruknya setiap langkah warga negara Indonesia, dalam kapasitas apa pun, dalam mengemban kewajiban internasional akan menjadi tanggung jawab negara yang tak mudah untuk dilaksanakan.

Faktanya, perkembangan kehidupan bangsa Indonesia—baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, agama maupun bidang penegakan hukum—masih jauh dari stabilitas yang diharapkan rakyat. Jika tidak ada solidaritas membangun kebersamaan dan perjuangan menciptakan kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera, akan rentan terhadap tuntutan internasional. Juga sekaligus beban yang tidak mudah terhadap tanggung jawab pimpinan nasional saat ini dan di masa yang akan datang.

Berkaca pada aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan atas substansi draf teks tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak terlalu mudah menandatangani, bahkan meratifikasi, setiap perjanjian internasional. Sekalipun dari sisi tujuan dan substansi telah sejalan baik dengan mukadimah ataupun batang tubuh UUD 1945.

Guna mengantisipasi dan memprediksi jika draf teks TJN tersebut menjadi kenyataan, maka sejak saat ini pemerintah dan DPR harus mulai mencermati seluruh perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Juga sekaligus melaksanakan sungguh-sungguh kewajiban yang diletakkan di dalam perjanjian internasional tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar