Kamis, 13 Desember 2012

Daya Saing Guru dan Pendekatan Sains


Daya Saing Guru dan Pendekatan Sains
Andi Nasrun ;  Guru SMP Negeri 1 Bulukumba, Sulsel;
Program S-2 Manajemen Kepengawasan Pendidikan MM-UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 11 Desember 2012


SURVEI World Economic Forum (WEF) pada 2012 menyatakan daya saing nasional Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 144 negara. Itu isyarat bahwa daya saing kita harus berbenah untuk menghadapi era kompetisi global. Tanri Abeng, pakar manajemen Indonesia, dalam suatu kesempatan selalu mengingatkan bahwa kita memiliki SDM yang banyak, tetapi tidak cukup.

Sumber daya manusia dan sumber daya alam kita melimpah ruah, tetapi SDM yang memiliki 7S dalam konsep McKinsey masih belum memadai. Lalu, apa yang salah dengan manajemen sumber daya manusia kita? Apakah rekrutmennya yang belum link and match dengan prosedur operasional standar? Atau, SDM-nya yang kurang menguasai teknik penilaian yang objektif?

Setidaknya gambaran SDM Indonesia pernah dikemukakan Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita. Sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya ialah pendidikan tidak ditempatkan pada prioritas terpenting. Oleh sebab itu, sangat penting menentukan metode terbaik bagi dunia pendidikan dengan jalan invest in man, not in building.
Daya Saing Guru
Daya saing ialah kualitas guru yang ditandai dengan adanya high-tech dan hightouch yang melekat pada profesi guru. Kedua dimensi tersebut menjadi pembeda guru dengan lainnya. Untuk penguatan kualitas profesi guru, guru pun diuji melalui tes UKG secara online. Hasilnya sudah bisa ditebak, sebagian besar guru belum mencapai passing grade yang diinginkan. Lebih ironis lagi, guru yang belum mencapai standar itu adalah guru yang bagus dan selama ini mampu mengajar siswa untuk berprestasi secara akademik dan nonakademik.

Mereka guru-guru kreatif dan inovatif. Mereka juga mampu menggali potensi siswa yang terpendam, yang awalnya kecil hingga menghasilkan ledakan prestasi yang dahsyat. Sepertinya ada yang salah dengan pemberlakuan uji tersebut. Alasannya, materi yang diujikan bukanlah substansi materi ajar yang diampu guru bersangkutan, melainkan materi yang berfokus pada kompetensi pedagogis yang notabene lebih berorientasi pada C1 dan C2 dalam tingkatan Taksonomi Bloom.

Selain itu, penguasaan hightech bagi guru senior masih rendah. Hasil tes itu agaknya kurang fair jika hanya didasarkan pada hasil tes UKG guru secara parsial. Untuk menilai secara objektif, uji komprehensif harus dilakukan. Hasil penilaian itulah yang bisa menilai daya saing guru secara fit and proper. Kreitner dan Kinicki (2001) menyebutnya penilaian 360 derajat. Penilaian itu melibatkan kepala sekolah sebagai top leader, teman sejawat (sesama guru), siswa, serta alumni dan orangtua siswa. 

Keempat dimensi itulah yang paling tahu kinerja guru di lapangan. Merekalah yang terlibat langsung dengan pelayanan guru, di sekolah dan luar sekolah. Merekalah yang tahu bagaimana guru mentransfer modal pengetahuannya secara efektif atau tidak?

Tidak salah ketika Drucker (1993) menyatakan keunggulan masa depan sangat ditentukan pemilikan ilmu pengetahuan. Artinya, siapa yang lebih cepat belajar, ia akan lebih unggul. Contoh negeri yang sukses karena peletakan dasar SDM guru adalah Jepang. Negara itu sukses mengatur negaranya yang hancur menjadi setara dengan negara maju karena belajar lebih cepat. Tidak salah bila yang pertama disebut perdana menteri Jepang saat itu adalah guru, di mana guru? Betapa mulianya tugasmu. Mentransformasi daya saingmu demi warga negara yang berkarakter dan memiliki sisi akademik yang tangguh.

Pendekatan Sains

Dalam menyambut tahun 2013, sederetan PR bagi guru sudah menanti. Pemberlakuan
penilaian kinerja guru secara efektif dan perubahan kurikulum dari KTSP menjadi kurikulum 2013 adalah dua hal yang harus dihadapi. Yang pertama mengacu ke prestasi aksi dan prestasi hasil seorang guru selama satu tahun. Efeknya, hasil penilaian itu akan menentukan seberapa besar kinerja ilmiah yang dihasilkan dan muaranya ke perbaikan kinerja ekonomis guru. Yang kedua, orientasinya pada perubahan standar kompetensi lulusan, isi, proses, dan penilaian. Yang unik ialah jumlah mata pelajaran berkurang, tetapi jumlah jam per minggu bertambah akibat perubahan pendekatan pembelajaran.

Pada draf kurikulum 2013, pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah pendekatan sains. Siswa akan diajari mengamati objek, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Selain itu, hal lainnya yang tidak kalah penting ialah keterampilan proses sains. Pada aspek tersebut, siswa dapat memahami ontologi sains sebagai proses dan produk serta pembentukan sikap ilmiah dengan benar. Karena melalui pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses sains, anak belajar proses dan produk sains secara aktif. Keterampilan proses sains bersifat transferable terhadap bidang ilmu lainnya dan tidak mudah terlupakan oleh siswa.

Bagi guru sains, implementasi pendekatan sains bukanlah hal baru. Namun, bagi guru nonsains, pendekatan tersebut memerlukan pelatihan baru.
Konsekuensinya, guru-guru akan dilatih kembali dengan anggaran besar untuk memperkuat daya saing guru di pentas lokal, regional, dan internasional. Kita berharap yang terjadi di 2013 bukan kurikulumnya yang berubah, melainkan yang lebih penting ialah perubahan di antara the man behind the method. Atau, seperti kata Rhenald Kasali, “Untuk berubah menuntut adanya lima hal sekaligus: visi, skill, insentif, sumber daya, rencana tindak.”

Visi perubahan harus dirumuskan bersama agar dampak program yang dijalankan bisa dipertanggungjawabkan. Semua eksekutor harus punya skill yang diandalkan untuk menghadapi masa depan yang dinamis. Guru yang mampu memberi kontribusi positif terhadap daya saing siswa patut diberi reward yang layak. Perubahan memerlukan gizi yang memadai agar berdaya dorong yang kuat. Sumber daya guru dan sumber daya lainnya harus bersinergi untuk mencairkan hambatan yang mungkin terjadi jika suatu pendekatan baru diterapkan.

Rencana tindakan harus dibuat tertulis, lengkap menyeluruh menurut sasaran, waktu, dan sumber daya yang dibutuhkan. Singkatnya, betapa pun bagusnya kurikulum yang dirancang para ahli dan canggihnya pendekatan pembelajaran yang dipilih decision maker, bila tidak didukung SDM guru yang andal, suatu rencana aksi ibarat fatamorgana di padang sahara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar