Jumat, 07 Desember 2012

Gestur Politik


Gestur Politik
Yasraf Amir Piliang ;  Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 05 Desember 2012


Wajah politik di negara kita hari-hari ini diramaikan oleh hiruk-pikuk permainan bahasa dan gestur sebagai bagian dari wacana politik.

Mulai dari para politisi yang meyakinkan kita bahwa dia ”siap digantung di Monas”; hingga yang mengingatkan ”Indonesia bubar!” bila kasus korupsi dibongkar, yang menengarai adanya para ”penumpang gelap” dalam pesta demokrasi; yang mencibir anggota DPR sebagai ”para pemeras”; yang berteriak lantang ”mafia narkoba telah memasuki istana!”

Melalui gestur politik, para politisi ingin menegaskan, memperkuat dan meyakinkan kita tentang pesan, ideologi, dan makna yang disampaikan: melalui gestur, seorang tersangka korupsi meyakinkan kita bahwa ia tak bersalah; melalui gestur, seorang tertuduh menuduh balik penuduhnya sedang merangkai ”karangan fiksi”.

Gestur mempertegas apa yang tak dapat ditegaskan melalui ucapan, meyakinkan kita tentang apa yang tak dapat diyakinkan melalui bahasa. Karena itu, gestur bersifat ”yang etis” sekaligus ”yang politis” (the political).

Akan tetapi, di dalam politik abad informasi, fungsi gestur politik telah beralih dari memperkuat bahasa politik menjadi kekuatan politik itu sendiri.

Gestur politik kini tak memperkuat makna dan pesan politik, tetapi mendistorsinya, dengan menampakkan dirinya lebih esensial ketimbang ide, makna, dan ideologi politik sendiri. Inilah gesturisasi politik, yang melencengkan gestur sebagai penguat wacana politik, menjadi bagian substansialnya—the gesturisation of politics.

Gestur Politik

Politik tak dapat dilepaskan dari gestur karena di dalam politik ada fungsi komunikasi untuk meyakinkan publik. Setiap potensi tubuh (body) dikerahkan untuk menegaskan pesan, ideologi, makna, dan nilai-nilai politik. Melalui gestur politik para politisi mengerahkan segala potensi tanda tubuh (body signs) —mata, mulut, tangan, jari—sebagai bagian ”multimodal” untuk memperkuat pesan dan makna politik.

Gestur adalah tindakan atau praksis khusus bersifat ”membawa”, ”menjaga”, dan ”mendukung” bahasa. Gestur berada di antara ”cara” (means) dan ”tujuan” (ends), tetapi ia sendiri bukan tujuan. Melalui gestur, pesan, dan makna diperkuat, tetapi ia sendiri bukan makna. Ia berfungsi menampakkan sesuatu sebagai ”pengantaraan” (mediality), yaitu menengahi: gestur memungkinkan ekspresi bahasa verbal, tetapi ia sendiri bukan ekspresi bahasa verbal (Agamben, 2007).

Gestur merupakan bagian sentral dari multimodal dalam konteks bahasa komunikasi dan wacana politik (political discourse): ucapan, tulisan, sentuhan, dan benda-benda—yang masing- masing memiliki fungsi semiotik, tetapi secara bersama-sama membangun komunikasi bermakna (vanLeeuwen, 2005).

Fungsi gestur adalah memperkuat ekspresi, tekanan, dan kekuatan bahasa komunikatif verbal sehingga dapat melipatgandakan efek komunikasi (amplifying-effect).

Gestur politik diperlukan ketika para politisi berada dalam situasi pertarungan bahasa, yang mengharuskan mereka terlibat dalam permainan bahasa (language game). Melalui gestur, para politisi mempertegas pandangan etika dan posisi ideologisnya.
Oleh karena itu, pernyataan ”penumpang gelap”, ”mafia narkoba” atau ”para pemeras” dari seorang politisi sekaligus menempatkan dirinya secara ideologis di dalam sebuah ”posisi ideologi” tertentu: ”penumpang resmi”, ”antimafia”, atau ”anti-pemerasan”.

Politik adalah sebuah gestur dan cara murni (pure means), yaitu praksis yang memungkinkan ideologi politik dimanifestasikan. Politik adalah ”penggesturan” (gesturality) manusia politik. (Agamben, 2000). Urusan politik adalah menampilkan gerak gerik politik, sementara urusan ideologi adalah memberinya makna.
Akan tetapi, kecenderungan penggesturan politik yang melampaui telah menyebabkan praksis politik tercabut dari ideologi politik.

Tercabutnya praksis politik dari ideologi, gestur dari makna bahasa, tanda dari realitas, menciptakan kondisi di mana gerak-gerik politik dan gestur politik lebih dirayakan ketimbang ideologi dan makna politik. Energi, pikiran, dan kesadaran para politisi terkuras dalam memikirkan penampakan luar (citra, gaya, dan gestur) sebagai cara dalam menarik perhatian dan meyakinkan publik sehingga tak ada lagi ruang bagi pemikiran dan perjuangan ideologi politik.

Ekstasi Politik

Politik yang telah direduksi menjadi gestur menyebabkan fungsi penampakan luar, citra, dan tanda menjadi sentral, mengambil alih fungsi ideologi dan keyakinan. Akibatnya, terjadi substitusi tanda-tanda yang nyata dengan citra dan gestur. Tanda dan gestur yang sebelumnya menjadi representasi realitas politik kini ia dilihat sebagai realitas itu sendiri. Realitas direduksi menjadi tanda. Gestur direduksi sebagai kebenaran (Baudrillard, 1981).

Dalam dominasi gestur dan tanda, komunikasi politik terputus dari pesan dan ideologi politik karena ia merupakan gestur dari pesan-pesan yang nonpolitik (nyanyian, tarian, dan pantomim) sebagai cara menarik perhatian massa. Komunikasi politik berubah menjadi ”komunikasi untuk komunikasi” atau disebut juga ”ekstasi komunikasi”, di mana komunikasi telah kehilangan tujuan ideologisnya dan terperangkap di dalam model-model komunikasi populer (Baudrillard, 1987).

Politik lalu kehilangan fungsi representasi, yaitu fungsi reproduksi ide dan gagasan realitas politik melalui aneka tanda, sebagai mirror image realitas. Di sini ada relasi simetris antara tanda dan realitas, antara gestur dan ideologi, antara gerak-gerik politik dan keyakinan politik. Ketika politik kehilangan fungsi representasi, fungsi gestur berubah menjadi fungsi mitos, bukan untuk menegaskan ide dan ideologi, tetapi justru mendistorsi dan mengaburkannya melalui permainan tanda-tanda.

Kini, wacana politik didominasi ”penanda hampa” (empty signifier) yang terputus dari realitas, di mana selalu ada dinding pemantul (reflector) antara tanda dan dunia realitas. Misalnya, pernyataan dan gestur politisi: ”kasus korupsi ini harus diusut tuntas dan secepat mungkin” adalah penanda hampa karena tak mungkin ”menuntaskan” jejaring korupsi yang rumit dan kompleks ”secepat mungkin!”.

Kemasan sebuah gestur tidak mencerminkan isi dan realitasnya. Gestur selalu memantul kembali ke dalam jagat tanda karena ia tidak didukung oleh realitas.
Gestur politik hanya menampilkan ”derealisasi tanda” (derealisation of sign), di mana ide dan konsep di balik tanda terputus dari dunia realitas. Misalnya, gestur Nazaruddin yang dengan percaya diri menyatakan ”Indonesia bubar” bila kasus korupsi yang menimpa dirinya dibongkar, didukung oleh bukti-bukti meyakinkan; sementara tuduhan Anas Urbaningrum terhadap pernyataan Nazaruddin sebagai karangan fiktif adalah sebuah ”derealisasi tanda” karena tak didukung bukti meyakinkan, setidaknya di mata publik.

Permainan tanda dan gestur di dalam wacana politik menimbulkan persoalan serius pada kebenaran politik karena permainan tanda tak pernah dapat diuji secara definitif di dalam pengujian dunia realitas sebab ia selalu menolak proses penilaian. Gestur selalu ”berkilah” dan ”menghindar” untuk diuji kebenarannya karena fungsi gestur kini adalah ”menutupi” kebenaran itu. Akibatnya, ”momen kebenaran” (moment of truth) tak ada lagi dalam wacana politik, diambil alih ”momen citra” (moment of image).

Politik yang kehilangan fondasi, kini terperangkap di dalam permainan bebas citra dan gestur, di dalam sebuah proses ”imagisasi” (imagisation) dan ”gesturisasi” (gesturisation) dunia realitas politik, di mana yang dikejar di dalamnya bukan momen kebenaran, melainkan momen kekuasaan murni (pure power) dengan memanipulasi tanda dan gestur untuk menyembunyikan kebenaran agar tak tampak di mata publik. Gestur kini tak lagi berfungsi memperkuat makna politik, tetapi mengaburkannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar