Rabu, 19 Desember 2012

Mesir Menjadi Negara “Islam”


Mesir Menjadi Negara “Islam”
M Hamdan Basyar ;  Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI 
SINDO, 19 Desember 2012


Secara nasional referendum Konstitusi Mesir mulai dilakukan pada 15 Desember 2012 di 10 wilayah provinsi.Wilayah sisanya dilakukan pada 22 Desember 2012. Meski belum selesai dan belum ada kepastian, apakah rakyat Mesir menerima atau menolak draf Konstitusi baru, sebagian masyarakat Mesir, terutama kalangan liberal dan Kristen, khawatir bahwa Mesir akan menjadi sebuah negara “Islam”. 

Mengapa demikian? Secara formal dalam konstitusi lama disebutkan bahwa agama resmi di Mesir adalah Islam. Artinya, mereka sudah lama mengakui Islam sebagai agama negara. Hanya, dalam kehidupan sehari-hari, syariat Islam tidak diterapkan secara kaffah. Kelompok yang ingin mengusung Islam kaffah, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), bahkan disingkirkan dari kehidupan politik formal. Maka itu, referendum Konstitusi Mesir kali ini menjadi pertarungan yang sengit antara kelompok Islam “syariah” dan kelompok Islam liberal yang didukung oleh minoritas Kristen. 

Mereka ingin konstitusi negara sesuai dengan aspirasi masing-masing. Pertarungan mereka dimulai setelah Mesir mengalami pergantian rezim. Sebagaimana telah diketahui, pada 11 Februari 2011, penguasa lama Mesir, Hosni Mubarak, telah dilengserkan oleh rakyatnya. Selanjutnya kekuasaan di tangan Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces-SCAF).

Untuk memperkuat posisinya, SCAF membuat amendemen terbatas pada Konstitusi Mesir, 30 Maret 2011. Dalam sebuah negara demokrasi, militer tidak diperkenankan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, para tokoh Mesir menyepakati ada kehidupan berdemokrasi yang dimulai dengan pemilu anggota parlemen dan dilanjutkan dengan pemilu presiden. 

Kemenangan Ikhwanul Muslimin 

Pemilu Majelis Rakyat (Parlemen) yang diselenggarakan dalam tiga tahap,sejak Desember 2011 sampai Januari 2012,memilih 498 anggota parlemen. Sepuluh kursi anggota parlemen lainnya ditunjuk oleh militer. Dari 498 anggota yang dipilih tersebut, dua pertiga dipilih dari daftar calon partai politik dan sepertiga dari calon independen. Hasil pemilu menunjukkan bahwa Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) memenangkan suara dengan 235 kursi (47,2%).

Kemudian disusul oleh kelompok salafi dengan Partai Nour yang memperoleh 121 kursi (24,3%). Kemenangan tersebut cukup mengagetkan kalangan elite Mesir yang cenderung liberal dan sekuler. Puluhan kelompok IM sudah ditekan dalam kehidupan politik Mesir. Selama pemerintahan Mubarak, IM adalah organisasi terlarang yang tidak boleh berkiprah secara formal.

Walaupun demikian, pada pemilu parlemen 2000,lewat jalur independen, IM memperoleh 17 kursi. Jumlah itu meningkat pesat pada pemilu 2005 menjadi 99 kursi (20%). Pada waktu itu Presiden Mubarak cukup terkejut. Dia kemudian meluncurkan tindakan keras pada IM dengan menahan ratusan anggotanya dan membuat sejumlah aturan “reformasi” untuk melawan kebangkitan mereka. Konstitusi diubah untuk menetapkan bahwa praktik politik atau partai politik tidak boleh berlatar belakang agama.

Kemudian calon independen dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Geliat IM itu terus bangun. Ketika kebebasan ada di Mesir, mereka berusaha menyeruak ke dalam kancah politik. Kemenangan IM lewat Partai Kebebasan dan Keadilan tampaknya hanya menunggu waktu. Tetapi, kemenangan kelompok IM itu mendapatkan tantangan dari SCAF dan kelompok liberal. 

Apalagi kemudian dalam pemilihan presiden Mesir yang menang adalah Mohammad Morsi dari kelompok IM. Pemilu presiden melalui dua putaran karena pada pemilihan pertama pada 23-24 Mei 2012 tidak ada capres yang memperoleh suara mayoritas mutlak. Pada putaran kedua pada 16-17 Juni 2012 Morsi memperoleh 51,7% suara pemilih. Dengan perolehan tersebut, Morsi menjadi presiden Mesir pertama pascatumbangnya Hosni Mubarak. 

Pertarungan Berlanjut 

Pertarungan antarkelompok di Mesir terus terjadi walaupun parlemen dan kursi kepresidenan telah dikuasai oleh Ikhwanul Muslimin. Hal itu dapat dimaklumi karena pada masa transisi berbagai kelompok akan berlomba mengambil kesempatan untuk menempati posisi-posisi strategis. Dengan posisi itu, mereka dapat menguasai kehidupan politik pada masa berikutnya. Pemilu rupanya belum menjadi terminal pertarungan itu. 

Tidak lama setelah pemilu berakhir, ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi Mesir bahwa UU pemilu yang memperbolehkan partai politik dapat mencalonkan anggotanya lewat jalur independen dianggap inkonstitusional. Maka itu, anggota parlemen hasil pemilu dianggap tidak sah dan harus dibubarkan. Meskipun parlemen hasil pemilu dibubarkan, mahkamah menyatakan bahwa keputusan yang telah dibuat parlemen dianggap sah dan harus dijalankan. Maka itu, proses pencalonan presiden dan pembentukan Dewan Konstituante yang beranggotakan 100 orang dianggap sah. 

Tugas Dewan Konstituante adalah merancang konstitusi baru dalam jangka waktu enam bulan. Pertarungan politik terjadi di berbagai medan. Sebelum presiden terpilih resmi dilantik, SCAF mengeluarkan lampiran Deklarasi Konstitusi (Dekrit) pada 17 Juni 2012 yang memberikan kekuasaan legislatif bagi SCAF. Dengan kekuasaan itu, SCAF dapat mengangkat Dewan Konstituante baru yang sesuai kepentingan mereka. 

Setelah Presiden Morsi resmi dilantik, dia mengeluarkan dekrit pada 8 Juli 2012 untuk memulihkan anggota parlemen yang telah dibekukan. Tetapi, pada hari berikutnya, Mahkamah Konstitusi Mesir menyatakan bahwa tidak ada banding untuk keputusan pembubaran Majelis Rakyat.Pada 17 Juli mereka harus sudah dibubarkan. Presiden Morsi berusaha menunjukkan kekuasaannya dengan mengeluarkan dekrit pada 12 Agustus 2012. 

Dekrit yang berisi empat pasal itu untuk “menjinakkan” kalangan militer. Kekuasaan legislatif yang ada ditangan SCAF sejak 17 Juni dibatalkan. Morsi juga mengganti kepala SCAF. Dengan demikian, kalangan militer “relatif” dalam kekuasaannya. Tetapi, Presiden Morsi masih belum merasa aman dengan nasib Dewan Konstituante yang tengah menggodok konstitusi baru. 

Lembaga itu masih dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi karena anggotanya dapat saja dinyatakan inkonstitusional akibat dipilih menggunakan UU pemilu yang sudah dianggap inkonstitusional. Maka itu, Morsi mengeluarkan dekrit pada 22 November 2012. Dekrit yang berisi tujuh pasal ini memberikan kekuasaan yang hampir tak terbatas kepada Morsi. Dekrit itu ternyata memicu protes dari rakyat banyak. Kelompok liberal yang tadinya sudah “agak diam” kembali ikut bersuara. 

Lapangan Tahrir digunakan sebagai tempat demo menentang dekrit Presiden Morsi. Para pendemo menuntut pencabutan dekrit yang dianggap otoriter itu. Sepekan setelah dekrit dikeluarkan, Dewan Konstituante berhasil menyepakati draf konstitusi baru tanpa kehadiran kelompok liberal pada 30 November 2012. Kemudian Presiden Morsi memutuskan untuk mengadakan referendum terhadap draf konstitusi tersebut pada 15 Desember ini. 

Rupanya keputusan Morsi untuk referendum tidak menyurutkan kaum pendemo.Mereka bahkan menolak referendum. Untuk meredakan gejolak politik itu, Presiden Morsi mengadakan “dialog” dengan tokoh-tokoh nasional pada 9 Desember 2012. Setelah lebih dari 10 jam mereka bertukar pikiran, Morsi mengeluarkan dekrit lagi yang antara lain berisi pencabutan dekrit sebelumnya. 

Negara “Islam” 

Bila masyarakat Mesir setuju terhadap draf konstitusi, apakah Mesir akan menjadi negara “Islam” yang menerapkan syariat secara kaffah? Mungkin kita dapat melihat draf konstitusi yang direferendum. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Islam adalah agama resmi Mesir dan syariat Islam menjadi prinsip sumber hukum.Selanjutnya, pasal 4 menerangkan bahwa Al Azhar sebagai institusi independen yang menjadi rujukan syariat Islam.Terlihat kepentingan penerapan syariat Islam dalam pasal tersebut. 

Tetapi, Islam bukanlah satu-satunya agama yang diakui negara.Pasal 3 menyebutkan bahwa penganut Kristen dan Yahudi menggunakan sumber hukum agama tersebut dalam urusan kehidupan mereka. Tidak hanya itu, partai politik juga tidak boleh didirikan berdasarkan diskriminasi atas perbedaan gender, asal usul etnis,maupun agama. 

Berdasarkan hasil sementara referendum di 10 wilayah, tampaknya sebagian besar masyarakat Mesir menyetujui draf konstitusi baru. Bila hal tersebut juga terjadi pada wilayah sisanya,kehidupan masyarakat Mesir akan berubah. Mereka akan menjadi negara “Islam”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar