Tanggung Jawab
Negara
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS,
05 Desember 2012
Setiap negara diakui memiliki kedaulatan
dalam hukum internasional dan hukum nasional. Di dalamnya terkandung tiga
unsur, yaitu pengakuan kedudukan yang setara antarnegara satu sama lain,
pengakuan atas kesatuan teritorial suatu negara, dan larangan melakukan
intervensi.
Tiga kata kunci kedaulatan negara itu dalam
beberapa konvensi internasional tidak dianut dan diterapkan secara konsisten,
baik dalam doktrin maupun praktik hukum internasional. Akibatnya, status
hukum negara sebagai entitas abstrak menjadi tidak jelas. Bahkan, dalam
banyak kasus telah dicampakkan oleh negara-negara maju, termasuk Mahkamah
Internasional (ICJ) dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Jika praktik hukum internasional hanya
berlaku dalam beberapa kasus tertentu, seperti pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) berat atau pelanggaran hukum nasional yang tidak sejalan dengan hukum
internasional dalam hal obyek yang sama, baru- baru ini Sidang Majelis Umum
PBB dengan Resolusi Nomor 56/83 tanggal 12 Desember 2001 telah memasukkan
draf teks tentang Tanggung Jawab Negara terhadap Perbuatan yang Melawan Hukum
(Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts). Konsep Tanggung Jawab Negara (TJN)
dimaksud khusus hanya meliputi keadaan-keadaan umum di mana negara
bertanggung jawab atas perbuatan yang bersifat melawan hukum dan akibat hukum
yang merupakan efek derivatifnya.
Inti dari draf teks tersebut adalah bahwa
negara harus bertanggung jawab atas perbuatan setiap orang yang memangku
jabatan publik atau menjalankan fungsi publik, atau setiap orang bukan
pemangku jabatan publik tetapi telah melakukan pelanggaran atas kewajiban
internasional sebagaimana tercantum dalam setiap perjanjian internasional.
Konsep TJN dalam draf teks tersebut sangat luas.
Menjangkau perbuatan
aparatur negara, baik tingkat pusat maupun daerah, dan pihak lainnya yang
berkaitan dengan fungsi publik dan melanggar kewajiban internasional
termasuk—tetapi tidak terbatas pada pelanggaran HAM yang berat—perjanjian
internasional dalam semua sektor kehidupan masyarakat internasional.
Kewajiban internasional tersebut tidak
mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan dibenarkan menurut hukum
nasional, baik perbuatan pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun putusan
pengadilan. Substansi draf teks tersebut mengandung harapan: setiap negara
benar-benar dan sungguh melaksanakan prinsip pacta sunt servanda dalam
hubungan internasional dan terkesan ”memaksakan” sanksi internasional
terhadap ”negara pihak” yang tidak melaksanakan kewajiban internasional yang
telah mengikat negara bersangkutan.
Perlu Dicermati
Dalam konteks ini, draf teks tersebut
berkehendak agar ketentuan Pasal 27 Konvensi Vienna tentang Perjanjian
Internasional (1969) diterapkan secara utuh. Bahwa tidak ada satu pun negara
dapat mengelak dari tanggung jawab internasional dengan alasan bertentangan
dengan hukum nasional.
Sekalipun keberhasilan memperoleh
persetujuan negara anggota PBB atas draf tersebut, tetapi dari sisi
kepentingan Indonesia, keberadaan setiap pasal dalam draf teks tersebut perlu
dicermati. Selain itu, keberadaan draf teks tersebut juga perlu memperoleh perhatian
elite politik dan masyarakat sipil. Hal ini mengingat baik buruknya setiap
langkah warga negara Indonesia, dalam kapasitas apa pun, dalam mengemban
kewajiban internasional akan menjadi tanggung jawab negara yang tak mudah
untuk dilaksanakan.
Faktanya, perkembangan kehidupan bangsa
Indonesia—baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, agama maupun
bidang penegakan hukum—masih jauh dari stabilitas yang diharapkan rakyat.
Jika tidak ada solidaritas membangun kebersamaan dan perjuangan menciptakan
kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera, akan rentan terhadap tuntutan
internasional. Juga sekaligus beban yang tidak mudah terhadap tanggung jawab
pimpinan nasional saat ini dan di masa yang akan datang.
Berkaca pada aspek kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan atas substansi draf teks tersebut, seharusnya
Pemerintah Indonesia tidak terlalu mudah menandatangani, bahkan meratifikasi,
setiap perjanjian internasional. Sekalipun dari sisi tujuan dan substansi
telah sejalan baik dengan mukadimah ataupun batang tubuh UUD 1945.
Guna mengantisipasi dan memprediksi jika
draf teks TJN tersebut menjadi kenyataan, maka sejak saat ini pemerintah dan
DPR harus mulai mencermati seluruh perjanjian internasional yang telah
diratifikasi Indonesia. Juga sekaligus melaksanakan sungguh-sungguh kewajiban
yang diletakkan di dalam perjanjian internasional tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar