Jumat, 14 Desember 2012

Sengkarut Garut Babad Limbangan


Sengkarut Garut Babad Limbangan
Asep Salahudin ;  Dekan di IAILM Suryalaya; Esais Kelahiran Limbangan
KOMPAS, 13 Desember 2012


Tersebutlah dalam Babad Limbangan salah seorang Raja Padjadjaran yang sedang berburu ke hutan di kawasan Limbangan—cikal bakal Kabupaten Garut.
Alih-alih mendapatkan buruan, Sang Raja justru melihat semburat cahaya dari Sungai Cipancar. Menelusuri cahaya itu, ia sampai ke pancaran kejelitaan seorang putri Limbangan yang sedang mandi.

Bisa ditebak sang raja jatuh cinta. Cintanya bertepuk sebelah tangan karena sang putri tahu bahwa dia telah memiliki seratus istri. Sang Putri terus berlari dan ngahiang (menghilang) di sebuah tempat sunyi dan wangi (Buniwangi). Namun, dengan kekuasaannya, Sang Raja yang punya daulat penuh untuk merancang seluruh keinginan untuk menyalurkan hasrat berahinya, akhirnya atas bantuan Kakek Haruman terselenggaralah pernikahan siri dengan sang putri.

Dari pernikahan itu lahirlahdua putra: Prabu Basudewa (penguasa Limbangan) dan Prabu Liman Sanjaya (penguasa Dayeuh Luhur).

Cerita terus berlanjut. Kedua raja ternyata tidak pernah berhenti menggelar konflik hatta di ruang publik. Konfliknya mengingatkan pada epos besar Kabil dan Habil. Liman beristrikan perempuan cantik dan Prabu Basudewa berbanding terbalik.
Muslihat digelar. Negosiasi dirancang bahkan islah pura-pura diterapkan agar sang ”perempuan cantik” pindah haluan. Ujung cerita ini berakhir dalam sunyi. ”Perempuan” jelita itu lebih memilih ”lari” daripada menjadi ”benda” yang diperebutkan dua raja. Daripada diposisikan tak ubahnya ”pakaian”, ia memilih untuk ”bersekolah”, memperkokoh infrastruktur kognitifnya agar harkatnya tidak ada lagi yang merendahkan.

Sunyi itu bahasa Arab-nya adalah sir (jamaknya asrar). Dalam sunyi, akhirnya semua terurai. Bahkan, kedua raja itu, terutama Liman Sanjaya, menemukan api pencerahan dengan mencapai anuning ning dalam meditasi di hutan. Tak ubahnya Sidharta Gautama, akal budinya terang di bawah pohon bodhi. Nabi Muhammad SAW terbebaskan dari atmosfer jahiliah di Goa Hira. Atau laksana Musa yang mendapatkan wahyu Tuhan di Gunung Turisin. Sebutlah pula para peziarah nalar lain yang terus mengembara mencari kekuasaan hakiki dalam jangkar akal (Descartes), roh (Hegel), ada transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis (Nietzsche), dan phallogocentrism (Freud).

Limbangan ke Garut

Limbangan itulah yang di kemudian hari menjadi kabupaten, hingga akhirnya pendapa dipindahkan ke Garut. Limbangan bukan hanya menjadi cikal bakal para priayi (menak) di Garut, melainkan juga para menak Priangan melalui jalur aristokrat santri Raden Haji Muhammad Musa (1822-10 Agustus 1886), putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten Limbangan.

Bahkan, salah seorang putri Muhammad Musa, Ayu Lasminingrat, disebut-sebut 
sebagai perempuan dengan visi emansipasi yang melampaui zamannya, lebih maju dari RA Kartini dan Dewi Sartika.

Muhammad Musa jugalah sosok pertama manusia Sunda yang telah meretas tradisi literasi dalam khazanah Sunda seperti yang menjadi tema utama penelitian Mikihiro Moriyama dalam A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of Writing in Nineteenth Century West Java (Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad Ke-19). Karya-karyanya antara lain Wawacan Panji Wulung (1871), Wawacan Raja Sudibya, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Dongéng- dongéng, Wawacan Wulang Tani (1862); Carita Abdurahman Jeung Abdurahim, Wawacan Seca Nala (1863); Ali Muhtar, Élmu Nyawah (1864); Wawacan Wulang Murid, Wawacan Wulang Guru (1865); Dongéng-dongéng nu Aranéh (1866); Dongéng-dongéng Pieunteungeun (1867); Wawacan Lampah Sekar (1872); Santri Gagal, Hibat (1881).

Tentu ada banyak manusia Limbangan (Garut) yang telah memberi sumbangan berharga untuk mengharumkan asal daerahnya di tingkat nasional (dan internasional), baik di bidang sastra, kebudayaan, politik, dan kenegaraan, di samping ekonomi kreatif yang tak pernah padam.

Resolusi Limbangan

Maka, penggagasan Resolusi Limbangan minggu-minggu ini masyarakat Limbangan (Garut), menurut saya, adalah salah satu mata rantai dari Babad Limbangan. Resolusi tersebut kemudian diserahkan kepada pimpinan DPRD dalam demo akbar memprotes kelakuan Bupati Aceng HM Fikri yang tidak pantas.

Sebuah resolusi yang berangkat dari hasrat untuk mengembalikan Garut dalam marwah yang mulia. Salah satunya adalah dengan menjadikan etika sebagai haluan utama dalam tata kelola pemerintahannya.

Harus diakui, justru etika inilah yang absen dalam pemerintahan Garut 13 tahun terakhir. Maka, nyaris semenjak reformasi yang mencuat ke permukaan adalah isu negatif seputar korupsi, kolusi, dan terakhir skandal seks nikah siri Bupati Aceng selama empat hari, yang kemudian menceraikan remaja yang dinikahinya melalui pesan singkat di telepon seluler, dengan kata-kata yang tidak cerdas pula.

Ketika etika ini absen, yang kita saksikan adalah eskalasi segala bentuk kebobrokan. Kebobrokan dari pemaknaan risalah otonomi daerah secara salah kaprah. Maka, yang mencuat tidak lebih surplus tindakan primitif, tetapi defisit prestasi. Tengok saja rumah sakit umum Garut yang nyaris bangkrut, angka kemiskinan yang terus meningkat, jeleknya sarana pendidikan di berbagai pelosok Garut, dan suasana birokrasi yang jauh dari kondusif.

Refleksi Akhir

Tentu saja Aceng Fikri bukanlah salah satu Raja Padjadjaran. Ia tidak boleh berbuat semaunya tanpa kontrol apalagi tanpa akuntabilitas publik. Fani Oktora juga bukan metamorfosa sang putri Limbangan walaupun rumahnya berdekatan dengan Sungai Cipancar.

Aceng Fikri (dan Dicky Candra) dipilih melalui jalur independen ketika masyarakat Garut mengalami krisis kepercayaan kepada partai politik. Ternyata jalur ini tidak kemudian menjadi garansi kondisi Garut yang lebih baik. Apalagi di tengah perjalanan sang Bupati justru masuk kepengurusan sebuah partai, selain perilaku pribadinya yang sangat tidak pantas.

Maka, pekik para pendemo yang melibatkan anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga harus dibaca sebagai sebuah kerinduan untuk mengembalikan Garut dalam suasana damai. Maaf, celana dalam yang diusung para pendemo itu adalah interupsi kultural bahwa ”kejantanan” dalam konteks kuasa harus diekspresikan dalam wujud kesungguhan mengelola pemerintahan, bukan menyalurkan hasrat seksual secara serampangan.

Garut pangirutan (nyaman) seperti dalam novel Fatat Garut karya Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf (lahir 29 Zulhijah 1889 H/1882 M) akan tercapai bila menyimak resolusi Limbangan dan membaca Babad Limbangan lewat tafsir yang mencerahkan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar