Rabu, 19 Desember 2012

Studi Banding yang Bikin Gunjing


Studi Banding yang Bikin Gunjing
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
SINDO, 19 Desember 2012


Studi banding Komisi IV DPR ke Prancis dan China menuai kritik publik. Selain biayanya besar (Rp1,72 miliar), tujuan studi banding juga cukup mencurigakan. Komisi IV DPR ingin mengembalikan kebijakan impor daging berbasis negara (country based) jadi berbasis zona (zone based). 

Padahal, aturan zone based dalam UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Mengapa Komisi IV ngotot? Adakah mereka diboncengi kepentingan negara eksportir daging (dan sapi)? Langkah DPR ini bisa menghancurkan industri ternak domestik. 

Beleid zone based memungkinkan Indonesia mengimpor daging (dan sapi) dari wilayah tertentu meskipun negara tempat wilayah itu belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Mengimpor daging (dan sapi) dari negara yang belum bebas PMK sama menantang bahaya. Bukankah pemerintah telah memberlakukan aturan ketat atas daging sapi impor? Intinya, impor bisa saja dilakukan asal memenuhi standar tingkat risiko yang ditolerir (acceptable level of protection). 

Ketentuan ini diatur rinci dalam SK Menteri Pertanian No 260/1986, Permentan No 64/2007 jo No 27/2007 dan jo No 61/2007 tentang Persyaratan Pemasukan Karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri. Juga tentang prinsip kehatihatian dalam Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) No XVIII/2008. Mengacu pada standar di atas, syarat risiko negara asal (daging sapi impor) yang dapat ditoleransi Indonesia adalah tingkat risiko yang dapat diabaikan (negligible risk). 

Menurut hasil Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Kementerian Pertanian (2008), impor daging tanpa tulang dari zona bebas tanpa vaksinasi risikonya amat sangat rendah (extremely low). Jika dari zona bebas dengan vaksinasi, risikonya sangat rendah (very low). Ini menunjukkan, meskipun impor didatangkan dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi sekalipun, pada hakikatnya risikonya masih tetap ada. 

Sikap Komisi IV DPR yang begitu ngotot mengubah beleid dari country based ke zone based sangat mengherankan. Padahal, TARI telah memberi persyaratan yang cukup ketat, baik di negara asal daging maupun negara pengimpor (Indonesia). 

Tindakan sanitasi di negara pengekspor: impor dibatasi hanya pada daging beku tanpa tulang yang telah dilakukan pemisahan kelenjar limfa, impor tidak termasuk jeroan dan daging variasi, impor dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi harus diprioritaskan, impor dari zona bebas PMK dengan vaksinasi bisa dilakukan dengan syarat tiga tahun terakhir tak terjadi wabah PMK, pengangkutan ternak dari peternakan tidak boleh singgah, dan rumah potong hewan (RPH) yang digunakan harus disetujui negara pengimpor (Indonesia). 

Sanitasi di Indonesia meliputi peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik karantina; penguatan sistem kesehatan hewan; peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas laboratorium untuk pengujian PMK; surveillance dan monitoring di wilayah distribusi daging impor; sosialisasi dan simulasi kesiapsiagaan darurat veteriner dari bahaya PMK; penyediaan dana tanggap darurat PMK siap pakai; pembatasan jumlah impor daging beku tanpa tulang; sertifikasi, audit, dan pengawasan fasilitas usaha (cold storage dan sebagainya); peningkatan sistem pengawasan peredaran daging; dan peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat atas penanganan limbah daging sesuai aturan. 

Ini menunjukkan, impor daging sapi dari negara belum bebas PMK dimungkinkan dengan syarat: sistem pengamanan (UU Veteriner), infrastruktur (otoritas veteriner dan SDM),dan pelayanan veteriner di Indonesia dibenahi terlebih dahulu. Tanpa itu, impor dengan sendirinya tak bisa dilakukan. Impor daging dari zona belum bebas PMK amat berisiko karena sistem dan infrastruktur di Indonesia masih banyak loop hole. 

Pertama, sistem kesehatan hewan lemah, terutama tak ada garis komando langsung dari pusat ke daerah dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit. Kedua, dana tanggap darurat tak tersedia tiap saat. Ketiga, kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik untuk mendeteksi virus PMK pada hewan dan produk hewan di karantina di pelabuhan pemasukan belum ada. Keempat, laboratorium diagnostik untuk mendeteksi virus PMK dengan kemampuan teknis dan fasilitas yang memadai belum tersedia (TARI, 2008). 

Alasan Komisi IV DPR bahwa keputusan MK menghambat pencapaian swasembada daging 2014 tidak pada tempatnya. Perubahan beleid dari country based ke zone based akan membuat impor mengalir deras. Ini mengancam swasembada daging. Impor akan membuat ketergantungan kita kepada pasokan dari luar negeri tak bisa diputus. Secara politik, ketergantungan yang tinggi akan membuat posisi kita lemah.

Dengan posisi negara pengekspor sebagai price taker, kita akan mudah didikte. Lagipula, karena pasar daging terkonsentrasi, harga daging sapi di pasar dunia amat fluktuatif. Sebelum studi banding ke luar negeri, Komisi IV DPR seharusnya melihat kondisi riil kondisi peternakan domestik. Sudahkah kebijakan menghindari pemotongan sapi muda dilakukan? Sudahkah riset intensif untuk menemukan breed lokal dan unggul digeluti? Sudahkah peternak memperoleh akses modal?

 Mayoritas (90%) usaha ternak dikuasai tak kurang dari 4 juta keluarga peternak di perdesaan. Usaha itu sebagian besar bersifat sambilan dan skala kecil. Selama ini mereka kesulitan pendanaan. Menuntaskan pertanyaan-pertanyaan ini lebih mendesak ketimbang studi banding yang bikin gunjing. ●
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar