Daya Saing
Guru dan Pendekatan Sains
Andi Nasrun ; Guru SMP Negeri 1 Bulukumba, Sulsel;
Program S-2
Manajemen Kepengawasan Pendidikan MM-UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Desember 2012
SURVEI World
Economic Forum (WEF) pada 2012 menyatakan daya saing nasional Indonesia
berada di peringkat ke-50 dari 144 negara. Itu isyarat bahwa daya saing kita
harus berbenah untuk menghadapi era kompetisi global. Tanri Abeng, pakar
manajemen Indonesia, dalam suatu kesempatan selalu mengingatkan bahwa kita
memiliki SDM yang banyak, tetapi tidak cukup.
Sumber daya manusia dan sumber daya alam kita
melimpah ruah, tetapi SDM yang memiliki 7S dalam konsep McKinsey masih belum
memadai. Lalu, apa yang salah dengan manajemen sumber daya manusia kita?
Apakah rekrutmennya yang belum link and match dengan prosedur operasional
standar? Atau, SDM-nya yang kurang menguasai teknik penilaian yang objektif?
Setidaknya gambaran SDM Indonesia pernah
dikemukakan Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita.
Sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan
industri dan ekonomi. Penyebabnya ialah pendidikan tidak ditempatkan pada
prioritas terpenting. Oleh sebab itu, sangat penting menentukan metode
terbaik bagi dunia pendidikan dengan jalan invest in man, not in building.
Daya Saing Guru
Daya saing ialah kualitas guru yang
ditandai dengan adanya high-tech dan hightouch yang melekat
pada profesi guru. Kedua dimensi tersebut menjadi pembeda guru dengan
lainnya. Untuk penguatan kualitas profesi guru, guru pun diuji melalui tes
UKG secara online. Hasilnya sudah bisa ditebak, sebagian besar guru
belum mencapai passing grade yang diinginkan. Lebih ironis lagi, guru
yang belum mencapai standar itu adalah guru yang bagus dan selama ini mampu mengajar
siswa untuk berprestasi secara akademik dan nonakademik.
Mereka guru-guru kreatif dan inovatif. Mereka
juga mampu menggali potensi siswa yang terpendam, yang awalnya kecil hingga
menghasilkan ledakan prestasi yang dahsyat. Sepertinya ada yang salah dengan
pemberlakuan uji tersebut. Alasannya, materi yang diujikan bukanlah substansi
materi ajar yang diampu guru bersangkutan, melainkan materi yang berfokus
pada kompetensi pedagogis yang notabene lebih berorientasi pada C1 dan C2
dalam tingkatan Taksonomi Bloom.
Selain itu, penguasaan hightech bagi guru senior masih rendah. Hasil tes itu agaknya
kurang fair jika hanya didasarkan pada hasil tes UKG guru secara parsial.
Untuk menilai secara objektif, uji komprehensif harus dilakukan. Hasil
penilaian itulah yang bisa menilai daya saing guru secara fit and proper. Kreitner dan Kinicki
(2001) menyebutnya penilaian 360 derajat. Penilaian itu melibatkan kepala
sekolah sebagai top leader, teman
sejawat (sesama guru), siswa, serta alumni dan orangtua siswa.
Keempat
dimensi itulah yang paling tahu kinerja guru di lapangan. Merekalah yang
terlibat langsung dengan pelayanan guru, di sekolah dan luar sekolah.
Merekalah yang tahu bagaimana guru mentransfer modal pengetahuannya secara
efektif atau tidak?
Tidak salah ketika Drucker (1993) menyatakan
keunggulan masa depan sangat ditentukan pemilikan ilmu pengetahuan. Artinya,
siapa yang lebih cepat belajar, ia akan lebih unggul. Contoh negeri yang
sukses karena peletakan dasar SDM guru adalah Jepang. Negara itu sukses mengatur
negaranya yang hancur menjadi setara dengan negara maju karena belajar lebih
cepat. Tidak salah bila yang pertama disebut perdana menteri Jepang saat itu
adalah guru, di mana guru? Betapa mulianya tugasmu. Mentransformasi daya
saingmu demi warga negara yang berkarakter dan memiliki sisi akademik yang
tangguh.
Pendekatan Sains
Dalam menyambut tahun 2013,
sederetan PR bagi guru sudah menanti. Pemberlakuan
penilaian kinerja guru
secara efektif dan perubahan kurikulum dari KTSP menjadi kurikulum 2013
adalah dua hal yang harus dihadapi. Yang pertama mengacu ke prestasi aksi dan
prestasi hasil seorang guru selama satu tahun. Efeknya, hasil penilaian itu
akan menentukan seberapa besar kinerja ilmiah yang dihasilkan dan muaranya ke
perbaikan kinerja ekonomis guru. Yang kedua, orientasinya pada perubahan standar
kompetensi lulusan, isi, proses, dan penilaian. Yang unik ialah jumlah mata
pelajaran berkurang, tetapi jumlah jam per minggu bertambah akibat perubahan
pendekatan pembelajaran.
Pada draf kurikulum 2013, pendekatan
pembelajaran yang digunakan ialah pendekatan sains. Siswa akan diajari mengamati
objek, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Selain itu, hal lainnya yang tidak kalah penting ialah keterampilan proses
sains. Pada aspek tersebut, siswa dapat memahami ontologi sains sebagai
proses dan produk serta pembentukan sikap ilmiah dengan benar. Karena melalui
pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses sains,
anak belajar proses dan produk sains secara aktif. Keterampilan proses sains
bersifat transferable terhadap
bidang ilmu lainnya dan tidak mudah terlupakan oleh siswa.
Bagi guru sains, implementasi pendekatan sains
bukanlah hal baru. Namun, bagi guru nonsains, pendekatan tersebut memerlukan
pelatihan baru.
Konsekuensinya, guru-guru akan dilatih kembali dengan anggaran besar untuk memperkuat daya saing guru di pentas lokal, regional, dan internasional. Kita berharap yang terjadi di 2013 bukan kurikulumnya yang berubah, melainkan yang lebih penting ialah perubahan di antara the man behind the method. Atau, seperti kata Rhenald Kasali, “Untuk berubah menuntut adanya lima hal sekaligus: visi, skill, insentif, sumber daya, rencana tindak.”
Visi perubahan harus dirumuskan bersama agar
dampak program yang dijalankan bisa dipertanggungjawabkan. Semua eksekutor
harus punya skill yang diandalkan
untuk menghadapi masa depan yang dinamis. Guru yang mampu memberi kontribusi
positif terhadap daya saing siswa patut diberi reward yang layak. Perubahan memerlukan gizi yang memadai agar
berdaya dorong yang kuat. Sumber daya guru dan sumber daya lainnya harus
bersinergi untuk mencairkan hambatan yang mungkin terjadi jika suatu
pendekatan baru diterapkan.
Rencana tindakan harus dibuat tertulis,
lengkap menyeluruh menurut sasaran, waktu, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Singkatnya, betapa pun bagusnya kurikulum yang dirancang para ahli dan
canggihnya pendekatan pembelajaran yang dipilih decision maker, bila tidak didukung SDM guru yang andal, suatu
rencana aksi ibarat fatamorgana di padang sahara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar