Rabu, 19 Desember 2012

Ekonomi Tumbuh, tapi…?


Ekonomi Tumbuh, tapi…?
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 19 Desember 2012


Tujuan akhir dari setiap pembangunan adalah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warganya. Salah satu indikator kehidupan yang baik adalah kesehatan. Semakin sehat penduduk sebuahnegara, semakin produktif kerjanya. 

Semakin besar dan berkualitas output produksinya, semakin tinggilah pendapatan yang diterima warganya. Semakin besar pendapatan, semakin tinggi daya belinya. Para ekonom berasumsi bahwa daya beli tersebut mampu membuat mereka bahagia karena dengan pendapatan yang besar mereka dapat memiliki akses ke pendidikan, hiburan, rekreasi, makanan yang sehat, bergizi, dan seterusnya.Kendati demikian, gambaran ideal itu tidak sepenuhnya menjelma menjadi kenyataan di beberapa negara berkembang.

Kesehatan masih menjadi barang mewah, bahkan bagi kita di Indonesia. PBB telah meramalkan pada 2025 jumlah penduduk di dunia akan mencapai lebih dari 8 miliar orang. Sebagian besar pertumbuhan penduduk itu akan terjadi dinegara-negara berkembang. Jumlahnya diperkirakan mencapai 90% dari total perkiraan jumlah penduduk saat itu. Sebesar 85% dari jumlah itu kemungkinan akan berada di Asia-Afrika. Prediksi pertumbuhan itu menimbulkan kekhawatiran karena masalah HIV/AIDS muncul di sana. 

Apabila kecepatan epidemik AIDS tidak dikontrol, pertumbuhan ekonomi yang belakangan dimotori oleh negara-negara berkembang akan terkikis dalam waktu singkat. Selama ini masyarakat dan pemerintah masih cenderung melihat masalah HIV/AIDS ini sebagai masalah sosial saja. Padahal, penanggulangan HIV/AIDS ini cukup rumit dan berpangkal pada kesenjangan ekonomi yang buruk. 

Dari penelusuran saya ke sejumlah penelitian terkini,ada indikasi bahwa menjamurnya sektor informal juga menyumbang pada percepatan jumlah penderita HIV/AIDS. Kelihatannya, penanganan HIV/AIDS ini akan lebih rumit dari penanganan proliferasi nuklir. Tahun 2012 secara umum adalah tahun yang cukup baik bagi Indonesia. Di tengah kemelut ekonomi yang membelit Eropa dan Amerika Serikat, Indonesia mengukuhkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6%.

Ini angka yang relatif baik dibandingkan India, misalnya, yang akhir tahun lalu membukukan pertumbuhan hingga 8%, namun kini merosot ke kisaran 5% saja. Salah satu sektor yang berkembang pesat adalah bisnis perdagangan, hotel, dan restoran. Perhatikanlah bahwa pertumbuhan di sektor ini dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat Indonesia. 

Seiring dengan peningkatan penghasilan, meluasnya teknologi informasi dan komunikasi, ada lebih banyak orang Indonesia yang sanggup untuk lebih sering makan di restoran, menginap di hotel (termasuk untuk semata menghabiskan akhir pekan atau ketika ditinggal pembantu saat Lebaran), dan berwisata. Untuk mengisi waktu atau melepas penat pada akhir pekan, tak sedikit penduduk Indonesia yang memilih untuk berbelanja entah itu di pasar atau di mal. 

Pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor tadi menghidupkan orang-orang yang mengais hidup di sektor ekonomi informal, yakni mereka yang memutar modal dan keterampilan yang terbatas demi menyambung hidup dengan berdagang, menawarkan jasa sebagai sopir,menyewakan mobil, melatih berenang, berselancar atau menyelam di laut, menjadi bartender,menjaga parkir valet di bar dan restoran, atau menawarkan jasa sebagai penyalur tenaga kerja. 

Di satu sisi hal ini boleh dikatakan positif karena menciptakan lapangan kerja dan memberi penghidupan.Tapi di sisi lain, kita perlu waspada. Sejumlah orang yang sebenarnya tergolong mampu secara ekonomi ikut memanfaatkan pertumbuhan sektor informal ini dan menyuburkan praktik bisnis tanpa pencatatan ke negara.Misalnya dengan mendorong outsourcing supaya pasokan barang yang masuk ke tokonya bisa lebih murah, menolak merekrut pekerja dengan status full-time walaupun secara praktik pekerja tersebut selalu mangkal di situ, atau menekan upah.

Kelompok orang berduit macam ini termasuk yang dibenci juga oleh pebisnis resmi karena mereka merusak standar upah, kesehatan dan keselamatan kerja, serta melanggar aturan-aturan ketenagakerjaan. Salah satu kerentanan yang sangat serius yang perlu menjadi perhatian bersama akibat kebobrokan pengelolaan pertumbuhan sektor informal di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi adalah meluasnya kasus infeksi HIV/AIDS dengan angka yang tinggi di Indonesia. 

Antara Januari sampai Maret 2012, jadi hanya dalam kurun waktu tiga bulan, telah terjadi 5.991 kasus baru orang-orang yang melaporkan terkena infeksi virus HIV. Bandingkan angka ini dengan total jumlah kasus HIV sepanjang 2006 yang jumlahnya 7.195 kasus atau pada2007yangberjumlah6.048 kasus.Artinya bahwa telah terjadi percepatan kasus infeksi HIV yang memprihatinkan. 

Kasus AIDS tertinggi, menurut laporan Menteri Kesehatan pada Mei 2012, terjadi pada kaum wirausaha (3.481 kasus), ibu rumah tangga (2.998 kasus), orang upahan nonprofesional (2.882 kasus), petani/peternak/nelayan (1.051 kasus), buruh kasar (1.002 kasus), anak sekolah dan mahasiswa (885 kasus), serta pekerja seks (702 kasus). Artinya bahwa sektor informal adalah korban AIDS tertinggi. 

Ada dua studi yang cukup komprehensif pernah dilakukan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan UNDP, UNAIDS, juga oleh ILO pada 2010 yang menunjukkan infeksi HIV dan AIDS telah menyebabkan kerentanan ekonomi yang sangat tinggi kepada individu terinfeksi dan keluarganya. Perawatan yang dibutuhkan akan menguras biaya setidaknya lima kali lipat biaya kesehatan keluarga sehat sehingga pengeluaran untuk urusan seperti pendidikan akan berkurang drastis. 

Selain itu, infeksi HIV/AIDS juga akan menimbulkan pengangguran karena biasanya yang terinfeksi adalah penduduk usia produktif dan HIV/AIDS menurunkan daya tahan tubuh.Jika kesehatan penderita semakin buruk, anggota keluarga dengan usia produktif lain juga ikut menganggur karena terpaksa merawat penderita. Perhatikanlah juga bahwa kasus-kasus terbaru HIV/AIDS muncul tertinggi jumlahnya di Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Kepulauan Riau. 

Dari segi proporsi jumlah orang terinfeksi HIV/AIDS per 100.000 penduduk, Papua punya persentase terbesar, diikuti oleh Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Papua Barat, dan Yogyakarta. Daerah-daerah ini adalah daerah yang tinggi penganggurannya, tapi tinggi pertumbuhan ekonominya sehingga sangat rentan menjadi titik menjamurnya kegiatan sektor informal.Sebagian lain adalah daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru di mana masyarakatnya belum punya cukup informasi tentang banyak hal, rendah keterampilannya, rendah modal dan rentan ikut-ikutan saja. 

Artinya bahwa kita sungguh perlu memperlakukan masalah penanggulangan HIV/AIDS ini secara lebih serius, bahkan menempatkan ini dalam prioritas tinggi. Indonesia yang selama ini menepuk dada karena bisa tumbuh melalui kegiatan ekonomi informal, kini perlu lebih waspada pada bahaya lain yang sudah di depan pintu. ●
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar