Sengkarut
Garut Babad Limbangan
Asep Salahudin ; Dekan di IAILM Suryalaya; Esais Kelahiran Limbangan
|
KOMPAS,
13 Desember 2012
Tersebutlah dalam Babad Limbangan salah
seorang Raja Padjadjaran yang sedang berburu ke hutan di kawasan
Limbangan—cikal bakal Kabupaten Garut.
Alih-alih mendapatkan buruan, Sang Raja
justru melihat semburat cahaya dari Sungai Cipancar. Menelusuri cahaya itu,
ia sampai ke pancaran kejelitaan seorang putri Limbangan yang sedang mandi.
Bisa ditebak sang raja jatuh cinta.
Cintanya bertepuk sebelah tangan karena sang putri tahu bahwa dia telah
memiliki seratus istri. Sang Putri terus berlari dan ngahiang (menghilang) di
sebuah tempat sunyi dan wangi (Buniwangi). Namun, dengan kekuasaannya, Sang
Raja yang punya daulat penuh untuk merancang seluruh keinginan untuk
menyalurkan hasrat berahinya, akhirnya atas bantuan Kakek Haruman
terselenggaralah pernikahan siri dengan sang putri.
Dari pernikahan itu lahirlahdua putra:
Prabu Basudewa (penguasa Limbangan) dan Prabu Liman Sanjaya (penguasa Dayeuh
Luhur).
Cerita terus berlanjut. Kedua raja ternyata
tidak pernah berhenti menggelar konflik hatta di ruang publik. Konfliknya
mengingatkan pada epos besar Kabil dan Habil. Liman beristrikan perempuan
cantik dan Prabu Basudewa berbanding terbalik.
Muslihat digelar. Negosiasi dirancang
bahkan islah pura-pura diterapkan agar sang ”perempuan cantik” pindah haluan.
Ujung cerita ini berakhir dalam sunyi. ”Perempuan” jelita itu lebih memilih
”lari” daripada menjadi ”benda” yang diperebutkan dua raja. Daripada
diposisikan tak ubahnya ”pakaian”, ia memilih untuk ”bersekolah”, memperkokoh
infrastruktur kognitifnya agar harkatnya tidak ada lagi yang merendahkan.
Sunyi itu bahasa Arab-nya adalah sir
(jamaknya asrar). Dalam sunyi, akhirnya semua terurai. Bahkan, kedua raja
itu, terutama Liman Sanjaya, menemukan api pencerahan dengan mencapai anuning
ning dalam meditasi di hutan. Tak ubahnya Sidharta Gautama, akal budinya
terang di bawah pohon bodhi. Nabi Muhammad SAW terbebaskan dari atmosfer
jahiliah di Goa Hira. Atau laksana Musa yang mendapatkan wahyu Tuhan di
Gunung Turisin. Sebutlah pula para peziarah nalar lain yang terus mengembara
mencari kekuasaan hakiki dalam jangkar akal (Descartes), roh (Hegel), ada
transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), cinta kasih
(Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis
(Nietzsche), dan phallogocentrism (Freud).
Limbangan ke Garut
Limbangan itulah yang di kemudian hari
menjadi kabupaten, hingga akhirnya pendapa dipindahkan ke Garut. Limbangan
bukan hanya menjadi cikal bakal para priayi (menak) di Garut, melainkan juga
para menak Priangan melalui jalur aristokrat santri Raden Haji Muhammad Musa
(1822-10 Agustus 1886), putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten
Limbangan.
Bahkan, salah seorang putri Muhammad Musa,
Ayu Lasminingrat, disebut-sebut
sebagai perempuan dengan visi emansipasi yang
melampaui zamannya, lebih maju dari RA Kartini dan Dewi Sartika.
Muhammad Musa jugalah sosok pertama manusia
Sunda yang telah meretas tradisi literasi dalam khazanah Sunda seperti yang
menjadi tema utama penelitian Mikihiro Moriyama dalam A New Spirit: Sundanese
Publishing and the Changing Configuration of Writing in Nineteenth Century
West Java (Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda
Abad Ke-19). Karya-karyanya antara lain Wawacan Panji Wulung (1871), Wawacan
Raja Sudibya, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Dongéng- dongéng, Wawacan Wulang
Tani (1862); Carita Abdurahman Jeung Abdurahim, Wawacan Seca Nala (1863); Ali
Muhtar, Élmu Nyawah (1864); Wawacan Wulang Murid, Wawacan Wulang Guru (1865);
Dongéng-dongéng nu Aranéh (1866); Dongéng-dongéng Pieunteungeun (1867);
Wawacan Lampah Sekar (1872); Santri Gagal, Hibat (1881).
Tentu ada banyak manusia Limbangan (Garut)
yang telah memberi sumbangan berharga untuk mengharumkan asal daerahnya di
tingkat nasional (dan internasional), baik di bidang sastra, kebudayaan,
politik, dan kenegaraan, di samping ekonomi kreatif yang tak pernah padam.
Resolusi Limbangan
Maka, penggagasan Resolusi Limbangan
minggu-minggu ini masyarakat Limbangan (Garut), menurut saya, adalah salah
satu mata rantai dari Babad Limbangan. Resolusi tersebut kemudian diserahkan
kepada pimpinan DPRD dalam demo akbar memprotes kelakuan Bupati Aceng HM
Fikri yang tidak pantas.
Sebuah resolusi yang berangkat dari hasrat
untuk mengembalikan Garut dalam marwah yang mulia. Salah satunya adalah
dengan menjadikan etika sebagai haluan utama dalam tata kelola pemerintahannya.
Harus diakui, justru etika inilah yang
absen dalam pemerintahan Garut 13 tahun terakhir. Maka, nyaris semenjak
reformasi yang mencuat ke permukaan adalah isu negatif seputar korupsi,
kolusi, dan terakhir skandal seks nikah siri Bupati Aceng selama empat hari,
yang kemudian menceraikan remaja yang dinikahinya melalui pesan singkat di
telepon seluler, dengan kata-kata yang tidak cerdas pula.
Ketika etika ini absen, yang kita saksikan
adalah eskalasi segala bentuk kebobrokan. Kebobrokan dari pemaknaan risalah
otonomi daerah secara salah kaprah. Maka, yang mencuat tidak lebih surplus
tindakan primitif, tetapi defisit prestasi. Tengok saja rumah sakit umum
Garut yang nyaris bangkrut, angka kemiskinan yang terus meningkat, jeleknya
sarana pendidikan di berbagai pelosok Garut, dan suasana birokrasi yang jauh
dari kondusif.
Refleksi Akhir
Tentu saja Aceng Fikri bukanlah salah satu
Raja Padjadjaran. Ia tidak boleh berbuat semaunya tanpa kontrol apalagi tanpa
akuntabilitas publik. Fani Oktora juga bukan metamorfosa sang putri Limbangan
walaupun rumahnya berdekatan dengan Sungai Cipancar.
Aceng Fikri (dan Dicky Candra) dipilih
melalui jalur independen ketika masyarakat Garut mengalami krisis kepercayaan
kepada partai politik. Ternyata jalur ini tidak kemudian menjadi garansi
kondisi Garut yang lebih baik. Apalagi di tengah perjalanan sang Bupati
justru masuk kepengurusan sebuah partai, selain perilaku pribadinya yang
sangat tidak pantas.
Maka, pekik para pendemo yang melibatkan
anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga harus dibaca sebagai sebuah kerinduan
untuk mengembalikan Garut dalam suasana damai. Maaf, celana dalam yang
diusung para pendemo itu adalah interupsi kultural bahwa ”kejantanan” dalam
konteks kuasa harus diekspresikan dalam wujud kesungguhan mengelola
pemerintahan, bukan menyalurkan hasrat seksual secara serampangan.
Garut pangirutan (nyaman) seperti dalam
novel Fatat Garut karya Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf (lahir 29 Zulhijah
1889 H/1882 M) akan tercapai bila menyimak resolusi Limbangan dan membaca
Babad Limbangan lewat tafsir yang mencerahkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar