Kamis, 13 Desember 2012

Retak-Pecah Kekuasaan


Retak-Pecah Kekuasaan
Max Regus ;  Peneliti Doktoral The International Institute of Social Studies Universitas Erasmus Belanda
MEDIA INDONESIA, 11 Desember 2012


DUA soal penting diangkat editorial Media Indonesia seminggu yang lalu. Kedua soal itu berhubungan erat. Soal pertama, editorial Pemimpin Parpol tidak Masuk Hitungan’ (4/12), berhubungan dengan krisis kepercayaan politik yang dialami para pemuncak partai politik (parpol). Survei politik pencapresan 2014 menyiratkan keruntuhan dominasi para pemimpin parpol. Mereka sedang tidak berada di benak publik untuk menjadi calon presiden. Popularitas mereka kalah jika dibandingkan dengan sejumlah tokoh profesional dengan posisi tawar politik kuat, muncul dari komitmen dan tanggung jawab publik yang kuat. Mengapa para tokoh parpol menerima penghakiman langsung dari publik dalam bentuk ambruknya popularitas politik?

Jawaban untuk pertanyaan tersebut mudah ditemukan pada soal kedua dalam editorial ‘Menuju Puncak Hambalang’ (7/12). Kejahatan korupsi yang melekat erat pada pola laku petinggi politik di negeri ini--yang semuanya bersandar pada sejumlah kekuatan politik utama--telah membuat publik berpaling meninggalkan para pemimpin parpol sebagai calon presiden. Parpol telah dianggap sebagai salah satu sumber musibah politik di Indonesia. Parpol seolah menjadi tempat berlindung para tersangka dan terdakwa kasus-kasus korupsi.
Spektrum
Sudah lama demokrasi menyodorkan paradoks. Paradoks itu tampak dalam diri sejumlah pejabat publik yang mabuk status, posisi, dan privilese politik. Hingga pada gilirannya, mereka menyapu bersih semua hal yang dekat dengan jangkauan politik mereka. Selagi mengendalikan posisi politik, apa pun bisa dilakukan secara sahih untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompok politik. Rakyat yang percaya bahwa demokrasi akan menjadi jalan tunggal menuju masa depan yang bebas kemiskinan ternyata berhadapan dengan kelakuan politik para wakil mereka yang jauh dari desah nestapa rakyat paling miskin. Bukan hal sulit untuk menemukan sikap tindak politik seperti itu. Demokrasi ialah sumber keuntungan multiwajah untuk pelaku politik.

Kekuasaan yang mengumbar kekejian melalui serangkaian penyelewengan dan sistematisasi perusakan basis pembangunan menjadi pangkal kerunyaman politik di negeri ini. Ketika para penguasa membangun medan pandang yang keliru tentang kekuasaan, publik serentak bergerak ke sisi yang lebih kritis. Tidak mengherankan, akumulasi kejahatan korupsi yang ada di ruang kekuasaan menumbuhkan antipati politik publik. Begitu para pejabat publik menjadikan kekuasaan sebagai sumber pemasukan profi t ekonomi-politik, maka dengan seketika mereka terjerembab ke dalam pusaran laku politik antidemokrasi.

Keadaan semakin parah manakala kasus-kasus korupsi yang sudah mulai terungkap menjadi senjata yang akan digunakan lawan politik untuk menembak saingan politik. Selalu ada kemungkinan bagi lawan politik untuk menarik keuntungan dari kasus-kasus korupsi. Publik semestinya harus tetap menaruh sikap awas. Usaha menyembunyikan kejahatan di balik kasus-kasus korupsi, seperti megaproyek (korupsi) Hambalang yang sudah menyentuh orang-orang kunci kekuasaan, ialah perilaku yang sama buruknya.

Tidak banyak perubahan akan diraih ketika kecenderungan mentalitas politik seperti itu masih menjadi bagian dari kultur kekuasaan. Kekuasaan tidak menunjukkan penyesalan sama sekali ketika KPK menyebut Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang. Tidak tampak bagaimana kekuasaan membuat refleksi radikal atas kasus tersebut. Yang ramai diperbincangkan justru bagaimana dengan nasib kursi kosong kementerian yang ditinggalkan Andi Mallarangeng. Beberapa parpol bersiap-siap merebut posisi yang sedang kosong. Sungguh, cara pandang yang tidak memenuhi unsur etik-moral politik. Penguasa tetap terpenjara dalam spektrum yang sesat tentang kekuasaan. Di tengah suasana kelabu politik nasional, mereka masih memikirkan jatah partai dan jatah kekuatan politik.

Radikalisasi

Bagaimana ujung dari pengadilan publik terhadap kader-kader parpol? Apakah
pergeseran kesadaran politik publik memiliki efek signifikan untuk perubahan kultur kekuasaa di Indonesia? Pertanyaan itu penting dikemukakan mengingat arus perubahan pilihan politik publik mulai (sudah) meninggalkan tokoh parpol untuk kancah Pilpres 2014. Sementara itu, ruang untuk tokoh-tokoh nonparpol tidak tersedia dalam konteks Pilpres 2014.

Kendali proses politik masih berada di tangan partai politik. Pakem demokratisasi belum berubah. Demokratisasi hanya menjadi kendaraan politik pemimpin parpol untuk mendapatkan legitimasi serta menarik keuntungan ekonomi dan politik dari proses yang ada. Dengan medan politik dan aras mekanisme demokrasi yang masih seperti sekarang, tidak banyak perubahan bisa dicapai dalam Pilpres 2014. Seberapa pun menakjubkan popularitas dan elektabilitas banyak tokoh di luar parpol, mereka tentu tidak mudah menjadi kandidat pemimpin politik.

Yang dapat dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh publik ialah mengontrol secara kritis sejumlah tokoh politik generasi baru yang memperlihatkan kapasitas sebagai pemimpin masa depan di negeri ini. Banyak pemimpin politik lokal yang bisa muncul sebagai pemimpin alternatif di Indonesia. Banyak cendekiawan, intelektual, dan budayawan yang menunjukkan prospek sebagai sekumpulan calon pemimpin penuh harapan.

Sikap kritis publik terhadap kip rah sedikit tokoh yang berkualitas itu akan mengacu ke dua tujuan penting. Pertama, mereka akan terhindarkan dari rasa jenuh untuk selalu tampil beda dari para pejabat publik (politisi) kebanyakan yang sudah sarat dengan isu-isu kejahatan kekuasaan, yang memuakkan selera politik publik. Sebab, rasa jenuh untuk selalu menampilkan kualitas terbaik akan mempercepat pelapukan kesadaran dari tokoh-tokoh politik alternatif tersebut. Publik harus menjaga tren-tren cemerlang itu agar segelintir pemimpin politik generasi baru tersebut bisa memengaruhi konstelasi Pilpres 2014.

Kedua, pengawalan kritis publik akan meluputkan mereka terhadap skenario sesat kekuasaan yang mungkin secara sengaja meruntuhkan kredibilitas dengan jerat-jerat manis kekuasaan. Saat ini, segelintir pemimpin politik yang berdedikasi kepada kepentingan rakyat adalah musuh utama para penguasa yang busuk. Radikalisasi kontrol publik terhadap jejak laku para pemimpin politik generasi alternatif itu merupakan keniscayaan. Dengan itu, para pejabat publik yang disesaki ambisi dan kerakusan tidak mampu memperluas medan pengaruh jahat mereka secara masif.

Prospek

Kita tiba pada pertanyaan kunci ini. Apa kah demokrasi masih memiliki prospek di Indonesia? Demokra si--dengan apa pun term itu didefinisikanberdekatan de ngan rasa kea dilan publik. Atau, bagaimana sebetulnya lang kah yang diambil untuk memproyek sikan sekelumit harapan yang ditemukan publik dalam diri segelintir tokoh politik alternatif? Sungguh tidak dapat disangkal bahwa demokrasi sedang menghadapi serangan premis-premis sesat yang muncul dari perilaku kekuasaan kanibalistis.

Kita sedang menerima satu kesimpulan penting bahwa kekuatan politik utama yang muncul dari parpol justru sedang memainkan kalkulus kekuasaan yang membahayakan demokratisasi. Hilangnya rasa duka terhadap pemimpin atau kader pemimpin negara akibat kasus korupsi serta munculnya rasa senang dan diskusi yang serampangan tentang jatah kekuasaan sungguh menimbulkan rasa muak politik yang tidak tertahankan.

Apakah para pejabat partai politik, pejabat publik, dan wakil rakyat tidak menyadari begitu banyaknya uang rakyat yang digunakan untuk mencetak satu pemimpin politik atau pejabat publik--yang pada akhirnya menistakan publik dan bangsa dengan aksi keji, menghina kekuasaan dengan tindakan-tindakan korupsi? Hilangnya rasa sesal semacam itu menjadi pangkal segala laku politik yang membuat kekuasaan ‘retak-pecah’ kehilangan kewibawaan. Kekuasaan sedang mengingkari maksud kehadirannya untuk memperbesar medan kesejahteraan sosial.

Banyak jalan untuk menyelamatkan muka kekuasaan sebagai alat politik guna memperjuangkan kepentingan orang banyak. Publik harus membantu dengan sungguhsungguh agar dua tahun menjelang proses politik pilpres dan pileg, ada proses cuci gudang kekuasaan dan kekuatan politik. Kontrol publik akan mendorong parpol untuk lebih berhati-hati memperkenalkan calon pemimpin dan pejabat publik mereka. Barangkali, hal itu akan menentukan apakah demokrasi masih mempunyai prospek yang baik dan kekuasaan kembali ke jalur yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar