Gestur Politik
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
05 Desember 2012
Wajah politik di negara kita hari-hari ini
diramaikan oleh hiruk-pikuk permainan bahasa dan gestur sebagai bagian dari
wacana politik.
Mulai dari para politisi yang meyakinkan
kita bahwa dia ”siap digantung di Monas”; hingga yang mengingatkan ”Indonesia
bubar!” bila kasus korupsi dibongkar, yang menengarai adanya para ”penumpang
gelap” dalam pesta demokrasi; yang mencibir anggota DPR sebagai ”para
pemeras”; yang berteriak lantang ”mafia narkoba telah memasuki istana!”
Melalui gestur politik, para politisi ingin
menegaskan, memperkuat dan meyakinkan kita tentang pesan, ideologi, dan makna
yang disampaikan: melalui gestur, seorang tersangka korupsi meyakinkan kita
bahwa ia tak bersalah; melalui gestur, seorang tertuduh menuduh balik
penuduhnya sedang merangkai ”karangan fiksi”.
Gestur mempertegas apa yang tak dapat
ditegaskan melalui ucapan, meyakinkan kita tentang apa yang tak dapat
diyakinkan melalui bahasa. Karena itu, gestur bersifat ”yang etis” sekaligus
”yang politis” (the political).
Akan tetapi, di dalam politik abad
informasi, fungsi gestur politik telah beralih dari memperkuat bahasa politik
menjadi kekuatan politik itu sendiri.
Gestur politik kini tak memperkuat makna
dan pesan politik, tetapi mendistorsinya, dengan menampakkan dirinya lebih
esensial ketimbang ide, makna, dan ideologi politik sendiri. Inilah
gesturisasi politik, yang melencengkan gestur sebagai penguat wacana politik,
menjadi bagian substansialnya—the gesturisation of politics.
Gestur Politik
Politik tak dapat dilepaskan dari gestur
karena di dalam politik ada fungsi komunikasi untuk meyakinkan publik. Setiap
potensi tubuh (body) dikerahkan untuk menegaskan pesan, ideologi, makna, dan
nilai-nilai politik. Melalui gestur politik para politisi mengerahkan segala
potensi tanda tubuh (body signs) —mata, mulut, tangan, jari—sebagai bagian
”multimodal” untuk memperkuat pesan dan makna politik.
Gestur adalah tindakan atau praksis khusus
bersifat ”membawa”, ”menjaga”, dan ”mendukung” bahasa. Gestur berada di
antara ”cara” (means) dan ”tujuan” (ends), tetapi ia sendiri bukan tujuan.
Melalui gestur, pesan, dan makna diperkuat, tetapi ia sendiri bukan makna. Ia
berfungsi menampakkan sesuatu sebagai ”pengantaraan” (mediality), yaitu
menengahi: gestur memungkinkan ekspresi bahasa verbal, tetapi ia sendiri
bukan ekspresi bahasa verbal (Agamben, 2007).
Gestur merupakan bagian sentral dari multimodal
dalam konteks bahasa komunikasi dan wacana politik (political discourse):
ucapan, tulisan, sentuhan, dan benda-benda—yang masing- masing memiliki
fungsi semiotik, tetapi secara bersama-sama membangun komunikasi bermakna
(vanLeeuwen, 2005).
Fungsi gestur adalah memperkuat ekspresi,
tekanan, dan kekuatan bahasa komunikatif verbal sehingga dapat
melipatgandakan efek komunikasi (amplifying-effect).
Gestur politik diperlukan ketika para
politisi berada dalam situasi pertarungan bahasa, yang mengharuskan mereka
terlibat dalam permainan bahasa (language game). Melalui gestur, para
politisi mempertegas pandangan etika dan posisi ideologisnya.
Oleh karena itu, pernyataan ”penumpang
gelap”, ”mafia narkoba” atau ”para pemeras” dari seorang politisi sekaligus
menempatkan dirinya secara ideologis di dalam sebuah ”posisi ideologi”
tertentu: ”penumpang resmi”, ”antimafia”, atau ”anti-pemerasan”.
Politik adalah sebuah gestur dan cara murni
(pure means), yaitu praksis yang memungkinkan ideologi politik
dimanifestasikan. Politik adalah ”penggesturan” (gesturality) manusia
politik. (Agamben, 2000). Urusan politik adalah menampilkan gerak gerik
politik, sementara urusan ideologi adalah memberinya makna.
Akan tetapi, kecenderungan penggesturan
politik yang melampaui telah menyebabkan praksis politik tercabut dari
ideologi politik.
Tercabutnya praksis politik dari ideologi,
gestur dari makna bahasa, tanda dari realitas, menciptakan kondisi di mana
gerak-gerik politik dan gestur politik lebih dirayakan ketimbang ideologi dan
makna politik. Energi, pikiran, dan kesadaran para politisi terkuras dalam
memikirkan penampakan luar (citra, gaya, dan gestur) sebagai cara dalam
menarik perhatian dan meyakinkan publik sehingga tak ada lagi ruang bagi
pemikiran dan perjuangan ideologi politik.
Ekstasi Politik
Politik yang telah direduksi menjadi gestur
menyebabkan fungsi penampakan luar, citra, dan tanda menjadi sentral,
mengambil alih fungsi ideologi dan keyakinan. Akibatnya, terjadi substitusi
tanda-tanda yang nyata dengan citra dan gestur. Tanda dan gestur yang
sebelumnya menjadi representasi realitas politik kini ia dilihat sebagai
realitas itu sendiri. Realitas direduksi menjadi tanda. Gestur direduksi
sebagai kebenaran (Baudrillard, 1981).
Dalam dominasi gestur dan tanda, komunikasi
politik terputus dari pesan dan ideologi politik karena ia merupakan gestur
dari pesan-pesan yang nonpolitik (nyanyian, tarian, dan pantomim) sebagai
cara menarik perhatian massa. Komunikasi politik berubah menjadi ”komunikasi
untuk komunikasi” atau disebut juga ”ekstasi komunikasi”, di mana komunikasi
telah kehilangan tujuan ideologisnya dan terperangkap di dalam model-model
komunikasi populer (Baudrillard, 1987).
Politik lalu kehilangan fungsi
representasi, yaitu fungsi reproduksi ide dan gagasan realitas politik
melalui aneka tanda, sebagai mirror image realitas. Di sini ada relasi
simetris antara tanda dan realitas, antara gestur dan ideologi, antara
gerak-gerik politik dan keyakinan politik. Ketika politik kehilangan fungsi
representasi, fungsi gestur berubah menjadi fungsi mitos, bukan untuk
menegaskan ide dan ideologi, tetapi justru mendistorsi dan mengaburkannya
melalui permainan tanda-tanda.
Kini, wacana politik didominasi ”penanda
hampa” (empty signifier) yang terputus dari realitas, di mana selalu ada
dinding pemantul (reflector) antara tanda dan dunia realitas. Misalnya,
pernyataan dan gestur politisi: ”kasus korupsi ini harus diusut tuntas dan
secepat mungkin” adalah penanda hampa karena tak mungkin ”menuntaskan”
jejaring korupsi yang rumit dan kompleks ”secepat mungkin!”.
Kemasan sebuah gestur tidak mencerminkan
isi dan realitasnya. Gestur selalu memantul kembali ke dalam jagat tanda
karena ia tidak didukung oleh realitas.
Gestur politik hanya menampilkan
”derealisasi tanda” (derealisation of sign), di mana ide dan konsep di balik
tanda terputus dari dunia realitas. Misalnya, gestur Nazaruddin yang dengan
percaya diri menyatakan ”Indonesia bubar” bila kasus korupsi yang menimpa
dirinya dibongkar, didukung oleh bukti-bukti meyakinkan; sementara tuduhan
Anas Urbaningrum terhadap pernyataan Nazaruddin sebagai karangan fiktif
adalah sebuah ”derealisasi tanda” karena tak didukung bukti meyakinkan,
setidaknya di mata publik.
Permainan tanda dan gestur di dalam wacana
politik menimbulkan persoalan serius pada kebenaran politik karena permainan
tanda tak pernah dapat diuji secara definitif di dalam pengujian dunia
realitas sebab ia selalu menolak proses penilaian. Gestur selalu ”berkilah”
dan ”menghindar” untuk diuji kebenarannya karena fungsi gestur kini adalah
”menutupi” kebenaran itu. Akibatnya, ”momen kebenaran” (moment of truth) tak
ada lagi dalam wacana politik, diambil alih ”momen citra” (moment of image).
Politik yang kehilangan fondasi, kini
terperangkap di dalam permainan bebas citra dan gestur, di dalam sebuah
proses ”imagisasi” (imagisation) dan ”gesturisasi” (gesturisation) dunia
realitas politik, di mana yang dikejar di dalamnya bukan momen kebenaran,
melainkan momen kekuasaan murni (pure power) dengan memanipulasi tanda dan
gestur untuk menyembunyikan kebenaran agar tak tampak di mata publik. Gestur
kini tak lagi berfungsi memperkuat makna politik, tetapi mengaburkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar